Selasa, 05 Oktober 2010

Pengaruh Aliran Filsafat Positivistik Terhadap Sistem Hukum Di Indonesia (Studi Kasus Geng Motor di Bandung) Oleh Deden Wahyudin, S.S

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di zaman yang serba modern ini, kita sering dihadapkan kepada hal-hal yang dianggap bisa memiriskan hati. Bukan karena tanpa sebab hal tersebut terjadi, tetapi mungkin tuntutan hidup bagi sebagian orang. Adapun contoh hal-hal yang dianggap bisa miriskan hati tersebut seperti banyak terjadinya kasus pembunuhan, perampokan, perampasan, penganiayaan, dan anarkisme di sebagain kalangan masyarakat kita. Hal ini menjadi fenomena sosial yang bersifat deskruktif yang tumbuh subur seperti tumbuhnya jamur di musim hujan khususnya di Indonesia. Dalam hal ini, kita tidak bisa menafikan fenomena sosial yang bersifat deskuktif seperti hal-hal di atas. Penulis bukan tanpa sebab mengumukakan hal tersebut, karena memang tidak bisa dipungkiri adanya. Kita semua sering mendengar kasus-kasus seperti, pembunuhan, penganiyaan, tawuran antar desa, perampokan, geng motor dan pemerkosaan di layar televisi kesayangan kita semua. Sebetulnya fenomena social yang deskuktif tersebut bisa kita renungi apa yang menjadi sebab musababnya. Oleh karena itu dalam mencari jawabannya perlu diadakan penelitian baik menggunakan kajian sosiologi, antropologi, bisa juga lihat dari segi ilmu hukum dan kriminologi di Indonesia.

Dari beberapa fenomena-fenomena sosial yang sedang marak akhir-akhir ini, kelompok kami lebih tertarik kepada kasus kebrutalan geng motor yang akhir-akhir ini menjadi sorotan media masa, terutama sorotan aparat hukum. Melihat kasus kebrutalan geng motor ini, kelompok kami lebih mengkhususkan melihat kasus di wilayah kota dan kabupaten Bandung[1]. Adapun daya tarik dari kasus ini adalah dilihat dari keanggotaan geng motor tersebut mayoritas remaja-remaja tanggung artinya remaja yang usianya dibawah 17 tahun. Di lain sisi pada prinsipnya penegakan hukum harus tetap dijalankan dan hukum itu sendiri khususnya sistem hukum di Indonesia tidak mengenal pandang buluh[2]. Dengan sendirinya muncul pertanyaan di benak kita apakah ada pengecualian hukum bagi anak remaja tanggung ini?. Sistem hukum yang tidak pandang buluh ini di pengaruhi oleh aliran filsafat positivistic, maka dengan sendirinya kita sering menyebut dengan sebutan hukum positif (positivisme Hukum)[3]. Hukum positif, baik Indonesia atau di manapun juga, sebetulnya terpisah dengan nilai-nilai moral, adat dan agama sehingga hukum positif itu dikatakan berdiri sendiri artinya netral tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai lain dalam pelaksanaanya.

Di sinilah menariknya bagi kelompok kami, bahwasannya kasus kebrutalan geng motor ini bisa dilihat dari sistem hukum positif di Indonesia. Pada dasarnya keanggotaan dari geng motor ini mayoritas remaja-remaja tanggung, dengan melihat hal itu, bagaimana hukum positif di Indonesia menyikapinya?. Hal ini menjadi kajian menarik karena pada dasarnya hukum positif di manapun itu di pengaruhi oleh aliran filsafat positivisme. Sehingga aliran positivisme ini akan menjadi nyata adanya ketika harus diungkapkan dengan kasus yang (real) di lapangan.

Dalam mengungkap jawaban dari permasalahan-permasalahan yang ada, maka kelompok kami menggunakan pendekatan deduktif (Khusus-umum). Di sini, kelompok kami berangkat dari studi kasus yang ada di lapangan, kemudian kami analisis dengan alat analisis (teori) yang ada, sehingga dari hasil analisis tersebut kelompok kami bisa mengeneralisasikan temuan-temuan yang di dapat. Pendekatan ini kami ambil karena menurut kami dengan menggunakan pendekatan ini kami akan dengan mudah mencari permasalahan yang berangkat dari Fenomena sosial yang ada di sekeliling kita.

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, masalah utama dari makalah ini adalah “ Bagaimana hubungan antara kasus geng Motor dengan teori positivisme hukum di Indonesia?”. Masalah utama ini akan dirinci lebih jauh dalam sejumlah perumusan masalah berikut:

1. Apa aliran filsafat positivisme itu sendiri?

2. Apa yang dimaksud dengan teori kebenaran menurut positivisme?

3. Bagaimana pengaruh aliran filsafat positivisme terhadap hukum di Indonesia?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penulisan makalah ini terbagi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah bersifat mengksplorasi permasalahan yang ada. Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini , yaitu:

1. Mengungkap pengaruh aliran filsafat positivisme

2. Menjelaskan tentang filsafat positivisme itu sendiri.

3. Menjelaskan tentang teori kebenaran menurut pandangan positivisme

Selain itu , makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.. Tujuan secara langsungnya ialah untuk menambah pengetahuan tentang aliran positivisme dan pengaruhnya terhadap hukum di Indonesia dan tujuan tidak langsungnya ialah diharapkan dapat menambah dan melengkapi tulisan-tulisan mengenai aliran filsafat positivisme

1.4. Sistematika Penulisan

Makalah ini dibagi dalam 3 bab. Berikut susunannya :

1. Bab I Pendahuluan

Pada bagian ini dijelaskan tentang latar belakang, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, terakhir sistematika penulisan.

2. Bab II Pembahasan

Pada bagian ini dikemukakan tentang pengertian positivisme sebagai aliran filsafat, teori kebenaran, dan pengaruh aliran filsafat terhadap hukum positisvisme Indonesia dengan studi kasus Geng Nero di wilayah Bandung.

3. Bab III Penutup

Bab terakhir ini memuat kesimpulan dan saran

4. Daftar Pustaka

Pada bagian ini berisi referensi-referensi dari berbagai media yang penulis gunakan untuk pembuatan makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN POSITIVISME

Teori Positivisme (logical Positivisme) adalah suatu aliran yang banyak mengalami perubahan yang mendasar dalam perjalan sejarahnya. Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggris. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni, maka itu harus melakukan observasi atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte[4] dan dipatok secara mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat. Agust Comte berkeyakinan bahwa makrifat-makrifat manusia melewati tiga tahapan sejarah: pertama, tahapan agama atau ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan (Polytheisme); tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman- pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi; dan adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena[5] (Achmadi, 1995: 121).. Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina menjadi Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke 19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi empiris dikategorikan bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna dan tidak memiliki kebenaran. Kesimpulan pandangan ini adalah agama dan filsafat (proposisi-proposisi agama dan filsafat) ambiguitas dan tidak bermakna, karena menurut kaum positivisme syarat suatu proposisi memiliki makna adalah harus bersifat analitis, yakni predikat diperoleh dari dzat subyek kemudian dipredikasikan atas subyek itu sendiri dan kebenarannya lahir dari proposisi itu sendiri serta pengingkarannya menyebabkan kontradiksi, atau mesti bersifat empiris, yakni melalui proses observasi dan pembuktian Dengan demikian, sebagaimana ungkapan Kornop ? salah seorang anggota dari Lingkaran Wina ? dalam suatu risalah berjudul "Menolak metafisika dengan analisis logikal teologi", kalimat-kalimat yang mengungkapkan perasaan (affective), seperti: alangkah indahnya cuaca! Atau pertanyaan, seperti: Di manakah letak kota Qum? Atau kalimat- kalimat perintah, metafisika dan agama, karena kalimat-kalimat dan proposisi-proposisi tersebut tidak melewati proses observasi dan eksprimen maka serupa dengan proposisi-proposisi yang tidak benar (bohong) Kaum Positivisme, seiring dengan perjalanan waktu, mengubah pandangannya yang ekstrim dan perlahan-lahan tidak menegaskan kemestian pembuktian dan eksperimen dalam menguji kebenaran suatu proposisi dan bahkan eksprimen tidak lagi dijadikan tolok ukur kebenaran proposisi. Mereka menyadari bahwa jika tolok ukur kebenaran (memiliki makna) proposisi-proposisi adalah melewati proses pembuktian dan eksperimen, maka sangat banyak proposisi-proposisi empiris yang tidak akan bermakna (tidak benar), karena tidak dapat dibuktikan secara yakin (100%). Mazhab filsafat ini dalam bagian lain mengakui bahwa manusia tidak mampu menyingkap hakikat realitas dalam bentuk pembuktian, penegasan, dan bahkan pembatalan tetapi hanya sebatas pemuasan akal. Kesimpulan dari semua pandangan kaum Positivisme adalah bahwa proposisi-proposisi agama yang karena tidak melewati observasi dan eksprimen maka tidak dikategorikan sebagai makrifat dan pengetahuan yang bermakna (baca: proposisi agama tidak benar) dan bahasa agama karena tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara eksprimen, maka tidak menjadi makna yang dapat diperhitungkan.

2.2. Kebenaran menurut pandangan positivisme

teori kebenaran menurut pandangan positivisme, Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.

Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.[6]

Kebenaran menurut pandangan positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika.

Di dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari Di dalam positivisme, valid tidaknya suatu pengetahuan validitas metodenya.

Dengan demikian, pengetahuan manusia, dan juga mungkin kebenaran itu sendiri, diganti posisinya oleh metodologi yang berbasiskan data yang juga diklaim obyektif murni dan universal. Dan, satu-satunya metodologi yang diakui oleh para pemikir positivisme adalah metode ilmu- ilmu alam yang mengklaim mampu mencapai obyektifitas murni dan bersifat universal. Metode-metode lain di luar metode ilmu-ilmu alam ini pun dianggap tidak mencukupi. Jadi, yang dimaksud dengan kebenaran menurut pandangan positivisme adalah kebenaran yang pernah dialami oleh pancaindera (empiris), yang realistis dan memiliki fakta-fakta yang sebenarnya. Aliran ini tidak meyakini hal-hal yang berhubungan dengan metafisika ataupun gaib yang tidak disertai dengan fakta-fakta yang ada. Aliran ini hanya meyakini paham-paham realisme, materialisme naturalisme filsafat dan empirisme.

2.3. Pengaruh Aliran Filsafat Positivisme terhadap hukum Di Indonesia

Aliran Filsafat positivisme dari awal sudah dijelaskan sebagai aliran yang berlandaskan rasionalitas atau empirisme artinya tidak tersentuh oleh kebenaran agama dan metafisika. Asas-asas ketuhanan tidak digunakan dalam pengungkapan kebenaran, tetapi pengungkapan kebenaran menurut aliran positivisme lebih kepada pengungkapan hukum alam atau hasil observasi. Dalam hal ini jelas sekali pengaruh positivisme terhadap hukum di Indonesia. Sifat hukum Indonesia yang mandiri atau tidak terpangaruh oleh asas-asas ketuhanan, nilai-nilai moral, adat, nilai-nilai mistik menjadi indikator bahwa sistem hukum di Indonesia baik itu hukum perdata, pidana, Tata Negara, tata usaha, terpengaruhi oleh aliran filsafat positivisme. Kebenaran-kebenaran di dalam hukum di ukur dari fakta-fakta yang ada di lapangan (empiris) artinya bersifat pengalaman indrawi atau fakta-fakta ini bisa dirasakan oleh panca indra kita.

Menurut Jhon Austin, hukum adalah perintah kaum yang berdaulat. Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah – hukum dalam masyarakat adalah perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun. Dengan demikian,Austin mempertanggungjawabkan validitas hukum dengan merujuk pada asal usul atau sumber yang secara faktual empiris diakui memiliki otoritas untuk menciptakan hukum (Andre Ata Ujan, 2009: 70). Sedangkan Hans Kenlsen memiliki dua teori yang perlu diketengahkan, pertama ajaran tentang hukum yang bersifat murni bahwa hukum harus dipisahkan dari sesuatu yang tidak yuridis, seperti etis, sosiologis,ekonomis, budaya politis, dan sebagainya. Intinya hukum harus dilaksanakan karena perintahnya memang seperti itu, tanpa memperdulikan adil atau tidak, tapi hukum itu harus terlaksana, sedang yang kedua adalah mengutamakan adanya hierarkis dibandingkan perundang-undangan. Hal tersebut menunjukan bahwa hukum merupakan sollen yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial. Melalui pendapat dua ahli, cirri-ciri positivisme pada ilmu hukum adalah

a. Pengertian bahwa hukum adalah perintah dari manusia

b. Tidak ada hubungan mutlah antara hukum dan moral

Hukum positif Indonesia kental sekali dengan aliran positivime karena jelas hukum itu tidak terikat nilai-nilai lain, dan hukum seperti ini sudah dianggap cukup rasional dalam menanggulangi setiap kasus hukum di Indonesia. Adapun nilai-nilai moral, norma, agama, politis, etis, dan sosiologis di luar undang-undang hanya dapat diakui apabila dimungkinkan oleh undang-undang. Demikan pula dengan praktek hukum di tengah masyarakat. Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh teori positivisme, artinya implementasi kehidupan hukum di Indonesia berdasarkan pada teori positivisme hukum.

2.4. Kasus Kebrutalan Geng Motor di lihat dari hokum positif di Indonesia

Sebelum menganalisis kasus geng motor itu sendiri, kami akan mengungkapkan terlebih dahulu jenis-jenis hukum di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui bahwasannya sistem hukum di Indonesia merupakan campuran system hukum eropa, hukum agama,dan hukum adat. Ada beberapa macam hukum di Indonesia, diantaranya:

  1. Hukum Perdata, yakni hukum yang mengatur hubungan antar penduduk atau warga negara sehari-hari
  2. Hukum Pidana

Menurut isinya, dibagi menjadi hukum privat (hukum yang mengatur hubungan antar perorangan) dan hukum public ( hukum yang mengatur hubungan antara Negara dengan warganegaranya, sedangkan hukum pidana termasuk hukum public. Hukum pidana menjadi dua bagian, yakni hukum pidana materil ( hukum yang mengatur mengenai penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana atau sanksi) dan hukum pidana formil ( hukum yang mengatur mengenai pelaksanaan hukum pidana materil).

  1. Hukum Tata Negara

Hukum yang mengatur mengenai Negara antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan kelembagaan Negara, hubungan hukum antar lembaga, wilayah, dan warga Negara.

  1. Hukum Tata Usaha (administrasi) Negara,

Hukum yang mengatur mengenai administrasi Negara, atau hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dan menjalankan tugasnya.

  1. Hukum acara perdata dan pidana,

Hukum yang mengatur tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata dan pidana

  1. Hukum antar hukum tertuli

Hukum yang mengatur antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada hukum yang berbeda.

  1. Hukum adat,

Seperangkat norma atau adat yang berlaku di masyarakat.

  1. Hukum internasional

Itulah macam-macam hukum yang berlaku di Indonesia.

Dalam hal ini, kasus kebrutalan geng motor termasuk kepada ranah hukum pidana. Aksi geng motor di Bandung yang semakin meresahkan masyarakat ini tidak bisa ditolerir lagi karena aksinya ini sudah menjurus kepada tindakan-tindakan pidana seperti merusak fasilitas umum, penjarahan pusat pembelanjaan, tawuran antar geng motor, perampasan, bahkan pada tahap pembunuhan. Hal ini harus cepat ditindak tegas karena masyarakat memerlukan kenyamanan dalam segala aktifitasnya. Geng motor ini kerap menjalankan aksinya di malam hari, dengan cara bergerombol, mereka beraksi dengan cara menelusuri sudut –sudut jalan khususnya di kota Bandung. Aksinya tidak jarang mengganggu pengguna jalan yang lain bahkan sampai melakukan perampasan harta benda terhadap pengguna jalan yang lain yang kebetulan bertemu dengan mereka. Yang menjadi sorotan ialah bahwasannya pelakunya adalah anak-anak remaja di bawah umur, remaja-remaja tanggung yang dalam masa-masanya melakukan kenakalan remaja. Bila dilihat dari segi hukum, apakah kenakalan anak-anak ini bisa di maafkan atau ditolerir mengingat usia mereka yang masih belia?. Dalam teori hukum positivisme di Indonesia, jelas tidak bisa mentolerir, artinya siapa saja melakukan tindak pidana akan tetap diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Mereka yang melakukan tindak pidana baik dewasa maupun anak-anak akan di jerat pasal-pasal yang tertuang dalam kitab undang-undang hukum pidana termasuk anggota geng motor tersebut akan tetap terjerat. Secara teoritis hukum positif itu tidak kenal kompromi dengan moral atau etis, maka anak-anak yang terlibat dengan aksi kebrutalan geng motor tetap akan di proses dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bila di lihat dari segi moral atau norma di dalam masyarakat bahwasannya anak-anak itu harus di beri perlindungan dan jaminan hukum dari komnas Perlindungan Anak. Dengan kata lain , selayaknya anggota Geng motor yang dianggap masih remaja di bawah umur 17 tahun tidak mendapat hukuman selayaknya orang dewasa mengingat usia mereka yang masih belia. Oleh karena hukum positif di Indonesia itu sudah terpengeruhi oleh aliran filsafat positivisme, maka kemungkinan untuk di maafkan sangat sulit kecuali di mungkinkan oleh undang-undang.

Seperti yang kita ketahui bahwa kasus remaja yang menimbulkan banyak perhatian masyarakat ini sudah cukup lama di tangani oleh pihak kepolisian, akan tetapi di tindak setegas apapun oleh aparat kepolisian masih saja mereka selalu menjalankan aksinya. Selain itu video amatir yang merekam aksi kebrutalannya di salah satu pusat pembelajaan di Bandung sekaligus menjadi sasaran penjarah dan perusakan yang tak mungkin direkayasa dan jelas merupakan bukti yang memberatkan para anggota geng motor.

Seperti yang diberitakan harian Pikiran Rakyat (selasa 08/06/2010)

”Geng motor beraksi di jalan fly over pasopati yang menelan korban tewas yaitu Afif (18) dan Ricky (20). Seorang lagi yaitu Syukur Zebua (18) masih kritis dan dirawat di Instalasi Gawat Darurat RS HS Bandung. Sementara seorang korban lainnya selamat dan masih menjalani pemeriksaan di kepolisian. Berdasarkan data yang diperoleh wartawan, peristiwa itu terjadi Selasa (8/6) kira-kira pukul 2.00 WIB. Kejadian bermula ketika keempat korban hendak pulang dari daerah Sukajadi dan Gegerkalong. Afif dan Rizky pulang duluan memakai motor Yamaha Nouvo. Di fly over Pasupati (sekitar Balubur), Afif dan Ricky dicegat sekitar 10 motor yang diduga geng motor. Korban diduga dipaksa menyerahkan kendaraannya tapi berusaha melawan. Pelaku pun menghajar kedua korban memakai golok dan tongkat.Syukur dan Agus yang datang belakangan, melihat Ricky dan Afif dalam kondisi terkapar di jalan. Keduanya berusaha menolong korban dengan menabrakkan motor ke pelaku. Keduanya juga menjadi sasaran para pelaku yang berjumlah lebih banyak. Namun Agus berhasil meloloskan diri.Berhasil menghabisi korbannya, para pelaku membawa motor Jupiter Z milik korban. Sementara motor Yamaha Nouvo milik Ricky, tak sempat dibawa.Afif dan Ricky tewas di tempat. Afif mengalami 1 luka tusukan di dada sedangkan Ricky mendapat 3 luka tusukan di dada. Syukur mengalami dua luka tusukan di bawah tulang iga bagian kiri. Tusukan tersebut mengenai paru-paru Syukur dan kini korban masih dalam perawatan intensif di IGD RSHS”.

Dari pemberitaan di harian Pikiran Rakyat saja sudah memberi gambaran kepada kita betapa bringasnya mereka. Setidak-tidak pelaku penganiayaan itu di jatuhi pasal 351 bab XX mengenai penganiayaan dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebesar-besarnya empat puluh ribu lima ratus rupiah dan pasal 385 XX mengenai penganiayaan secara berkelompok yang mengakibatkan luka berat pada korban. Hukuman ini akan lebih berat lagi apabila pelaku dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam hal ini pelaku kebrutalan geng motor yang nota bene masih remaja-remaja, kira-kira mereka yang masih duduk di tingkat SMP dan SMA tidak akan mendapat keringanan hukuman, bahkan kiranya Lembaga Hak Perlindungan Anak di Kota Bandung pun tidak bersedia memberikan hak mereka di depan hukum (pengadilan) kelak kalau sudah di proses di pengadilan. Kecilnya kemungkinan hukuman dijatuhkan pada mereka untuk dikurangi menunjukan bahwa system hukum di Indonesia berdasarkan pada positivisme hukum dimana antara hukum dan sosial tidak dikaitkan satu sama lain.

2.5 Pencegahan Dini Terhadap Kenakalan Remaja (Geng Motor)

Tindak pidana oleh Geng motor menunjukan bobroknya sosialisasi antar remaja pada masa kini. Peritiwa yang telah terjadi tidak akan bisa di ulang kembali, namun sebgai warga Negara Indonesia yang mentaati hukum, perlu diberikan pencegahan dini terhadap generasi penerus. Salah satunya adalah dengan sosialisasi dari lembaga perlindungan anak. Melalui program tersebut akan ada hubungan antara lembaga perlindungan anak dengan anan-anak remaja sehingga mereka dapat terjun langsung menyaksikan pergaulan remaja masa kini.

2.5. Krtiti Terhadap Positvisme

Salah satu tokoh yang selalu melontarkan kritikan terhadap aliran positivisme ialah Mikhael Dua. Ia mengkritik apa yang disebut dengan positivisme logis atau positivisme modern, yakni suatu aliran pemikiran yang berpendapat bahwa “ tugas utama filsafat adalah berpikir secara posivistis dan memandang tugasnya untuk membangun suatu analisis logis atas pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan empiris.

Di dalam seluruh pemaparannya, Mikhael Dua tampak selalu bertegangan dengan paradigma positivisme ini, baik secara jelas maupun secara emplisit. Dengan menggunakan berbagai teori di dalam filsafat ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan para pemikir, seperti Karl Popper dengan falsifikasinya, Hempel, Thomas Kuhn dan beberapa pemikir lainnya, Mikhael Dua tampak menabuh gendering perang terhadap positivisme.

Kritikan yang dilontarkan ini tidak lain, pertama bermaksud hendak menyelematkan manusia dari reduksi pengetahuan tentang dunianya ke Dalam data-data empiris dan analisis-analisis logis semata, sekaligus memberi ruang untuk pengetahuan yang secara dealektis mampu mencakup keseluruhan, kedua untuk membantu kita untuk menempatkan kembali ilmu pengetahuan di dalam totalitas kehidupan manusia yang pada hakekatnya bersifat dialektis. “ Tidak ada sebuah teori”,

Bagaimanapun, ilmu pengetahuan adalah sebuah bagian totalitasa kehidupan manusia, dan oleh karenanya juga tidak luput dari cacat-cacat yang pada akhirnya bisa menghancurkanmanusia itu sendiri, sehingga kita bisa secara kritis menanggapi berbagai isu-isu yang tentang ilmuj pengetahuan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, mulai dari validitas suatu teori ilmoah, sampai dampak ilmu pengetahuan bagi totalitas kehidupan manusia.

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem hukum adalah sistem logis, tetap, dan bersifat tertutup. Keputusan-keputusan hukum yang tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial dan ukuran-ukuran moral. Disamping itu, pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan yang harus di buktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian, atau percobaan. Adapun nilai-nilai moral dan etika serta kepentingan rakyat dalam kenyataan-kenyataan sosial di masyarakat hanya sebagai pendorong untuk terbentuknya sistem hukum yang baru melalui perubahan, korekki, serta pembentukan perundang-undangan yang baru.

Akan tetapi ada pula kekurangan dalam positivisme hukum yakni sifat hukum yang tidak dapat didekatkan dengan kehidupan sosial seperti kasus geng motor ini. Pada kenyataannya, hukuman tetap akan dijatuhkan kepada anggota geng motor yang masih remaja ini dengan melalui prosedur hukum. Namun mengingat bahwa positivisme hukum tidak memperdulikan faktor religi, sosial, maupun adat, hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelaku anggota geng motor yang dianggap masih remaja tanggung tersebut akan sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP, sehingga hukuman penjara di penjara bagi anak remaja akan mengganggu kejiwaan mereka. Oleh karena itu menurut kelompok kami, ada baiknya apabila sistem hukum di Indonesia juga mendekatkan faktor sosial dan adat karena adat serta budaya negara kita berlainan dengan adat dan budaya negara-negara barat.

3.2. SARAN

Pada dasarnya, kasus geng motor membutuhkan perhatian dari berbagai pihak, baik itu aparat hukum, Lingkungan Keluarga, Komnas Perlindungan Anak, dan praktisi Pendidikan. Sebetulnya ini menjadi tanggung jawab bersama untuk menyelesaikan kasus geng motor ini, khususnya kita sebagai insane pendidik harus senantiasa memberikan arahan kepada anak-didik kita untuk melakukan hal-hal yang bersifat positif. Selain itu guru sebagai insane pendidik harus senantiasa juga mengingatkan kepada anak didiknya bahwasannya kalau sudah berurusan dengan hukum hak-hak kita sebagai manusia akan dirampas dan hal itu tidak ada perkecualian. Kasus kebrutalan geng motor ini adalah cerminan dari perasaan agresif anak-anak remaja. Oleh karena itu penyembuhan dapat dicapai melalui pendekatan intensif terhadap anggota-anggotanya.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Achmadi, Asmoro. 1995.

Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sugandi, R. 1980.

KUHP dan Penyelesaian. Surabaya : Usaha Nasional

Suriasumantri, Jujun. S. 2007

Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi ketiga.Jakarta. Balai Pustaka

Sumber Internet

- Hukum dan Politik dalam system Hukum di Indonesia, di akses http:/hamdanzoelva.wordpress.com /2010/08/29

- Hukum di Indonesia yang dapat di akses http:/wepedia. Mobi/id/hukum_Indonesia 2010/08/29

- Sistem hukum di dunia ,aksesn http:/ id.wikipedia.org/wiki/ system hukum di dunia 2010/08/29



[1] Kelompok Geng Motor yang sering meresahkan masyarakat Bandung dan sekitarnya adalah geng motor XTC, BRIGEZ, MOONRAKER, GBR Geng motor ini tidak hanya meresahkan saja tetapi sudah melakukan hal-hal yang dikategorikan tindak pidana, seperti penganiayaan, penjarahan , bahkan pembunuhan.

[2] Apabila prinsip hukum yang pandang buluh tidak dijalankan sebagaimana mestinya itu diluar prinsip ini, dan hal tersebut dikategorikan ke dalam penyelewengan hukum.

[3] Aliran Hukum positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologi yang dikembangkan oleh filofof Perancis, Auguste comte (1798-1857). Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum dilhat dari ketentuan yang ada dalam undang-undang (Sugandi: 1980: 28)

[4] August Comte dilahirkan di Montpellier, Prancis. Sebuah karyanya adalah Cours de philosophia positive (Kursus tentang filsafat positif) dan berjasa dalam mencipta ilmu sosiologi (Achmadi, 1995: 120).

[5] Ketiga tahap tersebut berlaku pada setiap individu (dalam perkembangan rohani) juga, dan di bidang ilmu. Pada akhirnya, August Comte berupaya membangun agama baru tanpa teologi tetapi didasarkan kepada filsafat positivismenya. Agama baru tanpa teologi ini mengungkapkan akal dan mendambakan kemanusiaan dengan semboyan “ cinta sebagai prinsip, teratur sebagai basis, kemajuan sebagai tujuan. Sebagai istilah ciptaanya yang tekenal altruism yaitu menganggap bahwa soal utama bagi manusia ialah usaha untuk hidup bagi kepentingan orang lain (Achmadi, 1995: 120-121).

[6] Keempat aliran yang mendukung aliran positivisme ini merupakan aliran filsafat modern, Secara histories, zaman modern dimulai sejak adanya krisis zaman pertengahan selama dua abad (abad ke-14 dan ke-15), yang ditandai dengan munculnya gerakan renaisasance atau masa kelahiran kembali. Renaissance akan banyak memberikan segala aspek realitas. Akal diberi kepercayaan yang lebih besar karena adanya keyakinan bahwa akal pasti dapat menerangkan segala macam persoalan yang diperlukan juga pemecahannya. Asumsi yang digunakan, semakin besar kekuasaan akal dapar diharapkan lahir “dunia baru” yang penghuninya ( manusia-manusianya) dapat merasa puas atas dasar kepemimpinan akal yang sehat (Achmadi, 1995: 124-125)

Analisis Tiga Buku Karya Prof .Drs. Kosasih Djahiri Oleh Deden Wahyudin, S.S

BAB 1

URAIAN TENTANG BUKU

1. Buku Pertama

Judul Buku : Kapita Selekta Pembelajaran (Pembaharuan Paradigma PKN-PIPS- PAI)

Penulis Buku : Prof. Drs. H. Kosasih Djahiri (Guru Besar Pendidikan Nilaia dan Moral UPI)

Daftar Isi : - Bab I Pembelajaran

- Bab II Pardigma Baru Pembelajaran Pkn-IPS- PAI

- Bab III Kurikulum- Silabus dan unit Pembelajaran

- Bab IV Kualifikasi dan proses Pembelajran

- Bab V Pembelajran Portofolio

- Bab VII Laboratorium Pkn Sekolah

2. Buku Kedua

Judul Buku : Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral

Penulis Buku : Prof. Drs. H. A. Kosasih Djahiri (Guru Besar Pendidikan Nilaia dan Moral UPI)

Daftar Isi : - Bab I Hakekat Nilai- Moral dan Norma

- Bab II Hakekat Nilai dan Moral

- Bab III Pendidikan Nilai dan Pendekatannya

- Bab IV Tahapan perkembangan Moral

- Bab V Proses Pendidikan Nilai dan Moral

3. Buku Ketiga

1. Judul Buku : Kumpulan Handouts dan Petikan Internet Pandidikan Nilai Moral

2. Penulis Buku : Prof. Drs. H. A. Kosasih Djahiri (Guru Besar Pendidikan Nilaia dan Moral UPI)

Daftar Isi : Handouts : Perkembangan Dunia Afektif

Internet : ACT, Cognitive Dissonance, Multipple Intelligences, Character and Culture, Algo- Heuristic Theory, The Spiritual Nature of Human Being, Moral da n Character development, System model human behavior, Personality, Gender, and The Ways People Percceive Moral Dilemmas in Everyday life.

BAB II

ISI BUKU

  1. Buku Pertama ( Kapita Selekta Pembelajran Memahami Paradigma Baru Pembelajaran PKN- IPS-PAI)

1. Pembelajaran

Dalam buku ini banyak disinggung mengenai tentang bagaimana proses pembelajaran yang memang semestinya dilakukan. Pembelajaran dapat dilihat beberapa segi, pertama dilihat dari programatik ataupun prosudural. Secara programatik, pembelajaran sudah terprogram secara sistematis yang sebelumnya sudah dirancang oleh guru. Dari segi procedural, proses pembelajaran meliputi proses belajar- mengajar yang artinya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru ketika melihat potensi dari si anak didik. Guru artinya tidak melihat dari satu sisi, tetapi guru harus bisa memahami dimensi-dimensi lain tentang sisi-sisi kehidupan dari peserta didik itu sendiri. Dengan memahami dimensi-dimensi tersebut, maka paradigma guru tidak parsial lagi dalam memandang objek pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu penting bagi guru untuk senantiasa kreatif dalam proses pembelajaran. Selanjutnya, pencapaian kompetensi siswa tidak samapai kepada siswa itu hapal / tahu (kognitif) tentang materi yang diberikann, tetapi harus lebih jauh lagi bahwa ilmu yang guru sampaikan harus bisa berguna bagi peserta didik sekarang dan esok.

Selain keparsialan dalam proses belajar diatas, kita sering mengalami pembelajaran yang student centered ketika proses belajar-mengajar. Anak didik menjadi sasaran objek yang pasif, artinya hanya sebagai instrument yang hanya menerima pelajaran seca mentah-mentah. Oprasionalisasi cendrung bersifat

a. Guru sentries

b. Terpaku pada buku pegangan

Untuk menghilangkan keparsialan dalam prosesn pembelajaran maka harus dipahami 22 potensi manusia yang dapat kita terapkan dalam memahami peserta didik

Ø 6 Potensi Kognitif ialah daya hafal/ recall; faham, penerapan, analisis sintesis dan evaluative/nalar

Ø 8 Potensi afektual/afektif ialah daya: emoting/mengemosi, minding/ nyawang, feeling, cita rasa, willingness/kemauan, love/kecintaan, sikap/attitude, value system/system nilai dan belief system/keyakinan.

Ø 8 potensi psikomotori meliputi daya: mempersepsi/mengenali, setting/kesiapan atau kesanggupan diri, meniru, mengubah.menyesuaikan, mecipta/orginalisasi, ketepatan, kecepatan dan kecamatan.

1. Pembelajaran Cognitif

Pembelajaran kognitif yang ideal semestinya sebagai berikut :

1. Secara procedural pembelajaran harus bersifat mengundang, mengajak, menggetarkan. 6 potensi kognitif, yakni daya: ingat, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, evaluative/nalar

2. Program M3SE yang dikembangkan guru: Materi pelajran (bahan materi pelajran BMP) harus utuh. 6 kognitif yang tadi harus berbentuk data-fakta-konsep-teori-dalil/hukum-generalisasi, dst.

Apabila ditelaah berarti pembelajaran cognitive ini adalah pola pembelajran yang dilakukan oleh semua guru, namun tidak tidak utuh bersifat parsial baik potensi diri siswa (learning skill yang 22) maupun M2Senya.

3. Pembelajaran Afektif

Dunia afektif adalah bagian dari potensni diri manusia yang sering dilabel dengan potensi spiritual atau emosional atau kejiwaan yang adanya dalam qolb/kalbu. Menurut para ahli dunia afektif ini disebut the central of human being dan menjadi penentu/penuntun/pengarah bagi dunia lainnya.

Dunia afektif memang bersifat unik/unique karena alasan berikut:

1. Bersifat psikologis kejiwaan-abstrak

2. Sukar dibaca kecuali indicator affektual berupa 8 potensi diri afektualnya

3. Bisa berubah (changeable/moveable) berkembang (developmental); jadi bisa bersifat labil.

4. Bersifak kontekstual/ kondisional/ situasional

5. Sifat-sifat kecendruangan saja hal diatas

Dunia afektif indicator penentunya yang juga adalah afektual atau affektual learning skills meliputi:

1. Insting- emosi

2. Felling-minding

3. Cita dan rasa

4. Willingness/kemauan

5. Love/ kecintaan

4. Pembelajaran Psikomotorik (Keterampilan Teknis dan Sosial)

Secara programatik harus mampu membelajarkan potensi fisik, keterampilan-keterampilan teknis/social/okupasional/professional siswa.

Keterampilan-keterampilan tadi meliputi a.l keterampilan:

a. Verbal/berbicara/lisan yang baik dan benar

b. Gestural, yakni gerak panca indra dan fisik

c. How to behave/ferforme/to act

d. Soscial skill relationships

e. How to play (apa yang dibelajarkan dan aturan maen kehidupan).

AZAS PENDIDIKAN AFEKTIF (PENDIDIKAN NILAI-MORAL)

Proses afektual hendaknya selalu membarengi/simultan dengan proses kognitif/psikomotorik. Hal ini dikarenakan beberapa alas an, ialah a.l:

  1. Dalil/ teori pendulum (bandul jam/clock) Mc. Luhan yang mangatakan bahwa kalau pendulum hanya digerakan ke kutub kognitif saja maka akan menjadikan manusia cerdasa namun”bebal” potensi emosionalnya (tidak bermoral/berperasaandll)


Emosional Dunia/potensi intelektual/kognitif

5. Pembelajaran Portofolio

Mengenai jenis metoda yang sebaiknya diserap dalam paket Portofolio sebainya strategi/metoda belajar yang besar/banyak liputan KBS nya seperti a.l: Inkuiri, pemcahan Masalah, masalah , Partisipatorik/ Magang, Studi Proyek (Project Study), inkuiri Nilai, Latihan, Latihan Pekonan, Sosio Drama, Simulasi nyata (simulation game).

2. Buku Kedua ( Menelulusuri Dunia Afektif “ Pendidikan Nilai dan Moral”)

Dalam buku kedua ini banyak membahas mengenai bagaimana dunia afektif menjadi motor penggerak dari pada dunia-dunia yang lain, sehingga apa yang menjadi dasar pembelajaran akan terarah dengan teratur. Dalam hal ini Buku yang kedua ini, penulis memfokuskan kepada hal-hal yang bersifat kemampuan yang menjadi bawaan dari setiap anak didik. Hal ini harus dipahami betul oleh para pengajar sehingga guru tidak lagi salah dalam mengambil tindakan terhadap anak didiknya.

Potensi rohaniah yang dibawa setiap anak manusia serta menjadi fokus telaahan pendidikan ialah alam pikiran dan kejiwaan dengan aneka kemampuan yang ada atau dibawa peserta didik pada saat akan belajar. Ada 3 teori domain yang menjadi andalan potensi belajar, yakni kognitif, afektif, dan psikomotorik yang masing-masing mempunyai taksonomi sendiri-sendiri.

Ketiga domain tersebut merupakan kesatuaan yang utuh artinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keutuhan yang tadi menjadi kesatuan yang manunggal akan mampu memantapkan hasil belajar yang canggih yang diiringi dengan ‘ ni;ai-moral atau isi pesan kebermaknaan bagi manusia (nilai manusiawi) dan kebesaran Allah swt tidak akan menjadi proses dan factor resonansi---ketqakwaan dan kemanusiaan .

HAKEKAT NILAI DAN MORAL

Nilai (value) berada dalam diri manusia (suara lubuk hati manusia). Arti nilai (value) secara sederahana dan mudah dipahami dengan bahasa umum yakni harga yang diberikan oleh seorang/kelompok manusia terhadap sesuatu. Harga mana tentunya akan ditentukan oleh tata nilai (value system). Harga afectual, yakni harga yang menyangkut dunia afektif manusia.

Jadi Nilai adalah harga yang diberikan oleh seorang/sekelompok orang terhadap sesuatu (materil, imateril, personal, kondisional)atau harga yang dibawakan/tersirat atau menjadi jati diri dari suatu.

DUNIA AFEKTIF

Dimaksudkan dengan “dunia afektif”, yakni hal ihwal afektif baik mengenai sifat—karakteristik, struktur potensi dan isi substansiilnya. Dalam Bab 1 masalah kualifikasi sudah banyak kami angkat, antara lain bahwa ini adalah wadah daripada nilai—moral dan norma (sebagai keyakinan dan prinsip), dunia yang unik, kejiwaan, sukar dibaca dan dinilai atau diduga, multi dimensi ini substansiilnya, kontekstual—kondisional, bisa subjektif-personal tetapi bisa juga objektif—universal,- mono—pluralistik, taksonomi—sksperiensial, systemic—interadiatif.

Secara structural dunia afektif ini terdiri atas sejumlah potensi afektual yang terdiri atas 9 potensi pokok; yakni insting, emosi, feeling, cita rasa, keinginan (willing), kecintaan (love), sikap (attitude), system nilai (value system) dan system keyakinan dan system keyakinan (belief system). Potensi ini ada dalam dmidi manusia dalam rantangan kadar kualitatif dan kualitatif yang selalu berubah (developmental) pasang surut serta tidak sama antar manusia. Pembinaan oleh diri yang bersangkutan dan atau rekayasa orang lain (termasuk diknil) menentukan arahdan kadar kuantitatif-kualitatif serta pasang surut potensi tersebut (baik secara affectual maupun substansial.

3. Buku ketiga ( Kumpulan Handdouts dan Petikan Internet Pendidikan Nilai Moral)

MORAL AND CHARACTER DEVELOPMENT

``Higgnis & Kohlberg (1989)….both educators and the public belief that character educations to be an importans aspec of schooling. Target Educations ----pembelajaran: pemebinaan, peningkatan dan pengembangan potensi diri, pembekalan pengetahuan dan pelatihan tknikal dan keahlian social untuk peradaban dan pendidikan yang baik sehingga menjadi seorang yang sehat dan mempunyai lingkungan yang manusiawi.

Target Dikum (1973):

  1. Develop skill in reading, writing, speaking and listening ---skill
  2. Develop pride in work and feeling or self worth
  3. Develop gmood character and self respect; consist of:

1. Moral repobility and sound ethical and moral behavior

2. Capacity for discipline

3. Moral and ethical sense of the values, goals and the prosesses of a free society---madhaniah society (RI)

4. Standard of personal character and ideas---moral base dan claim.

Determinant factors in the moral development and behavior:

  1. Heredety---biological and holistic Moral Development
  2. Early Childhood Experiences---learning experiences
  3. Modeling--- Personal---material---immaterial
  4. Peer influence
  5. The general phsycal and social envirovment—social and nation

Characteristics; consist of:

a. Moral philosophy---mithe, ideas, symbols and slogan

b. Major word religious and institutions

c. Community setting and institutons---infra and supra structure (IPOLEKSOSBUDAG)

d. School setting

e. Moral and character Development---myth and ideas (Asthon and Huitt, 1980)

f. Cultural heritage and cultur practices---IPOLEKSOSBUDAG

g. Degree of modernity---readinnes IPTEK anf globalism

h. International factor/influence.

  1. The communications media
  2. School and Ed. Institution Program
  3. Specific situations and roles.

KETERKAITAN HAM DALAM PENDIDIKAN BUDI PEKERTI (PBP) dan PPkn/PKn/Kn

  1. Hakekat HAM memuat ikhwal:

a. Harga manusia secara utbul dan mduulti dimensional

b. Harga Kelompok kehidupan manusia (Masyarakat dan Bangsa) Dalam Astragatra kehidupan (Lingkaran dan aspek Kehidupan)

Melahirkan:

c. Aturan main—pola---tatanan normative---poleksosbud berkehidupan sebagai individu/ man—Masyarakat dan bangsa negara.

d. Hak---kewajibab---kewenangan---tugas dan tanggung jawab

  1. Hakekat PBP TELAAH/TUNTUNAN

Nilai---Moral---Norma Luhur diri dan kehidupan manusia---masyarakat// bangsa menurut berbagai acuan kehidupan ; hukum---agama---poleksosbud dan ilmu.

  1. Hakekat PPKn----Memanusiakan dan memperdayakan Sub. 1 dalam kehidupan BER-BNI
  2. Visi dan Misi sub 1-2-3 :

a. Memanusiakan dan memperdayakan manusia/ masyarakat/ bangsa

b. Memperdayakan kehidupan sub. A bagi mamnusia secara manusiawi—layak dan benar ( hukum ---agama---ilmu).

c. Mencipyakan kehidupan man/masyarakat BNI kini dan esok yang lebih baik dan indah---kehidupan madaniah

  1. Ruang lingkup kajian

a. Manusia seutuhnya (hukum dignity)

b. Kehidupan sub.5.a secara multi dimensional

  1. Dimensi kajian/pembelajaran

a. Keharusan

Normative---keilmuan

b. Realita factual (kemarin dan kini)

c. Proyeksi harapan ramalan dan perkembangan (secara spae dan waktu)

  1. Pola pembelajaran:
  2. Sumber dan media ajar
  3. Pola Penilaian.

BAB III

PERBANDINGAN BUKU

Dari ketiga buku yang dibahas di atas banyak sekali kajian tentang proses pembelajaran. Proses pembelajaran ini bisa dilihat dari beberapa dimensi, terutama dan yang paling utama adalah proses pembelajaran yang berbasis student center. Dalam proses pembelajaran ini banyak sekali permasalahan, baik yang dihadapi oleh guru dan murid sehingga harus segera diluruskan. Oleh karena itu dari ketiga buku ini akan memberi jalan terang mengenai permasalah ini, terutama masalah kegiatan pembelajaran yang terpusat di guru. Dari ketiga buku ini banyak membahas bagaimana kebijakan guru dalam proses belajar- mengajar terutama dalam memperdayakan potensi anak didik. Selain mambahas tentang kebijakan guru dalam memperdayakan potensi anak, ketiga buku ini juga membahas dunia afeltif. Oleh karena mari kita lihat satu persatu dari ketiga buku tersebut dalam memecahkan permasalahan di atas.

1. Buku : Kapita Selekta Pembelajran ( Pembaharuan Paradigma PKn-PIPS-PAI)

Dalam buku ini diawal-awal banyak mengungkap permasalahan-permasalahan dalam proses pembelajaran. Problema pembelajaran yang banyak ditemui di lapangan.

1. Pembelajran bersifat parsial dan monolitik

2. Pembelajaran tidak bersifat student

Di dalam buku pertama ini, memberi jawaban tentang bagaimana pembelajaran yang tidak parsial dan tidak bersifat student center. Biasanya guru dalam memperaktekan pengajaran terhadap anak didik kurang kreatif sehingga terjadi kejenuhan baik guru itu sendiri lebih-lebih murid murid itu sendiri. Seharusnya guru tidak terpaku pada kurikulum yang mempunyai system yang telah baku. Di sini harus ada ke kreativitas dari guru yang bersangkutan dalam melakukan proses pembelajran di kelas sehingga ada metode baru yang bisa menarik minta anak didik. Apabila kita lihat kebanyakan dari guru hanya melihat dari satu aspek yaitu dari aspek kognitif. Aspek kognitif ini juga dilihatnya sangat rendah sekali artinya hanya memperdaya murid untuk hafal saja dan pemahaman saja. Tidak jarang marah kalau ada siswa memakai daya nalarnya dengan pertanyaan analisis atau evaluative. Padalah secara kodratinya setiap manusia termasuk siswa memiliki sejumlah potensi diri yang potensial untuk dikembangkan walaupun ada batasannya.

Oleh karena itu, agar guru tidak terjebak dengan kondisi seperti itu, buku pertama ini member penerangan tentang apa-apa saja yang menjadi potensi anak. Di sini ada 22 potensi diri murid

  1. 6 Potensi kognitif ialah daya hafal/recall: faham, penerapan, analisis, sitesis, dan evaluative/nalar
  2. 8 potensi afektual/afektual ialah daya: emoting, mengemosi, minding, nyawang, feeling, cita dan rasa, sikap system keyakinan kecintaan
  3. 8 potensi psikomotorik meliputi daya: mempersepsi/mengenali, setting, kesiapan atau kesinambungan, kesanggupan diri, meniri, emngubah, menyesuaikan, emncipta, ketepatan dan kecermatan.

Selain membahas maslah proses pembelajaran yang seharusnya, buku yang pertama ini juga melihat dunia afektif yang dinggap sangatn penting dalam proses pembelajran (primary structure). ,Pengertian dnunia afektif dalam buku pertama ini diartikan potensi spiritual emotional dalam diri manusia yang datangnya dari hati atau qalbu. Dunia afektif ini menjadi factor penggerak terhadap factor-faktor yang lain sehingga factor ini menjadi ,penuntun yang baik bagi factor yang lain seperti kognitif, psikomotorik. Potensi ini akan menjaga manusia dari hal-hal yang kurang baik, dan member sugesti untuk berprilaku sebagaimana mestinya. Dunia affektif ini dirasa sangat unik dalam prakteknya, seperti

1. Bersifat psikologis

2. Sukar dibaca kecuali melalui indicator (abstrak)

3. Bisa Berubah

Itulah bahan perbandingan dari buku pertama.

2.Buku kedua Menelusuri Duni affektif

Dalam buku kedua ini sangat jelas membahas mengenai potensi-potensi yang ada dalam diri manusia/murid, sehingga potensi harus diperhatikan benar oleh seorang pendidik. Hal ini wajar harus dmiperhatikan olehseorang pendidik karena peserta didik harus diperlakuka secara kodratnya sebagai manusia. Tidak jauh berbeda dengan buku pertama,buku kedua juga membahas ketiga potensi yang harus dilihat, tetapi ketiga potensi ini disebut teori domain yang menjadi andalan belajar, yakni

  1. Kognitif (cognitive)
  2. Afektif ( affective)
  3. Psikomotor (Psychomotor)

Yang masing-masing memiliki struktur dan komponen serta taksonomi sendiri-sendiri. Dalam buku ini sangat menegaskan jangan sekali-sekali bahwasannya guru sebagai pengajar hanya menggnunakan satu domain saja sehingga tidak terjadi kekakuan ketidakberkembangan substansi belajar itu sediri. (hal: 1). Kalau saja ketiga domain diatas terlaksana akan terjadi keseimbangan yang baik.

Mengenai dunia affektif, buku yang kedua ini melihat dunia afektif sebagai sifat yang mempunyai karakteristik, struktur dan isi subtasinya. Scera struktual, dunia afektif terdiri atas sejumlah potensi afektual yang terdiri atas 9 pokok, yakni isting, emosi, cita-rasa, keinginan (willing), Kecintaan (love), sikap (attitude), system nilai (value system) dan system keyakinan (belief system). Kesembilan potensi ini ada pada setiap diri manusia dalam rentangan kadar kuantitatif dan kualitatif yang selalu berubah, pasang dan surut serta tidak sama antar manusia.

Jadi, sangat jelas sekali ada kesamaan pandangan antara buku yang pertama dengan buku yang kedua tentang ketiga potensi tersebut, dan keduanya menganggap penting ketiga potensi tersebut dalam proses belajar mengajar. Selain menggap penting ketiga potensi di atas, kedua buku itu juga menempatkan dunia afektif sebagai dunia yang penting dan sama-sama mengajurkan untuk menempat potensi afektif sebagai potensi yang utama.

4. Buku ketiga (Handouts dan Petikan Internet “ Pendidikan Nilai dan Moral”

Dalam pembahasannya buku ketiga ini juga membahas masalah potensi-potensi dalam diri peserta didik. Ketiga potensi ini menjadi landasan pembangunan (developmental) jati diri perserta didik. Dalam hal ini lebih difokuskan dalam hal pendidikan nilai (Diknil), berikut :

1. Diknil terjadi sepanjang masa hayat waktu/tempat/ (developmental)

2. Affectual- cognitive-psychom. Learning processes bersifat

a. Interactive/ interadiatif and interchangeable

b. Dapat berlangsung simultan dan atau beruntun.

c. Determinant factors: kualitas dan kekuatan stimulus: subjek dan objek + ketupat---counter cultural values.

Ketiga potensi ini selalu menjadi kajian oleh prof. Drs Kosasih Djahiri dalam buku-bukunya sehingga penekanan-penakanan selalu di arahkan pada potensi itu.

Dalam membahas dunia affektif, buku ini menjelaskan dunia afektual. Dalam perkembangannya, muncul tiga teori perkembangan moral (afektif):

  1. CMD---Moral Development melalui intellect develomepment/rasional.
  2. AMD—Moral Dev,, Pelakonan potensi afektual
  3. SMD—Moral Development Social behavior/ pengalaman diri
  4. BMD—Moral Development,, perkembangan/ konds organic system
  5. HMD Moral Development, Moral Development secara menyeluruh


Menimbulkan rasa takut/kwatir love>< Hate savety reward / punish good and nice man suriousity justice beatifull right/wrong essential, dll

Cita Rasa

Feeling Sense Of…..

Emotions Joro Joy/ kereteg

DATA FAKTA

Konsep

Nilai Moral/ moralitas

Norma

Norma

(Norma Acuan)


konsep Nilai

(Label ) (Harga)

MORAL

5 SYSTEM (Idiologis) (Politik)

KEHIDUPAN

1. Dunia diri

2. Keluarga

3. Masyaarakat / bangsa

Dari bagan di atas memperlihatkan bagaiamana dunia afektif (Dikni) manjadi acuan system kehidupan. Ini menjadi gambaran yang jelas bagi kita menengenai dunia afektif yang menjadi landasan proses pembelajaran yang baik.

Perbandingan dari ketiga buku di atas sangat jelas sekali, yang pertama : mengenai 3 potensi peserta didik dalam proses pembelajaran, yang kedua: mengenai dunia afektif.

BAB III

KESIMPULAN

Sangat sederahana sekali kalau kita mengambilan kesimpulan dari isi ketiga buku diatas. Dalam penjelasan yang singkat ini sebetulnya kita selaku insane pengajar harus sadar dengan proses pembelajaran yang selama ini dilakukan sangatlah jauh dari tujuan filosofi pendidikan itu sendiri. Mulai sekarang seharusnya kita sebagai guru harus paham betul terhadap tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Proses pembelajran itu sendiri seyogyanya harus lebih kepada student center (pusat pembalajaran adalah siswa itu sendiri). Pemusatan terhadap anak didik dalam proses pembelajaran itu harus segera dilakukan karena ini akan mengubah paradigma-paradigma yang selama ini telah terjadi kekeliruan. Dengan pendekatan dunia affektif saya kira proses pembelajaran akan berjalan dengan lancar, karena potensi afektif (moral) menjadi landasan yang memperkokoh karakter anak didik. Dunia afektif ini akan menunjang potensi-potensi yang lain seperti potensi kognitif (cognitive) dan potennsi psikomotorik (Psycomotoric).

Kita bahas gejala-gejala yang banyak ditemukan dilapangan berkaitan dengan proses pembelajaran.

1. Pembelajaran bersifat parsial edan monolitik

2. Pembelajran tidak bersifat student centered

Dengan adanya ketiga buku di atas, maka kita akan merubah paradigma yang selama ini menjadi kesalahan besar. Oleh karena itu, kita harus merubah pemikiran sebagai berikut:

1. Siswa seutuhnya (kaffah) dan dalam aneka kemampuan yang seba terbatas dan berada satu dengan lainnya serta bersifat dinamik-berkembang (develovmental)

2. Asas pedagogic lain yang diterapkan sebagai pembaharuan dalam pembelajaran ialah membelajarkan bahan ajar ( substansi materi pelajran). Bahan ajar sebagai madia ( untuk pengembangan potensi diri dan target pembelajran hendaknya dibelajarkan secara utuh dan meaningful serta fungsional)

3. Hal ketiga yang harus dibelajarkan ialah lingkungan belajar (learning envirovmental) adalah lingkungan kehidupan riil/ sekitar yang meliputi gatra/dimensional