Selasa, 02 Agustus 2011

KONSEP-KONSEP POKOK PENELITIAN FENOMENALOGI

2.1 Metodologi dan Metode Penelitian Pada Fenomenalogi
Metodologi yang merupakan penjelasan-penjelasan metode yang menyediakan dasar-dasar kerja filosofis bagi sebuah metode. Menetapkan posisi metodologi sama artinya dengan mendeskripsikan paradigma atau cara pandang terhadap realistis.
Pagi penganut positivistic, esensi metodologi adalah fakta sebagai objek real. Sementara bagi fenomenalogi, dunia itu salah satu makna yang direkontruksi secara intersubjektif. Dalam fenomenalogi yang mengalami pengalaman seseorang menurut dirinya sendiri-metode penelitian yang digunakan adalah metode filsafat. Metode ini mencakup analisis konseptual, analisis linguistic, metode heurmeneutik dan praksis, metode kritis historis, filsafat literature, dan logika formal. Metode-metode tersebut mendasari beberapa aspek pendekatan kualitatif dalam ilmu pengetahuan
Pemahaman metodologi ini, membawa kita pada hal mendasar mengenai asumsi-asumsi Metodologis dari fenomenalogi. Hal ini penting untuk menentukan metode penelitian seperti apa yang cocok nantinya. Fenomenalogi bertujuan untuk mengetahui dunia dari sudut pandang orang yang mengalaminya secara langsung atau berkaitan dengan sifat-sifat alami pengalaman manusia, dan maksa yang ditempelkann padanya. Dengan demikian peneliti fenomenalogi harus menunda proses penyimpulan mengenai sebuah fenomena, dengan menempatkan tersebut terlebih dahulu dalam tanda kurung. Atau dengan kata lain mempertanyakan dan meneliti terlebih dahulu fenomena yang tampak, dengan mempertimbangkan aspek kesadaran yang ada padanya.
Konsekwensinya dari hal tersebut di atas, fenomenalogi sebagai metode penelitian tidak menggunakan hipotesis dalam prosesnya, walaupun fenomenalogi bisa jadi menghasilkan sebuah hipotesis untuk diuji lebih lanjut. Selain itu, fenomenalogi tidak diawali dan tidak bertujuan untuk menguji teori. Jadi praktiknya, fenomenalogi cendrung menggunakan metode observasi, wawancara mendalam (kualitatif), dan analisis dokumen dengan metode hermeneutic
2.2 Pendekatan Kualitatf Penelitian Fenomenalogis
Pada dasarnya fenomenalogi cendrung untuk menggunakan paradigma penelitian kualitatif sebagai landasan metodologinya. Berikut ini perlu diuraikan sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi metodologis dan membedakannya dari penelitian kuantitatif
1. Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia
2. Fokus penelitian adalah pada keseluruhan, bukan pada perbagian yang membentuk keseluruhan itu.
3. Tujuan penelitian adalah menemukan makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran-ukuran realitas
4. Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut orang pertama, melalui wawancara formal dan informal.
5. Data yang diperoleh adalah dasar bagi pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku manusia
6. Pertanyaan yang dibuat mereflesikan kepentingan, keterlibatan dan komitmen pribadi dari peneliti.
7. Melihat pengalaman dan prilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya.
Sifat-sifat penelitian kualitatif, akan sejalan dengan ciri-ciri penelitian fenomenalogi berikut ini:
1. Fokus pada sesuatu yang tampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi) keluar dari rutinitas, dan keluar dari apa diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari
2. Fenomenalogi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.
3. Fenomenalogi mencari makna dan hakikat dari penampakan, dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penelaian dan pemahaman yang hakiki.
4. Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman. Sebuah deskripsi fenomenalogi akan sangat dekat dengan kealamiahan (Tekstur, kualitas, dan sifat-sifat penunjang) dari suatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya, dan menonjolkan sifat alamiah dan makna dibaliknya.
5. Fenomenalogi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian peneliti fenomenalogi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati. Analoginya peneliti itu menjadi salah satu bagian Puzzle dari sebuah kisah biografi
6. Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi peneliti akan sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya. Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek, dan subjek menjadi objeks
7. Investigasi yang dilakukan dalam rangka intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses keseluruhan
8. Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi, dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah.
9. Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Setiap kata harus dipilih, dimana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga menunjukan makna yang utama pula.
Dengan demikian, jelaslah bahwa fenomenalogi sangat relevan menggunakan penelitian kualitatif ketimbang penelitian kuantitatif, dalam menggunakan realitas.
2.3 Penerapan Fenomenalogi
Menurut Orleans, fenomenalogi secara mendasar digunakan dalam dua hal penting dalam ilmu sosial. Kedua hal tersebut adalah:
1. Untuk menteorikan masalah sosiologi yang substansial
2. Untuk meningkatkan kecukupan metode penelitian sosiologis
Dengan demikian, fenomenologis sebagai suatu sebuah metode penelitian menawarkan sebuah koreksi terhadap tekanan positivistic pada konseptualisasi dan metode penelitian, khususnya dalam ilmu sosial (termasuk ilmu komunikasi).
Sejalan dengan Orleans, Collin mengatakan fenomenologi dapat mengungkapkan objek secara meyakinkan, meskipun objek itu berupa objek kognitif maupun tindakan dan ucapan. Fenomenologi dapat melakukannya, karena segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu melibatkan proses mental. Dengan demikian fenomenologi dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan manusia.
Menurut pendapat Darroch dan Silver, penelitian fenomenologi berbeda dengan ilmu pengetahuan sosial konvensional yang lainnya. Penelitian fenomenalogi lebih banyak dilakukan pada tingkat metasosiologis, dengan menunjukan premis-premisnya melalui analis deskriptif dari prosedur situasional dan bangunan sosialnya. Fenomenalogi berusaha memahami pemahaman informan terhadap fenomena yang muncul dalam kesadarannya. Fenomena yang dialami informan adalah entitas sesuatu yang ada di dalam dunia.
Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan melakukan penelitian fenomenalogi, tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan sehingga memungkinkan pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti membuat interpretasi tentang makna perbuatan dan pikiran mereka akan struktur dan keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering digunakan fenomenalogi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan mereka berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Dengan demikian analisis fenomenalogi mempunyai prosedur yang sifatnya individual.
Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenalogi transedental dari Husserl:
a. Epoche
Epoche berarti “ menjauh dari”dan “ tidak memberikan suara”. Husserl menggunakan metode epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan metode Epoche, kita menyampingkan penilaian, bias, dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang kita miliki sebelumnya.
Dalam melakukan penelitian fenomenologi, epoche ini mutlak harus ada. Terutama ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung ( Bracketing methods). Memisahkan fenomena dari keseharian dan unsure-unsur fisiknya, dan ketika mengeluarkannya “ kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.
b. Reduksi Fenomenalogi
Tugas dari reduksi fenomenalogi adalah menjelaskan dalan susunan bahasa bagaimana objek iu terlihat. Tidak hanya dalam term objek secara eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, ritme, dan hubungan antara fenomena dengan “ aku”, sebagai subjek yang diamati. Fokusnya terletak pada kualitas dari pengalaman, sedangkan tantangannya ada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman. Dengan demikian proses ini terjadi lebih dari satu kali.
Reduksi akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu (leads us back to our own experience of the thins are). Memunculkan kembali penelian/ asumsi awal, dan mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya
c. Variasi Imajinasi
Dalam penelitian fenomenologi, setelah reduksi fenomenologi adalah variasi imajinasi. Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, dan pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan, dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tidak lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman (bagaimana fenomena berbicara mengenai dirinya). Dengan kata lain menjelaskan struktur esensial dari fenomena.
d. Sintesis Makna dan Esensi
Tahap terakhir dalam penelitian fenomenologi transcendental adalah integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam satu pertanyaan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan. Dengan demikian tahap ini adalah tahap penegakan pengetahuan mengenai hakikat.
Menurut Husserl, esensi adalah suatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas yang menjadikan sesuatu. Sedangkan menurut Sartre, esensi adalah rangkaian yang sangat penting, rangkaian yang saling jalin menjalin dari penampakan.
2.4 Penggunaan Teori dalam Penelitian Fenomenalogi
Fenomenalogi pada dasarnya berprinsip a priori, sehingga tidak diawali dan didasari oleh teori tertentu. Penelitian fenomenalogi justru berangkat dari perspektif filasafat, mengenai “apa” yang diamati, dan bagaimana cara mengamatinya. Adapun premis-premis dasar yang digunakan dalam penelitian fenomenalogi adalah sebagai berikut:
1. Sebuah peristiwa akan berarti mereka yang mengalaminya secara langsung.
2. Pemahaman objektif oleh pengalaman subjektif
3. Pengalaman manusia terdapat dalam struktur pengalaman itu sendiri tidak direkontruksi oleh peneliti.
2.5. Tahapan-Tahapan Penelitian Fenomenalogi
Berikut adalah tahapan-tahapan dalam penelitian Fenomenalogi:
a. Tahapan perencanaan
• Membuat daftar pertanyaan
• Menjelaskan latar belakang penelitian
• Memilih informan
• Telaah Dokumen
Berikut salah satu contoh format proposal penelitian fenomenalogi dari Creswell
a. Pendahuluan
1. Perumusan masalah
2. Tujuan Penelitian
3. Pertanyaan besar penelitian dan pertanyaan penelitian (yang lebih mendetail)
4. Definisi-definisi konsep dalam penelitian
5. Ada tidaknya pembatasan penelitian
b. Prosedur Penelitian
1. Asumsi dasar dan rasionalitas rancangan penelitian yang digunakan
2. Ciri-ciri rancangan penelitian yang digunakan
3. Peranan peneliti dalam penelitian.
4. Prosedur pengumpulan data
5. Metode pemeriksaan (validasi) data.
6. Hasil penelitian yang diharapkan, dan bagaimana hubungannya dengan teori dan literature yang ada
2.6 Tahap Pengumpulan Data
Menurut Creswell (Perluasan dari konsep-konsep Moustakas), teknik pengumpulan data dalam penelitian fenomenalogi adalah:
1. Wawancara mendalam
2. Refleksi diri
3. Gambaran realitas di luar konteks penelitian. Misalnya dalam novel, puisi, lukisan dan tarian
2.7 Prinsip dasar dan Etika Penelitian Fenomenalogi.
Berikut penjelasannya:
1. Membangun kesepakatan yang jelas dengan informan
2. Mengenali dengan jelas, data yang harus dirahasiakan dan data yang dapat dipublikasikan.
3. Membangun prosedur yang tepat agar tujuan, sifat alamiah, dan keperluan penelitian tergambar dengan jelas.
4. Menekankan kepada informan bahwa penelitian bisa jadi sangat luas, lama, dan tidak terbatas, dengan teknik pengumpulan data yang berganti-ganti. Misalnya menggunakan teknik penelitian wawacara dan mengisi kuisioner secara bergantian.
5. Mengijinkan informan untuk memberikan masukan dan ide, demi kenyamanan informan, dan kelengkapan penelitian
6. Mengijinkan informan untuk berhenti terlibat dalam penelitian, walaupun itu tengah-tengah penelitian
7. Menyediakan informasi yang lengkap mengenai tujuan dan sifat alamiah penelitian, termasuk jenis data yang dicari, dan cara pemilihan informan
8. Menyediakan informasi selama proses pengolahan data. Jadi informan juga memiliki akses terhadap selama penelitian berlangsung
9. Mempertimbangkan resika yang mungkin dihadapi berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental informan selama penelitian berlangsung
10. Membuka diskusi selama penelitian berlangsung, baik ketika perencanaan penelitian maupun ketika pengolahan data.
11. Tidak mempublikasikan informasi yang sifatnya rahasia pribadi kepada informan
12. Menekankan pada informan, bahwa informasi yang mereka berikan sangat penting bagi penelitian dan ilmu pengetahuan secara umum
13. Selalu konfirmasi dengan informa, sehingga tetap asli dan akurat.
14. Memberikan alternartif data yang berhibingan dengan data yang diberikan informan, sebagai bahan referensi informan.

Minggu, 05 Juni 2011

Book report

BAB 1
URAIAN TENTANG BUKU


1. Buku Pertama
Judul Buku : Evaluasi Kurikulum
Penulis Buku : Prof. Dr. S. Hamid Hasan, M.Pd
Daftar Isi : - Bab I Delineasi Bidang Evaluasi Kurikulum
- Bab II Definisi Tujuan dan Fungsi Evaluasi Kurikulum
- Bab III Landasan Evaluasi Kurikulum
- Bab IV Kriteria Evaluasi Kurikulum
- Bab V Jenis Evaluasi Kurikulum
- Bab VII Prosedur evaluasi kurikulum
- Bab VIII Model-model Evaluasi Kurikulum
- Bab XI Standar dalam Pelaksanaan Evaluasi

2. BUKU KEDUA
Judul Buku : Evaluasi Program Pendidikan (Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan
Penulis Buku : Prof. Dr. Suharsimi Arikunto
: Cepi Safruddin Abdul Jabar, M.Pd
Bab : - Bab I Konsep Evaluasi Program
- Bab II Pengembangan Kriteria Dalam Evaluasi
- Evaluasi Program
- Bab III Model Rancangan Evaluasi Program Pendidikan
- Bab IV Perencanaan Evaluasi Program
- Bab V langkah-langkah Evaluasi Program
- Bab VI Analisis Data Dalam Evaluasi Program
- Bab VII Menyusun Kesimpulan dan Rumusan Rekomendasi
- Bab VIII Menyusun Laporan Ealuasi
- Bab IX Tata Tulis Laporan Evaluasi

3. BUKU KETIGA
Judul Buku : Evaluasi Pendidikan Nilai
Penulis : Drs. Mawardi Lubis, M.Pd
- Bab I Pendahuluan
- Bab II Kajian Teoritis
- Bab III Metode Penelitian
- Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
- Bab V Kesimpulan dan Saran





























BAB II
ISI BUKU


A. Buku Pertama ( Evaluasi Kurikulum)

Dalam buku ini, banyak disinggung mengenai masalah evaluasi kurikulum dengan uraian mengenai perkembangan evaluasi evaluasi sebagai suatu kajian. Proses evalusasi perlu dilakukan dalam proseds apapun karena evaluasi ini akan menjadi titik tolak untuk pengembangan selanjutnya. Evaluasi tidak hanya didefinisikan sebagai suatu penilaian terhadap suatu pembelajaran atau pelaksanaan program tertentu , akan tetapi evaluasi dapat menjadi suatu kebijakan publik. Dilihat dari sejarahnya pengertian evaluasi sering dikaitkan atau tidak dapat dipisahkan dai bidang tes dan pengukuran. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, Indonesa telah memiliki landasan hukum yang mewajibkan adanya evaluasi terhaap kontruksi kurikulum dan pelaksanaan kurikulum di setiap satuan pendidikan. Berdasarkan ketentuan di atas, maka Indonesia waktu itu sudah memiliki badan yang memang bertugas sebagai pengevaluasi kurikulum. Pada awal perkembangannya , kebanyakan para pelopor evaluasi kurikulum adalah mereka yang terdidik dan ahli di bidang tes da pengukuran.
Sebagai baha kajian, evaluasi ada suatu keterkaitan dengan penelitian, keterkaitan desain pengumpulan data dan metode yang digunakan dalam evaluasi kurikulum diambil dari penelitian. Dalam hal ini untuk menegaskan bahwasannya evaluasi tidak hanya sebagai alat untuk mengukur atau mengetes semata, akan tetapi evaluasi ini bisa dijadikan.
1. Evaluasi Sebagai Kajian Akademik
Perkembangan kehadiran evaluasi bersamaan dengan kegiatan pendidikan pula. Ketika suatu proses pendidikan dilaksanakan oleh sekolah dan ketika guru mengambil sebagian dari tugas orang tua dalam mendidik maka pada waktu itu pekerjaan evaluasi sudah hadir. Dalam proses pendidikan tersebut, pada waktu-waktu tertentu guru melakukan evaluasi untuk menentukan kemajuan belajar peserta didik. Hasil evaluasi tersebut digunakan guru untuk berbagai hal seperti menemukan kelemahan belajar peserta didik, menentukan apakah seseorang ,peserta didik boleh mempelajari materi pelajaran yang lebih lanjut naik kelas, atau dianggap sudah menyelesaikan seluruh pelajaran disekolah tersebut, menyempurnakan materi/baan ajar atau proses pembelajaran. Alat pengumpulan data modern yang dikenal dunia pendidikan saat sekarang seperti tes tertulis dengan butir soal objektif, dan prosedur standar untuk menembangkan tes tertulis tersebut dan untuk melaksanakannya belum dikenal. Pada waktu guru mengumpulkan data berdasarkan apa yang diyakininya. Sudah barang tentu guru bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukannya, dilakukan sepenuh hati, penuh dedikasi, dan professional karena memang sejak awal evaluasi berfokus pada hasil belajar.
2. Evaluasi Sebagai Profesi
Suatu profesi adalah suatu pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang terdidik khusus untuk pekerjaan tersebut, meniti kariernya pada pekerjaan tersebut, dan melakukan tugas sesuai dengan nilai dan etika yang berlaku dalam profesi tersebut. Melalui pendidikan profesi yang bersangkutan dilatih dalam berbagai keterampilan yang diperlakukan dalam melaksanakan profesi, memahami berbagai aturan hukum (legal) yang berkenaan dengan profesi dan pelayanan profesinya, memahami dan memiliki berbagai nilai, moral, dan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi . Suatu pekerjaan dikatakan profesi adalah keberadaan organisasi profesi dandan adanya jurnal profesi. Organisasi profesi adalah organisasi yang memberikan wewenang bagi seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan profesi. Evaluasi adalah suatu profesi. Dalam pendidikan calon evaluator mempelajari berbagai pengetahuan, keterampilan, hukum, sikap, etika dan hal-hal yang berkenaan dengan profesi. Kurikulum untuk pendidikan evaluator di bidang evaluasi kurikulum bervariasi. Variasi tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari perbedaan filosofi evaluasi kurikulum yang dianut para pengembang program pendidikan. Filosofi itu mempengaruhi definisi evaluasi kurikulum, pandangan mengenai fungsi evaluasi kurikulum, relasi dengan clien, metodologi yang harus dikuasi, dan cara pelaporan.

3. Evaluasi Sebagai Kebijakan Publik
Evaluasi kerikulum tidak dapat berkembang jika tidak didukung oleh suatu kebijakan publik. Bentuk dukungan tersebut adalah ketentuan-ketentuan legak. Dengan adanya ketentuan dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003, secara legal Indonesia telah memiliki dasar bagi keberadaan evaluasi di dalam dunia pendidikan. Kondisi penataan pendidikan yang terjadi di tanah air dengan ketetapan bahwa pengembangan kurikulum berada di bawah wewenang pemerintah daerah, mengisyaratkan pentingnya evaluasi sebagai suatu kebijakan publik.
Kebijakan evaluasi kurikulum dan evaluasi pendidikan sebagai kebijakan Publik harus pula menjadi kebijakan di berbagai departemen dan kementrian di luar Depdiknas. Departemen dan kementerian ini banyak memiliki sekolah, lembaga pendidikan dan program pendidikan. Departemen Tenaga Kerja adalah contoh dari departemen yang memiliki lembaga program pendidikan. Oleh karena itu, kebijakan tentang evaluasi sudah harus menjadi bagian dan kebijakan pengambangan program di pendidikan di department tersebut.
4. Evaluasi, Pengukuran, dan Tes
Bidang kajian evaluasi kurikulum pada awalnya memiliki akar kuat pada pendekatan kuantitatif. Berdasarkan filosofi positivism, pendekatan kuantitatif dikenal dengan penggunaan teori pengukuran (measurement) untuk pengumpulan data, disain eksperimen untuk menghasilkan data dan kebenaran temuan yang bersifat universal. Teori pengukuran merupakan dasar untuk alat pengumpul data yang dikenal dengan nama tes sehingga ketika orang berbcara tentang pengukutan makas seringkali yang dimaksudkan tes.
Evaluasi kurikulum adalah salah satu bidang kajian dalam disiplin kurikulum. Schubert (1984) menulis ada tujuh bidang kajian dalam disiplin kurikulum atau ilmu kurikulum.Bidang-bidang tersebut adalah : 1) Curriculum philosophy, 2) Curriculum theory, 3) curriculum development, 4) curriculum model, 5) curriculum educations, 6) curriculum implementation, 7) curriculum research.
5. Evaluasi dan Penelitian
Evaluasi berbeda dengan penelitian. Evaluasi kurikulum berbeda dengan penelitian kurikulum. Evaluasi memiliki tugas melakukan pertimbangan. Evaluasi tidak dapat dipisahkan dari standard dan kriteria dan berdasarkan keduanya pertimbangan tersebut diberikan. Penelitian bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara berbagai variabel berdasarkan data yang dikumpulkan secara empirik (Sax, 1979:19). Berdasarkan hubungan yang terjadi berbagai variabel, penelitian melakukan abstraksi untuk kemudian mengembagkan suatu teori yag dapat digunakan untu menjelaskan fenomena yang sama ditempat dan waktu yang sama atau fenomena yang sama di tempat dan waktu yang tidak sama. Evaluasi hanya memusatkan perhatiannya pada fenomena masa sekarang. Fenomena itu berbentuk kegiatan pengembangan kurikulum yang masih dalam proses ataupun setelah satu kurikulum dilaksanakan. Apabila suatu kurikulum sudah dilaksanakan fokus diarahkan pada evaluasi dampak. Evaluasi tidak melaksanakan fokus kajian pada fenomena yanng belum ada ada ataupun fenomena yang akan diadakan kemudian.
Dalam bab selanjutnya dibicarakan Tujuan dan fungsi Evaluasi Kurikulum. Permasalahan inti dari bab ini adalah apa, untuk apa serta apa fungsi dari evaluasi kurikulum. Ketiga permasalahan ini menjadi suatu yang saling memberikan landasan mengenai evaluasi kurikulum.
Pengertian evaluasi yang dikemukakan memberikangambaan bahwa sesuai dengan posisi evaluasi itu sendiri dalam suatu kebijakan menyebabkan terjadinya perbedaan pengertian evaluasi yang dikemukakan memberikan gambaran bahwa sesuai dengan posisi evaluasi itu sendiri dalam suatu kebijakan menyebabkan terjadinya perbedaan pengertian evaluasi. Satu pengertian tidak menyebabkan pengertian lain salah atau bahkan dirinya sendiri. Masing-masing pengertian itu benar menurut posisinya dalam suatu kebijakan. Posisi tersebut dapat dilihat dari sudut pandang administrasi tetapi juga dilihat dari sudut pandang filosofi.
Tujuan evaluasi kurikulum sering dikelirukan dengan fungsi kurikulum. Tujuan tidak dapat dilepaskan dari pengrtian evaluasi sedangkan fungsi evaluasi lebh tidak terpengaruh oleh pengertian evaluasi. Fungsi evaluasi lebih tidak terpengeruh oleh pengertian secara internasional adalah formatif dan sumatif walaupun orang sering mengilirukannya dengan nama evaluasi atau bahkan jenis evaluasi.
Bagian lain dari bab ini membahas mengenai dua jenis evaluasi yaitu evaluasi eksternal dan evaluasi internal. Dlam banyak situasi keduanya dapat dilakukan tetapi terkadang evaluasi internal lebih memungkinkan dibandingkan dengan evaluai eksternal
Di bab tiga dalam buku ini membahas aspek penting yaitu akuntabilitas yang menjadi evaluasi sebagai suatu profesi. Berbagai kegiatan pengembangan kurikulum yang dilakukan banyak kelompok dengan menggunakan dana daripemerintah telah menyebabkan timbulnya pemikiran mengenai penerapan akuntabilitas dalam dunia pendidikan. Setiap kegiatan pendidiktuan harus terbuka untuk evaluasi sebagai dasa pertanggungjawaban terhadap publik.
Pada dasarnya memang akuntabilitas tersebut dikaitkan hanya dengan masalah dalana yang digunakan. Perkembangan berikutnya memperluas wilayah akuntabilitas sehingga meliputi juga akuntabilitas legal, akuntanbilitas akademik, akuntabilitas pemberian jasa, dan akuntabilitas dampak. Oleh karena kurikulum harus memberikan akuntabilitas dalam berbagai bidang tersebut maka untuk itu harus dilakukan evaluasi.
Selanjutnya, pada bab berikutnya membahas ruang lingkup evaluasi kurikulum pada tingkat nasional dan pada tingkat satuan pendidikan. Keputusan pada tingkat nasional yang berkaitan dengan kurikulum adalah standar Kompetensi Lulusan. Keputusan dalam standar isi sangat berkaitan dengan pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan karena itu evaluasi kurikulum harus memberikan perhatian terhadap standar isi. Ketetapan yang ada dalam standar isi seperti pengelompokan mata pelajaran beserta cakupan struktur kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan serta prinsip pengembangan kurikulum harus menjadi dasar bagi KTSP.
Bagian bab yang membahas mengenai SKL mengemukakan ketetapan penting yaitu SKL-ST dan SKL-MAK. Keduanya seharusnya terkait erat dan evaluasi kurikulum harus melakukan kajian terhadap kesinambungan tersebut. Demikian pula dengan ide yang menjadi ruang lingkup kajian evaluasi kurikulum.
Bagian ketiga dari bab ini membahas mengenai KTSP, Unsur penting KTSP seperti pengembangan ide kurikulum, dokumen kurikulum, silabus, proses, dan hasil belajar adalah ruang lingkup kurikulum evaluasi kurikulum pada jenjang ini. Dalam pengembangan dokumen keurikulum (curriculum contruction) pengembagan tujuan yang didasarkan pada standar kompetensi dasar, konten, proses, dan evaluasiadalah ruang lingkup kajian evaluasi kurikulum. Demikian pula dengan pengembangan silabus yang harus dilakukan guru.
Evaluasi kurikulum yang melakukan kajian pada fokus ini memang adalah dokumentasi dokumen. Semenara itu evaluasi terhdap kurikulum sebgai suatu proses atau implementasi kuikuum dan evaluasi terhadap hasil belajar berkenaan dengan evaluasi dalam jenis lain. Dalam evaluasi ini keberadaan dokumen berkaitan dengan proses dan alat pengumpul informasi untuk assesmen hasil belajar menjadi focus kajian tetapi evaluasi terhadap kegiatan untuk proses dan terhadap pencapaian adalah yang membedakan dari evaluasi terhadap standar isi dan SKL.
Pada bab selanjutnya membahas jenis evaluasi kurikulum. Kategori jenis evalusi ini dibangun atas dasar tiga faktor yaitu bentuk evaluan yang dievaluasi, posisi evaluator, posisi evaluator terhadap evaluan, dan metodologi evaluasi. Dari kategori karakteristik evaluan dikenal adanya jenis evaluasi yang dinamakan evvaluasi ide, evaluasi dokumen, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Dari kategori mengenai posisi evaluator terhadap evaluan dikenal adanya evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif.
Kategori tersebur bersifat saling berkaitan dan oleh karena evaluasi ide ada yang dilakukan secara eksternal dan ada yang dilakukan secara internal. Metode yang digunakan ada yang kuantitatif dan ada pula kualitatif. Demikian pula halnya dengan evaluasi jenis lainnya.
Bab ketujuh membahas prinsip dan prosedur evaluasi kurikulum. Prinsip yang dikemukakan adalah prinsip yang harus dijaga evaluator ketika melakukan pekerjaan. Prinsip itu tidak berbda dengan prinsip pekerjaan ilmiah lainnya. Fokus pembahan dalan prinsip adalah tepat waktu dan objektifitas. Kedua prinsip ini dibahas secara khusus karena keduanya berkaitan dengan pekerjaan secara umum sedangkan prinsip lain seperti ulility, efisiensi, efektifitas dan sebainya dibhas dalam bab yang berkenaan dengan standar.
Pembahasan mengenai prosedur terbagi atas dua kategori yaitu kategori umum dan khusus. Kategori umum membahas mengenai prosedur umum yang harus dilakukan evaluator sejark dari awal pekerjaan sampai penyerahan laporan. Prosedur pada umum ini merupakan “guedelines” bagi evaluator terlepas dari meodologi yang gunakannya.
Pembasan mengenai prosedur khusus dihubungkan dengan prosedur pendekatan yang digunakan oleh evaluator. Dalam pembahasan ini maka prosedur dibedakan atas prosedur yang harus diikuti oleh evaluator yang digunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Tentu saja membahas prosedur keduanya tidak rinci terutama ketika pembaasan mengenai penentuan metodologi yang akan digunakan pada setiap pendekatan.
Pada bab kedelapan dibahas mengenai model yang memberikan kesempatan kepada evaluator untuk mempertimbangkan model yang tersedia untuk dipilih sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan. Suatu hal yang harus diingat bahwa pemilihan tersebut diperlukan karena setiap model memiliki keunggulan dan kelemahan. Evaluator yang akan melakukan pekerjaannya harus memahami keunggulan dan kelemahan tersebut danj kemudian menggunakan model sesuai dengan keperluannya.
Model bukan suatu paket metodologi. Suatu model terpilinh yang akan digunakan menuntuu pengumpulan data yang dapat dilakukan melalui berbagai prosedur dan metode. Model tidak dirancang untuk itu bahkan model studi kasus pun tidak dirancang sebagai suatu paket metodologi. Bahwa metodologi studi kasus adalah yang paling sesuai untuk model studi kasus adalah suatu kasus kenyataan yang tidak terbantahkan.
Kenyataan lain adalah bahwa model-model yang dikelompokan dalam bahasan di atas merupakan model yang banyak digunakan orang. Kenyataan ini tidak menutup kemungkinan bagi evaluator untuk mengembangkan modelnya sendiri. Evaluator memiliki kebebasan untuk menggunakan model yang dirasakannya paling sesuai dan untuk itu evaluator dapat memilih dari model yang sudah ada, melakukan gabungan dari berbagai model, atau mengembangkan model sendiri.
Pada bab terakhir dalam buku ini membahas atau membicarakan yang harus dijaga oleh seorang evaluator dalam melaksanakan evaluasi. Standar tersebut sangat berguna bagi evaluator dalam, melakukan penilaian terhadap kualitas pekerjaannya dan bagi orang luar yang melakukan penilaian tehadap kualitas pekerjaannya dan bagi orang luar yang melakukan penilaian terhadap pekerjaan evaluator tersebut. Persamaan standar yang digunakan akan menimbulkan komunikasi positif antara evaluator dengan orang yang melakukan meta evaluasi dan juga dengan pengguna jasa evaluasi.

B. Buku Kedua ( Evaluasi Program Pendidikan)
Di dalam buku kedua ini banyak membicarakan atau mengutamakan program pendidikan, namun begitu isi dari buku ini dapat diaplikasikan untuk program pendidikan, yaitu dengan mengganti beberapa peran saja, misalnya kepala sekolah diganti dengan kepala kantor atau kepala perusahaan.Demikian juga demikian variabelnya dapat disesuaikn berdasarkan jenis programnya. Semua program pasti merupakan sebuah system. Oleh karena itu, model evaluasi program seperti yang dibahas dalam buku ini dapat diterapkan pada semua proyek dibidang apapun.
Di bab bab pertama di dalam buku membahas pengertian dari kata evalauasi itu sendiri. Evaluasi merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris, Evaluation. Menurut pengertian umum, “program” dapat diartikan sebagai “ rencana”’ Sebuah program bukanlah hanya kegiatan tunggal dapat diselesaikan dalam waktu singkat, suatu tetapi merupakan kegiatan yang berkesinambungan karena melaksankan suatu kebijakan. Evaluasi program adalah langkah awal dari supervise, yaitu mengumpulkan data yang tepat agar dapat dilanjutkan dengan pemberian pembinaan yang tepat pula. Evaluasi program itu sangat bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan karena dengan masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tidak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Wujud dari hasil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari evaluator untuk pengambil keputusan (decision maker).
Ada dua tujuan evaluasi, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan, sedangkan tujuan khusus diarahkan pada masing-masing komponen. Istilah Kriteria dalam penilaian sering juga dikenal dengan “ tolok ukur” atau “ standar”. Evaluasi program perlu memiliki kriteria. Kriteria atau tolok ukur perlu dibuat oleh evaluator karena evaluator terdiri dari beberapa orang yang memerlukan kesepakatan di dalam menilai dan agar tidak terpengaruh oleh pendapat pribadi, karena sudah dituntun oleh sebuah standar.
Di bab kedua dijelaskan ada dua macam tolok ukur, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing jenis tolok ukur ada yang disusum dan digunakan tanpa pertimbangan dan ada yang dengan pertimbangan. Keduanya tetap ilmuah karena disusun berdasarkan penalaran.
a. Kriteria Kuantitatif
Kriteria kuantitatif sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (1) criteria tanpa pertimbangan dan (2) criteria dengan pertimbangan.
-. Kriteria Kuantitatif Tanpa Pertimbangan
Kriteria disusun hanya dengan memperhatikan rentangan bilangan tanpa mempertimbangkan apa-apa dikalukan dengan membagi rentangan bilangan. Istilah untuk sebutan yang menunjukan kualitas bukan hanya dari baik sekali sampai dengan Kurang Sekali, tetapi bisa Tinggi Sekali, Tinggi, Cukup, Rendah, dan Rendah Sekali, atau mungkin Sering Sekali, Sering, sampai dengan Jarang Sekali. Selain itu, dapat juga menggunakan istilah-istilah lain yang menunjukan kualitas suatu keadaan sifat, atau kondisi, seperti Banyak Sekali, Sibuk Sekali, dan lain-lain. Untuk pertimbangan atau pendapat pendapat orang, penyusun dapat menggunakan kata Setuju, Sependapat, dan lain-lain.
b. Kriteria Kuantitatif dengan Pertimbangan Ada kalanya beberapa hal kurang tepat jika criteria kuantitatif dikategorikan dengan membagi begitu saja rentangan yang ada menjadi rentanga sama rata.
Yang dimaksud dengan criteria kualitatif adalah criteria yang dibuat tidak menggunakan angka-angka. Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menentukan criteria kualitatif adalah indikator yang dikenai kriteria adalah komponen. Seperti halnya kriteria kuantitatif, jenis criteria kualitatif juga dibedakan menjadi dua, yaitu (a) kriteria kualitatif tanpa pertimbangan, dan (b) criteria kualitatif dengan pertimbangan.
Dalam menyususn criteria kualitatif tanpa pertimbangan, penyususnan criteria tinggal menghitung banyaknya indicator dalam komponen, yang dapat memenuhi persaratan. Dari penjelasan tentang hubungan antara indicator, komponen, dan program tersebut dapat disimpulkan bahwa,
- Komponen adalah unsurr pembentuk kriteria program.
- Indikator adalah unsusr unsur pembentuk kriteria komponen.
Selanjutnya di bab 3 membicarakan tentang model-model evaluasi, yaitu berbagai pendekatam, pola kerja, atau strategi yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan evaluasi. Walaupun dari luar model-model ini berbeda, tetapi maksud dan tujuan nya sama, yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan agar dapat dengan tepat melakukan tindak lanjut tentang program yang sudah dievaluasi. Yang disajikan dalam bab 3 ini ada 7 (tujuh) biah model yang dikemukakan oleh enam ahli evaluasi. Yaitu (a) Tyler dengan model berorientasi pada tujuan (goal oriented), (b) Scriven dengan model goal free evaluation dan formative summative, (c) Stake dengan countenance model, (d) UCLA dengan CSE model (3) Stufflebearn denan CIPP model, dan (f) Matcolm Provus dengan model kesenjangan.
Secara umum model-model yang dikemukakan oleh para ahli tadi dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu (a) model menekankan pada objek sasaran, (b) model menenkankan pada tahap langkah, (c) model gabungan antara objek sasaran dan lengka, serta (d) model yang menekankan pada keesenjangan. Yang disebutkan paling akhir, yaitu model kesenjangan, dapat diterapkan untuk semua jenis evaluasi program.
Secar garis besar, semua program yang akan dilaksanakan dapat diklasifikasikan menjadi tifa, yaitu program pemprosesan, program layanan, dan program umum. Ciri pokok yang penting dalam program pemprosesan adalah adanya komponen yang dapat disatukan sebagai masukan (bahan mentah) yang kemudian diloah dalam komponen tranformasi (alat pengolah), lalu berubah menjadi keluaran (output). Ciri pokok dan penting dalam program layanan adalah adanya komponen yang perlu mendapat layanan istimewa seoalah-olah harus diperbelakukan seperti “ raja” karena berperan menantukan hidup dan matinya program. Berbeda dengan kedua program yang telah dikenali cirri khusunya, yaitu program pemrosesan, yaitu program pemrosesan dan program layanan, program umum tidak memiliki cirri khusu. Ynang jelas bahwa program ini merupakan pelaksanan dari suatu kebijakan, dan dapat dievaluasi dengan cara menganalisis komponen dan indikatornya.
Seperti halnya peneliaian, evaluasi program juga memerlukan proposal dan rancangan evaluasi. Perbedaan antara proposal dengan rancangan terletak pada tekanan isinya. Jika proposal merupakan usulan kegiatan maka rencangan merupakan peta perjalanan kegiatan yang akan dilaksanakan oleh evaluator dalam melaksanakan evaluasi. Dikarenakan tekananan pada langkah-langkah kegiatan maka sebuah rancangan harus jelas menunjukan bentuk langkah-langkah dan kapan waktu langkah tersebut dilakukan.
Secara garis besar isi rancangan memuat hal-hal yang terkait dengan langkah tetapi sebelum itu ditambahkan dengan pengantar berupa latar belakang diperlukannya kegiatan evaluasi. Hal-hal yang dituliskan dalam rancangan evaluasi sekurang-kurangnya terdiri dari dari (a) judul, (b) alasan dilaksanakan evaluasi, (c) tujuan evaluasi, (d) pertanyaan evaluasi, (e) metodologi, dan (f) prosedur kerja dan langkah-langkah kegiatan. Dalam bagian (e) evaluator perlu dicantumkan table hubungan antara komponen-indikator-sumber data-metode-instrumen serta kisi-kisi penyusunan instrument, sedangkan pada bagian terakhir (f) harus disertai dengan plan of operation, yang bisa disingkat plan-op, yang menggambarkan rincian dan urutan semua, disejajarkan dengan penjelasan tentang waktu (dalam seminggu) yang biasanya dituiskan dalam bentuk bagan.
Di bab empat membicaran mengenai perencanaan evaluasi program. Di dalamnya membahas bahwa analisis kebutuhan merupakan sebuah proses penting bagi evaluasi program karena melalui kegiatan ini akan dihasilkan gambaran yang jelas tentang kesenjangan antara hal atau kondisi nyata dengan sasarannya adalah siswa, kelas, atau sekolah, dengan tujuan utama untuk menentukan dan mendekatkan jarak kesenjangan antara “ siapa apa yang ada” dengan “ bagiamana seharusnya”.
Dalam sistem pendidikan, karena pendidikan itu sendiri hanya merupakan alat belaka, sedangkan prestasi belajar adalah hal yang menjadi tujuan, maka membuat rencana mengajar merupakan proses penting untnuk menentukan alat yang tepat dapal mencapai tujuan akhir. Setelah guru berhasil menentukan materi yang akan diajarkanm perlu secara berhati-hati meninjau kembali apakah dalam pemilihan materinya sudah telat, dalam arti sudah benar sesuai dengan kebutuhan siswa.
Ada dua cara yang lazim dilakukan dalam melakukan analsis kebutuhan, yaitu secara objektif dan subjektif. Kedua cara tersebut dimulai dari indentifikasi lingkup tujuan penting dalam program, menentukan indikator, dan membandingkan kondisi yang diperoleh dengan kriteria. Ciri khas dalam cara melakukan analisis kebutuhan secara subjektif adalah mengumpulkan semua evaluator untuk bersama-sama menentukan skala prioritas kebutuhan.
Selain dari dua cara tersebut evaluator dapat juga menggunakan gabungan dari keduanya, yaitu sebagian menggunakan cara objektif, sebagian yang lain menggunakan cara subjektif. Disamping itu, seseorang evaluator dapat juga menambahkan bahan lain yang diambil dari pihak luar dan di luar dirinya. Yang dimaksud dengan pihak luar diantaranya adalah kawan-kawan dekat atau anggota keluarga lain dari responden yang diperkirakan pihak tersebut memang diperluakan dan data yang dibrikan dapat dipercaya.
Evaluasi program tidak lain adalah penelitian, dengan ciri-ciri khusus. Oleh karena evaluasi program sama dengan penelitia maka sebelum memulai kegiatan, seperti juga penelitian, harus membuat proposal. Isis dan langkah –langkah dalam penyusunan proposal sama dengan proposal dalam penelitian. Dalam pembahasan kali ini hanya tiga hal yang rawan adalah sebagian berikut.
1. Bagian pendahuluan, menekankan garis besar isi bagian ini.
2. Bagian metodologi berisi tiga pokok hal, yaitu penentuan sumber data, metode pengumpulan data, dan penentuan instrument pengumpulan data. Ada tiga sumber data yang didahului dengan huruf P (Kata bahasa Inggris), yaitu (person) manusia, place (tempat), dan paper (kertas, dan lain-lain). Penentuan metode pengumpulan data hatus disesuaikan dengan sumber data
3. Bagian cara menentukan instrument evaluasi.
Instrumen pengumpulan data evaluasi adalah alat yang diperluakan untuk mempermudah pengumpulan data. Jenis instrument sebanyak jenis metode yang digunakan dan selajutnya pemilihan jenis instrument pengumpulan data harus disesuaikan dengan metode yang sudah ditentukan evaluator.
Instrumen merupakan alat untuk mempermudah penggunaan metode dalam pengumpulan data. Adal lima langkah yang harus dilalui dalam penyusunan isntrumen, yaitu (a) indentifikasi indikator sebagai obek sasaran evaluasi, (b) membuat tabel hbungan antara komponen-indikator sumber data-metoe-instrumen, (c) menyususn butir-butir instrument, (d) menyusun kriteria-kriteria penilaian, dan (e) menyusun program pengerjaan. Di dalam kisi-kisi yang merupakan alat bantu penyusunan instrument tertentu secara khusus tidak lagi mencatumkan sumber data ddan metode tetapu langsung hubungan antara indikator dengan nomor-nomor instrument.
Diantara langkah-langkah penyususnan instrument, yang merupakan alat bantu yang laing bermanfaat bagi penyusunan instrument adalah kisi-kisi. Itulah sebabnya, kisi-kisi harus disusun secara cermat dan hati-hati. Petunjuk pengerjaan jangan terluapakan, agar responden tidak salah dalam membantu mengisi onstrumen bagi evaluator.
Di dalam bab ke lima ini membahas langkah-langkah evaluasi program. Tahap-tahap evaluasi program, meliputi (1) persiapan evaluasi program, (2) pelaksanaan evaluasi rprogram, dan (3) monitoring pelaksanaan program. Persiapan evaluasi program berupa penyusnan desain evaluasi, penyusunan instrumen, validasu menentukan jumlah sampel yang diperlukan dalam kegiatan evaluasi, dan penyamaan persepsi antarevaluator sebelum pengambilan data.
Penyusunan evaluasi terkait dengan model apa yang akan diterapkan dalam melakukan kegiatan evaluasi program. Pemilihan model tergantung pada tujuan evaluasi program dan criteria keberhasilan program, Komponen-komponen dalam disain evaluasi program, meliputi (1) latar belakang masalah, (2) problematic, (3) tujuan evaluasi, (4) populasi dan sampel, (5) instrumen. Instrumen yang telah tersusun perlu divalidasi untuk mengetahui tingkat validitas dan reabilitas. Metode populasi adalah penentuan subjek evaluasi dengan mengambil seluruh subjek yang ada menjadi sumber datga, sedangkan apabila penentuan subjek evaluasi dengan hanya mengambil sebagian individu yang ada dalam populasi disebut metode sampling. Tekhnik sampling dibedakan menjadi dua macam, yaitu random sampling dan non random sampling. Jenis-jenis sampel, antara lain (1) proportional sample, (2) stratified sample, (3) purposive sample, dan (4) clutser sample. Evaluasi program dikategorikan menjadi empat jenis, yaitu (1) evaluasi reaktif, (2) evaluasi rencana, (3) evaluasi proses, dan (4) evaluasi hasil.
Alat pengumpul data dapat berupa tes, observasi, angket, wawancara, dan dokumentasi. Monitoring pelaksanaan evaluasi berfungsi untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan program dengan rencana program dan untuk mengetahui seberapa pelaksanaan program yang sedang berlangsung dapat diharapkan akan menghasilkan perubahan yang diinginkan. Sasaran monitoring adalah seberapa pelaksanaan program telah seseuai dengan rencana program, seberapa pelaksanaan program telah menunjukan tanda-tanda tercapainya tujuan program, apakah terjadi dampak tambahan atau lanjutan yang positif meskipun tidak direncanakan? Apakah terjadi dampak sampingan yang negattif, merugikan, atau mengganggu?
Teknik dan alat monitoring dapat berupa tekhnik –pengamatan partisipatif teknik wawancara, teknik pemanfaatan, dan analisis data dokumentasi. Aspek-aspek dalam perencanaan pemantauan, meliputi (1) perumusan tujuan monitoring, penjabaran dari sasaran, (4) penyiapan metode/alat ,dan (5) Perancangan analisis data pemantauan dan pemaknaannya dengan berorientasi pada tujuan monitoring.
Di bab keenam ini membahas analisis fata dalam evaluasi program. Data yang diperoleh dari lapangan bisa berbentuk kualitatif dan kauntitatif, tergantung jenis data yang digali. Untuk mengolahnya, memerlukan teknik yang berbeda-beda. Untuk data kuantitatif biasanya menggunakan tehnik statistika. Sedangkan untnuk data kualitatif menggunakan teknik analisis non statistika.
Dalam pengolahan data kuantitatif, langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan tabulasi data. Cara ini akan sangat membantu dalam mengolah data yang di dapat. Setalah ditabulasi dalam coding sheet, barulah kita melakukan pengolahan data.
Tekhnik pengolahan dengan statistik, terbagi atas dua jenis, yaitu statistika deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif adalah tekhnik pengolahan data dan tujuannya melukiskan dan menganalisis kelompok data tanpa bermaksud membuat atau menarik kesimpulan atas populasi yang diteliti. Sedang kan statistik inferensial berupaya mennganalisis sebagian data yang dilakukan untuk meramalkan dan menarik kesimpulan atas data tersebut yang nantinya akan berlaku bagi keseluruhan gugus atau induk dari data itu. Statistik inferensial dibagi menjadi dua jenis, parametric dan non para metrik. Statistik parametik berlaku bagi data yang sebarannya normal dan berbentuk interval atau rasio. Sedangkan non parametrik, berlaku bagi data yang sebarannya tidak normal dan berbentuk ordinal atau nominal.
Pengolahannya data akan mudah dilakukan jika menggunakan bantuan komputer. Dengan komputer, hanya memasukan coding sheet lalu memprosesnya maka hasilnya akan diperoleh dengan cepat.
Bab Tujuh membahas bagaimana menyusun kesimpulan dan rumusan rekomendasi. Kesimpulan merupakan perasaan atau abstraksi dari sederetan informasi atau sajian yang menyatakan status program yang sedang dievaluasi. Kesimpulan evalausi ini diambil atau dibuat berdasarkan hasil analisis data yang sudah disajikan dalam bentnuk yang sudah sistematis, ringkas, dan jelas. Sebuah kesimpulan berbentuk kalimat pernyataan kualitatif yang menunujukan keadaan atau sifat sesuatu di dalam gerak kegiatan program dengan cepat diketahui di mana posisi hasil kegiatan tersebut dalam mencapai tujuan evaluasi.
Kesimpupan meruapakan dasar dari rekomendasi. Rekomendasi efektif didasarkan dari kesimpulan yang memuat informasi yang jelas, ringkas, dan padat, serta sistematis berdasarkan data yang andal dan dapat dipercaya.
Kesimpulan kedudukannya lebih tinggi sekedar dari sekedar ringkasan atau garis besar, ia memfokuskan dii pada temuan evalauasi. Kesimpulan yang baik adalah kesimpulan yang mampu merangsang pembuat keputusan untuk mengarah pusat perhatian dalam menelorkan rekomendasi yang sifatnya positif tentang program.
Rekomemdasi disusun setelah kesimpulan yang berisikan saran-saran praktis bagi semua stakeholder program terkait dengan jalannya program dan juga dinyatakan dalam pernyataan yang cenderung memuji program atau bagiannya.
Ada hal yang perlu diperhatikan dalam menyusun rekomendasi, yaitu mengenai perlunya melihat dengan lebih cermat terhadap alasan-alasan atau cara-cara yang diusulkan oleh responden tentang upaya peningkatan kualitas program yang dievaluasi di masa yang akan datang. Dikarenakan yang memanfaatkan rekomendasi adalah pengambil keputusan, maka perlu diperjelas kepada siapa rekomendasi tersebut ditunjukan, apa yang harus dilakukan, dalam bentuk apa perlakuan itu, dan sebagainya. Selain itu, evaluator perlu hati-hati memilih urutan cara-cara yang diusulkan oleh responden, tetapi juga sebaiknya jangan diminta untuk erfikir, tetapi diusahakan tinggal memilih alternatif.
Di bab kedepalan membahas mengenai bagmaimana menyusun laporan evalalusi. Susunan laporan evaluasi biasanya memuat hal pokok, yaitu (1) ringkasan eksekutif, (2) pendahuluan, (3) kajian pustaka, (4) metodologi evaluasi, (5) hasil evaluasi, (6) kesimpulan dan rekomdasi, dan (7) daftar pustaka.
Ringkasan eksekutif. Pada setiap laporan evaluasi biasanya sebelum masuk pada bab pendahuljuan terdapat ringkasan eksekutif.. Ringkasan eksekutif dituntut dapat memberikan informasi lugas sehingga dapat cepat dipahami dan dipertimbngkan dalam penyusunan kebijakan oleh para eksekutif. Pendahuluan, umumnya terdiri atas; (1) Latar belakang Masalah, (2) Rumusan Masalah, (3) Tujuan Evaluasi, (4) Manfaat Evaluasi, dan (5) Batasan Pengertian.
Kajian Pustaka; Kajian pustaka ini diperlukan untuk mempertajam permasalahan.
Komponen daklam metodologi evaluasi, meliputi cakupan wilayah evaluasi, yakni pengumpulan data triangulasi, dan analais data.
Hasil evaluasi meliputi deskrptif dara, analisis data dan pembahasan, analisis remomendasi.
Adapun kesimpulan diperoleh dari analisis datam sedangkan alternative rekomendasi dirumuskan berdasarkan rekomendasi
Dalam penyusunan daftar pustaka harus didasarkan pada bahan acuan yang digunakan dalam evaluasi.
Selanjutnya di bab sembilan menjelaskan tata tulis laporan evaluasi. Penulisan laopran evaluasi memiliki beberpa tujuan, yaitu untuk memberikan keterangan, memulai suatu tindakan, mengkoordinasikan proyek, menyarankan suatu langkah atau tindakan, dan merekam kegiatan
Pada dasarnya laporan untuk keterangan dapat dibedakan dalam laporan beerkala dan laporan khusus. Laporan khusus dapat menyajikan hasil-hasil pengujian, percobaan, atau pemeriksaan.
Laporan untuk memulai suatu tindakan atau pekerjaan menjadikan tindakan atau pekerjaan itu sebagai pusat perhatian, dan dengan alasan apa tindakan itu dilakukan. Laporan jenis ini harus tegas, jelas, dan terperinci. Tekanan diberikan pada apa, bagaimana , siapa, bilamana,dan dimana.
Laporan mengkoordinasikan proyek, artinya mengkoordinasikan seseatu pada tempat atau susunan yang sebaik-baiknya atau wajar. Mengkoordinasikan memerlukan keterangan mutakhir. Semua itu mesti dikemukakan secara padat namun jelas.
Laporan untuk menyarankan satu langkah atau tindakan, artinya melaporkan tentang langkah atau tindakan apakah yang harus dilakukan, mengapa harus dilakukan, manfaat apa yang akan diperoleh, dan beberapa biayanya jika pada tindakan itu diperlukan anggaran.
Yang termasuk laporan untuk merekam kegiatan ialah laporan kemajun dan laporan akhir. Laporan kemajuan dapat dibuat menurut kebutuhan, ada yang setiap bulan, setiap triwulan, atau setiap semester.
Laporan akhir merangkum segala segi bekerjaan setelah semuanya selesai. Tata tulis mencakup ketentuan tentang kertas, naskah, sampul, pengetikan, penomoran, ilustrasi, pengutipan, penulisan lampiran, penulisan daftar pustaka,dan bahasa. Naskah laporan evaluasi sebaiknya pada kertas HVS 80 gram berwarnaa putih berukuran kuarto (21x 28,5 cm). Sampul laporan sebaiknya dibuat dari kertas bufafalo ataun linen baru, pengisian halaman naskah, pengetikan bab, subbab, dan sub-subbab.
Penomoran halaman diletakan disebelah kanan atas. Dua spasi di atas baris pertama teks atau 3 cm dari tepi atas. Nomor halaman menggunakan angka Arab, dimulai dari bab pendahuluan. Halan-halaman ebelumnya seperti halaman judl, prakata, daftar isi daftar table, daftar gambar/peta menggunakan angka romawi kecil.
Ilustrasi bertujuan mengemukakan hal yang terungkap dengan kata. Yang termasuk dalam kategori ilustrasi, antara lain foto, grafik, diagram, bagan, peta, denah, dan table. Kutipan harus sama dengan sumber aslinya, baik bahasa maupun ejaannya. Kutipan yang terdiri dari lima baris atau lebih, diketik satu sepasi, dimulai dari lima ketukan margin kiri. Kutipan yang panjangnya kurang dari lima baris dimasukan ke dalam teks, diketik seperti ketikan teks, diawali dan diakhiri dengan tana petik (“).
Bahan-bahan referensi seperti table, carta dokumen, transkrip wawancara, dan sejenisnya, perlu disarankan ebagai lampiran. Lampiran ditempatkan sesudah daftar pustaka. Nomor lampiran dituli secara urut dengan angka Arab. Penulisan daftar pustaka meliputi buku, artikel, laporan karangan dalam jurnal atau majalah ilmiah, dan penerbitan atau publikasi lain.
Bahasa yang digunakan untuk punulisan laporan evaluasi adalah bahasa Indonesia ragam ilmliah.
C. Buku Ketiga (Evaluasi Pendidikan Nilai)
Didalam buku ketiga membicarakan bagaimana peran moral di dalam suatu pembelajaran disekolah. Pendidikan moral merupakan program yang memang harus dijalankan dalam rangka mencerdaskan bangsa yang beraklakul kharimah. Dalam pembelajaran ini unsur ketakwaan dalam tujuan pendidikan menjadi unsur yang dominan. Terminologi taqwa merupakan wilayah kajian agama, salah satu indkcator sikap taqwa secara mudah dikatakan menjalankan syariat agama dan menjauhi larangan-larangan yang ditetapkan agama. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan agama islam yang dijelaskan oleh Arifin bahwa “ Tujuan pendidikan agama islam adalah menenamkan ketaqwaan dan akhlak serta menegakan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berkrepribadi dan berbudi luhur menurut ajaran islam.” ( Arifin: 1994:41)
Dari tujuan pendidikan agama islam tersebut dapat diketahui pendidikan agama dilembaha pendidikan baaimanapun akan berpengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan seorang, besar kecilnya pengaruh sangat tergantung pada berbagai faktor. Pendidikan agama dapat motivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama, sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai.Karena itu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk sikap dan tingkah laku atau moral keagamaan yang selaras dengan tuntuan agama.
Pendidikan moral cenderung dipahami orang sebgai salah satu bidang studi yang diajarkan dmi sekolah-sekolah atau madrasah seperti pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ( Yang sebelumnya dikenenal dengan PMP). Pengajaran dan penanaman moral nilai-nilai moral, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keagamaan brjalan secara monoton sehingga menimbulkan kejenuhan pengajaran dan penanaman nilai moral sekarang ini sangat bersifat doktriner, sehingga dapat member kesempatan dan ruang gerak yang sukup bagi si penerima untuk memahammi ajaran moral secara kritis.
Di dalam pengajaran moral juga harus dilakukan evaluasi juga. Dalam pelaksanaan evaluasi, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Alat dan cara adalah dua factor pokok yang ddapat mempengaruhinya. Hal yang sangat lazim menjadi keinginan berbagai pihak adalah bagaimana menentukan hasil evaluasi sehingga benar-benar objektif. Agar evaluasi dapat dilakukan dengan objektif, cara evaluasi harus mengikuti suatu aturan yang baku. Sayangnya, proses evaluasi pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan masih sering keluar dari idealism dan standar yang dikehendaki teori-teori evaluasi pendidikan bisa dikatakan evaluasi. Masih terjadi bias antara alat dengan tujuan yang sering dijumpai.
Fenomena-fenomena bisa dan kurang memadainya alat dan cara yang digunakan dalam evaluasi pendidikan moral ini sangat mnginspirasi penulis untuk meneliti persoalan pengembagan instrumen evaluasi perkembangan moral keagamaan.
Selanjutnya mengenai instrumen evaluasi. Secara teoritis, ada empat jenis evaluasi: tes, wawancara, pengamatan dan angket. Namun yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah tes. Sax (1980: 13) mendefinisikan tes sebagai suatu tugas atau serangkaian tugas yang digunakan untuk mendapatkan umpan balik sistematis yang dianggap mencerminkan trait atau atribut pendidikan atau psikologi.
Sudjino (1998) menjelaskan bahwa tes dapat dibedakan menjadi beberapa jenis atau golongan, tergantung dari segi mana atau dengan alasan apa penggolongan tes itu dilakukan. Dilihat dari segi aspek kejiwaan yang ingi di ungkap, tes setidak-tidaknya dapat dibedakan menjadi lima golongan:
1. Tes intelegensia (intelegency test), yakni tes yang dilaksanakan dengantujuan mengungkap atau mengetahui kecerdasan seseorang.
2. Tes Kemampuan (aptitude test) yaitu tes yang dilaksanakan dengan tujuan mengungkap kemampuan dasar atau bakat khusus yang dimiliki.
3. Tes Sikap (attutitude test), yakni salah satu jenis tes yang kecendrungan seseorang untuk mengungkap predisposisi atau kecendrungan seseorang untuk seseorang untuk melakukan suatu repons tertentu terhadap dunia sekitarnya, baik berupa individu-individu maupun objek-objek tertentu.
4. Tes Kepribadian (personality test), yakni tes yang dilaksanakan dengan tujuan mengungkapkan cirri-ciri khas dari seseorang yang bnyak sedikitnya bersifat lah iriyah, seperti gaya bicara, cara berpakaian, nada suara, hobi atau kesenangan dan lain-lain
5. Tes hasil belajar, yang juga sering dikenal dengan istilah tes pencapaian (achievement test), yakni tes yang biasa digunakan untuk mengungkap tingkat pencapaian atau prestasi belajar.
Muhadjir (2001) menjelaskan bahwa inventori kepribadian menanyakan pada responden tentang dirinya atau persepsinya. Pertanyaan atau pernyataan menyangkut dengan kebiasaan, kegemaran, perasaan, atau persepsi responden. Jawaban yang dibutuhkan hanya berupa “ya” atau “tidak”, “benar” atau “salah”, “setuju” atau “tak setuju”. Hal ini dapat juga disisipi pilihan jawaban tengah: “tak tahu”, dan tentu”atau “?”
Dalam pengembangan kurikulum, secara umum, pengembangan instrumen yang akan dilakukan melalui penelitian ini mencakup: Langkah menentukan tujuan, penelahaan teori, penetapan konsep, penyusunan kisi-kisi, menulis instrumen, penentuan bobot jawaban, lama menjawab inventori, uji coba, analisis kualitas inventori, dan revisi serta penataan inventori.


























BAB III
PERBANDINGAN BUKU

Di dalam ketiga buku tersebut banyak disinggung mengenai bagaimana suatu program dijalankan. Penggunaan jenis evaluasi harus di sesuaikan dengan jenis program yang digunakan karena setiap program akan berbeda pula jenis evaluasinya. Di dalam buku pertama dijelaskan bagaimana suatu evaluasi dijalankan dalam pengevaluasian kurikulum. Dalam evaluasi kurikulum tidak hanya menkaji suatu tes evaluasi yang bersifat penilaian secara kuantitatif akan tetapi dalam evalauasi kurikulum, evaluasi dilihat beberapa sudut. Ada beberapa sudut pandang mengenai evalausi kurikulum ini, seperti evaluasi kurikulum sebagai suatu bidang kajian akademik, evaluasi kurikulum sebagai suatu profesi, dan evaluasi kurikulum sebagai suatu kebijakan publik
Apabila kita perbadingkan dari ketiga buku ini, ada beberapa persamamaan dalam segi pembahasan kecuali buku ketiga yang lebih banyak membahas evaluasi .pendidikan nilai yang dihubungkan dengan nilai-nilai keagamaan.
Di dalam buku pertama membahas bagaimana suatu evaluasi kurikulum di evaluasi. Selanjutnya di dalam buku ini lebih membahas evaluasi kurikulum lebih spesifik dengan menjelaskan beberapa sudut pandang mengenai evaluasi kurikulum.Tidak hanya disitu saja di dalam buku ini pula dijelaskan lebih lanjut mengenai tujuan dan fungsi evaluasi kurikulum ini. Bila kita bandingkan dengan buku kedua apa yang menjadi perbedaan atau persamaan dari definisi evaluasi ini. Di dalam buku pertama itu defenisi tu lebih kepada definisi evaluasi sebagai evaluasi kurikulum, akan tetapi dalam buku kedua di definisikan evaluasi sebagai evaluasi program pendidikan. Akan tetapi menurut saya evaluasi pendidikan memiliki karakteristik yang tak terpisahkan dari bidang studi ilmu sosial pada umunya. Karakteristik itu adalah lahirnya berbagai definisi untuk suatu istilah teknis yang sama. Demikian pula dengan evaluasi yang diartikan oleh berbagai pihak dengan beberapa pengertian. Di dalam buku pertama evaluasi di definisikan oleh Eorthen dan Sanders ( 1987:83) menjelaskan evaluasi “ is the image the evaluator holds evaluation work: its its responbilities, duties, uniquiness and similiarties to related endeavors” yang membedakan evaluasi dengan bidang yang lain. Adapun dalam buku pertama tidak dijelaskan secara pasti definisi evaluasi kurikulum karena sifat dari pekerjaan evaluasi kurikulum yang banyak berkaitan dengan masalah kurikulum yang aflikatif, seperti halnya dengan kajian kebijakan menyebabkan banyaknya definisi yang dikemukakan mengenai evaluasi kurikulum.
Di dalam buku kedua dijelaskan kurikulum dari Surachman (1961, dalam Anderson 1975) memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan proses menentukan hasil yang telah dicapai beberapa kegiaran yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Selanjutnya di dalam buku ini dijelaskan secara rinci makna dari evaluasi program evaluasi itu sendiri mengalami proses pemantapan. Definisi yang terkenal untuk evaluasi program yang dikemukakan oleh Ralph Tyler, yang mengatakan bahwa evaluasi program proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan (Tyler, 1950). Definisi yang lebih diterima masyarakat luas dikemukakan oleh dua orang ahli evaluasi, yaitu cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971). Di dalam buku ini mereka mengemukakan bahwa evaluasi program adalah uapaya mendiakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.
Adapun di dalam buku ketiga menjelaskan bahwa untuk mengetahui perkembangan moral siswa diperlukan suatu evaluasi yang baik. Evaluasi ini merupakan tugas guru. Oleh karena itu guru PAI ini harus memiliki kemampuan melakukan evaluasi terhadap perkembangan moral keagamaan peserta didik.
Dalam prosesnya, di dalam buku ini dijelaskan, teradapat beberapa factor yang dapat mempengaruhinya. Alat dan cara adalah dua factor pokok yang dapat mempengaruhinya.
Itulah perbandingan bagaimana evaluasi dilihat dari aspek difenisinya. Adapu yang menarik dari isi buku pertama dengan buku kedua mengenai pembahasan mengenai model-model evaluasi yang dibahas di bab 8 di buku pertama, dan model dan rancangan evaluasi program pendidikan di buku kedua. Adapun bahasan yang sama di dalam buku itu adalah pembahasan model evaluasi CIPP dan UCLA . Di dalam kedua buku itu sangat mendetail menjelaskan kedua model evaluasi tersebut.

BAB IV
KESIMPULAN

Di dalam ketiga buku itu jelas membahas mengenai apa itu evaluasi. Akan tetapi di dalam buku pertama lebih sedikit spesifik membahas mengenai evaluasi kurikulum saja. Selanjutnyan buku kedua membahas evaluasi lebih meluas lagi dri evaluasi kurikulum yaitu evaluasi program pendidikan secara umum, dan buku ketiga membahas lebih sempit lagi yaitu mebahas evaluasi nilai. Dari ketiga buku itu ada beberapa kesamaan bahwa evaluasi itu adalah suatu program yang tujuannya untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan sudah dapat terealisasikan. Baik itu evalausi kurikulum, evaluasi program pendidikan dan evaluasi pendidikan nilai.
Evaluasi ini memang perlu dilakukan dalam program apapun, baik itu program pendidikan secara umum ataupun program pendidikan yang spesifik seperti program kurikulum. Tidak hanya pembelajaran moral pun harus menjadi objek kajian evaluasi, karena nilai-nilai moral peserta didik harus diukur dengan ukuran-ukuran tertentu.

Sabtu, 12 Februari 2011

ANALISIS BUKU POLITIK

BAB I
URAIAN IDENTITAS BUKU

Identitas Buku
Judul Buku : Masa Depan Kehidupan Politik Indonesia
Penulis (Editor) : Alfian dan Nazaruddin Sjamsuddin
Penerbit :Rajawali Pers
Tahun Terbit ` : 1988

Buku Kedua Sebagai Bahan Pembanding
Identitas Buku:
Judul Buku : Sistem Politik Indonesia
Penulis : Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si
Azhari, S.STP., M.Si
Tahun Terbitan : 2005
Penerbit : Retika ADITAMA














BAB II
Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia
(Supardjo Rustam)

Akhir-akhir ini di dalam masyarakat sedang mengalami perubahan yang sangat cepat (revolution), sehingga ada ucapan “ Multiple revolutions ini one generation”, the past and the future overlap”, dan sebagainya. Dengan hal ini tedapat kemungkinan bahwa akan menghadapi kondisi kemasyarakatan dengan berbagai tantangan dan permasalahannya yang berbeda dengan kondisi masyarakat masa kini. Perubahan masyarakat baik bersifat global, regional, maupun nasional.
Indonesia saat ini menuju saat tinggal landas mengarah masyarakat yang adil dan makmur, yang direncanakan pada Pelita VI. Tahap ini dinamakan tahap pendahuluan yang sangat penting artinya bagi proses modernisasi bangsa kita. Tahap pendauluan bisa pula dinamakan tahap pra kondisi: Pada tahap ini semua kerangka landasan yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan semenjak tahap tinggal landas dan yang kemudian disusul oleh tahap-tahap berikutnya, sudah berhasil kita letakan secara mantap.
Sebagian besar dari kerangka landasan itu sudah berhasil. Keberhasilan itu sudah bisa terlihat dari jaringan transfortasi, komunikasi dan pelbagi bentuk “social everhead capital” telah dibangun dan dimanfaatkan, begitu juga dalam bidang pertanian dan pertambangan. Hasil pembanguna yang telah kita capai itu secara ringkas tercermin pula pada angka pendapatan manperkapita masyarakat yang terus meningkat, yang dalam jangka waktu kuran lebih18 tahun telah menjadi 7 kali lipat. Pembangunan politik merupakan salah satu aspek pembangunan nasional yang biasa dipandang sebagai wahana bagi aspek pembangunan lainnya.
Pembangunan bisa dilaksanakan dengan menggunakan system politik yang berbentuk negara nasional. Untuk negara yang sedang berkembang, pembangunan politik bertujuan mempertinggi kapabilitas dari wadah tersebut, atau mempertinggi kemampuan system politiknya. Dalam hubungannya dengan prores modernisasi, kapabilitas system politik itu terutama ditentukan oleh efektivitas dalam menciptakan kondisi yang dapat memotivasi para warga.. Hakikat pembangunan politik dengan demikian merupakan upaya penyebaran nilai-nilai cultural yang baru kepada seluruh warga negara, yang memungkinkan mereka untuk mengubah dan menyesuaikan pola kehidupannya dengan tuntutan dan kebutuhan baru yang berkembang secara cepat.
Pembangunan politik berarti pula upaya secara terus menerus untuk mentranformasikan nilai nilai Pancasila itu menjadi prinsip-prinsip perilaku bagi semua warga negara dan semua penyelenggaraan negara. Berhasilnya proses pembangunan politik berarti bahwa nilai-nilai pancasila itu akan semakin terinternalisasikan pada individu-individu dan terinstitusi pada lembaga-lembaga dan kelompok-kelompok. Dengan demikian pembangunan akan semakin kuat pencerminan nilai-nilai pancasila itu pada setiap response yang kemudian ditranformasikan dalam bentuk kebijaksanaan.
Penciptaan kerangka landasan itu sebagaimana telah kita laksanakan selama ini
1. Penanaman wawasan kebangsaan
2. Institusionalisasi politik, yang secara konsekuensi melandaskan diri kepada pancasila da undang-undang dasar 1945.
3. Mnciptakan stabilitas politik yang dinamis
4. Menciptakan wadah bagi pengembangan partisipasi masyarakat.

1. Pembangunan Wawasan Pembangunan
Wawasan kebangsaan dengan demikian merupakan cara pandang yang mempunyai nilai strategis yang melandasi dan menjiwai sejarah Indonesia modern. Wawasan bangsa dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang masuk,khususnya yang datang dari Eropa pada waktu itu. Namun segalanya telah di olah secara kreatif pada jaman kebangkitan nasional.Wawasan kebangsaan itu diungkapkan dengan jelas dan tegas dalam bentuk sumpah pemuda. Wawasan itu menjadi kekuatan utama pergerakan kemerdekaan kita.
Perjalanan kemerdekaan kita tidak lepas dari berbagai kendala, terutama sebagai akibat tumbuh dan berkembangnya bermacam-macam aliran yang secara sadar atau tidak telah menggiring perjalanan historis kebangsaan kita kembali kepada suasana yang bercorak divergensi dan heteregonitas.
Dalam kurun waktu 20 tahun sesudah proklamasi Kemerdekaaan, dari 1945 sampai 1965, kekuatan-kekuatan sentrifugal yang cendrung memecah kesatuan bangsa Indonesia itu masih terus menghantui kita. Gerakan ini banyak sekali contohnya pemberontakan PKI. Adanya gerakan sentrifugal ini adalah suasan multi ideology yang tak terkendali, sebagai akibat diterapkannya system demokrasi liberal pada kondisi masyarakat yang masih sangat kuat sentrifugal-sentimen promordialnya. Oleh karena itu terjadilah perpecahan dalam hal idiologis.
Dengan terjadinya Pemberontakan PKI menggugah kesadaran rakyat Indonesia untuk mengambil hikmah dari pengalaman sejarahnya. Janji dan komitmen politik total kepada idioligi Pancasila adalah keputusan yang diambil dari hasil pengalaman sejarah yang berat dan panjang tersebut.
Kehadiran orde baru, sebagaimana kita ketahui, ditandai oleh tekad yang kuat untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-undang dasar 1945 secara murni dan konsekwen.

2. Institusionalisasi Politik, yang secara konsekwen melandaskan diri kepada dan Undang-Undang Dasar 1945
Kehidupan politik harus dibangun dengan kerangka dasar yang berisi penataan kehidupan bangsa dan negara. Dalam menciptakan kerangka dasar tersebut dalam kehidupan politik itu diklasifikasikan dalam dua dimensi, yaitu dimensi structural dan dimensi cultural. Pembanguan struktur politik meliputi dua bidang, yaitu: Pertama, suprastruktur politik dan kedua: infrastruktur politik. Tugas sejarah pertama-tama dihadapkan orde baru di masa awal kelahirannya adalah mengadakan penataan supra struktur politik kemudian menata pula infrastruktu politik yang sesusai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

3. Menciptakan stabilitas politik yang dinamis.

Proses pembangunan dan modernisasi itu dapat diselenggarakan dengan melalui pelbagai jenis susunan kehidupan politik, yang dilandaskan pada idiologi yang berbeda-beda, seperti Borjuisme (negara-negara Barat), Maoisme (Cina) atau Sinkretisme (italia, Argentina).
Berdasarkan nilai-nilai pancasila itu, maka seluruh proses pembangunan nasional, jadi termasuk di dalamnya proses pembangunan politik, merupakan proses pertumbuhan demokrasi.
Wawasan kebangsaan merupakan sesuatu wawasan yang inti dasarnya adalah persatuan-kesatuan dalam persamaan dan kebersamaan. Oleh karena itu, maka wawasan kebangsaan kita adalah wawasan kebangsaan yang didasarkan atas ketuhanan yang maha esa., kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang di pinpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Itulah sebabnya, maka demokrasi kita tidak hanya terbatas kepada demokrasi politik saja,melainkan meliputi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi social kebudayaan.
Pembangunan politik tidaklah merupakan kegiatan yang berdiri-sendiri,melainkan mempunyai kaitan dan interdependensi dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan kebudayaan serta kemasyarakatan. Ditinjau dari pandangan politik, masa Orde baru merupakan sejarah stabilitas yang paling mengesankan di dalam sejarah Indonesia modern. Karena itu pula, Orde Baru mampu mengukuhkan keberadaan sebagai Orde Pembangunan. Kehidupan bangsa dan negara yang penuh dengan gejolak dan instabilitas politik, pasti tidak akan mungkin melangsungkan pembangunan-pembangunan yang menyuruh dan yang semakin lama semakin kompleks sifatnya. Stabilitas politik dengan demikian merupakan bagian dari aktualisasi wawasan kebangsaan kita yang bersifat dinamis dan integralistik.

4. Menciptakan wadah-wadah bagi pengembangan partisipasi masyarakat

Secara ideologis, demokrasi itu hanyalah mempunyai makna yang praktis, kalau warga masyarakat terlibat dalam partisipasi aktif dalam upaya untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka sendiri, baik di bidang politik, ekonomi, social maupun cultural.
Adapun kerangka landasan yang diperlukan untuk mewadahi partisipasi masyarakat itu juga telah dipersiapkan dalam era pra kondisi tinggal landas sekarang ini, terutama yang di atur dalam undang-undang no.3 tahun 1985 tentang perubahan atas undang-undang no.3 tahun 1975 tentang partai politik dan Golongan Karya; dan undang-undang no.8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Di bidang politik, apabila sasaran utama pembangunan jangka panjang yang pertama adalah kerangkanya,maka sasaran utama pembangunan jangka panjang tahap dua (yaitu tahap tinggal landas) adalah manusia: manusia yang berkualitas, yang setia kepada pancasila, yang menghayati dan mengamalkan. Hakikat pembangunan politik adalah memang berupa upaya penyebaran nilai-nilai nasional kepada seluruh warga negara, sehingga mereka benar-benar menjadi insane-insan pancasila.
Pembangunan nasional jangka panjang di jangka mendatang akan merupakan proses kelanjutan dari pertumbuhan demokrasi, yaitu demokrasi politik,demokrasi ekonomi, dan demokrasi social cultural berdasarkan pancasila. Trilogy pembangunan harus pula diantisipasi pelaksanaannya secara terkait dengan perspektif kenusantaraan tersebut.
Untuk mewujudkan semua itu, kita memiliki keharusan untuk terus membangun sumberdaya manusia, yang tumbuh dalam wawasan kebangsaan dan wawasan kemajuan, diperkaya dengankualitas penguasaan ilmu dan teknologi, serta yang dilandasi oleh sikap dan pandangan dasar pancasila.



Bagian II
Pembangunan Politik Indonesia Solidaritas Sebangsa (Deliar Noer)

Kata politik di masa lalu mempunyai makna atau konotatif negative. Padahal sebelum merdeka ia bisa merupakan kebanggaan. Ilmu pengetahuan politik sendiri pada masa empat decade terakhir ini walau sebenarnya sudah mapan sebagai disiplin memperlihatkan perkembangan yang mengandung “ uji coba” dalam pendekatan, maupun dalam maksud dan tujuan.

Berbagai Teori
Sebenarnya segenap masa kemerdekaan kita adalah masa pembangunan, karena orde yang dihadapi hendak diganti dengan baru. Dalam cabang-cabang ilmu politik, adalah cabang pembangunan politik yang lebih tegas melihat ke depan. Cabang yang lain tidak bergerak, malah ilmu politik sendiri melepaskan diri dari ilmu seabad yang lalu.
Pembangunan politik bertolak dari dua disiplin lain, yaitu perbandingan politik dan filsafat atau teori politik. Bila perbandingan politik meliputi kekuasaan horizontal, berupa dua atau lebih negara. Filsafat atau teori politik mendalami pemikiran secara vertical, termasuk gambaran, sekurang-kurangnya apa yang diinginkan di masa depan itu. Perbandingan politik, dan yang lambat laun menyorot soal pembangunan politik. Pada umumnya mereka mengganggap negeri-negeri maju maju sudah mapan, gerak yang dijumpai lebih merupakan gerak tangan jam (pendulum) yang pada waktu tertentu bergeser kepada kelompok yang satu, dan pada waktu tertentu lain ke kelompok yang lain pula. Sistem pemilihan umum mencerminkan perkembangan gerak ini dengan jelas. Tetapi di negeri-negeri yang baru masuk hitungan sesudah Perang Dunia II, atau yang disebut negeri-negeri yang termasuk Dunia ketiga.
Masalah filsafat atau teori ( dan dengan ini saya maksud isinya secara umum) dalam hubungannya pembangunan politik, berhubungan erat dengan pendekatan. Ketika kita di atas membicarakan negeri barat sebagai model, kecendrungan filsafat jelas tampak; atau lebih tegas, idiologis member warna. Adapun dapat disimpulkan tentang teori pembangunan politik ini? Pertama, bahwa pada akhirnya pembangunan tersebut tergantung pada negeri bersangkutan. Ini tidak berarti bahwa tiap negeri bisa terisolasi dari yang lain. Kedua, bahwa pembangunan tersebut tergantung pada budaya dominan, termasuk nilai dasa serta pengembangannya dalam kehidupan pergaulan—dalam hal ini pergaulan politik.
Komponen yang bisa dipergunakan macam-macam pula pernah diketengahkan para ahli: 1) diferesiasi struktur, otonomi pada subsistem, dan sekularisasi budaya (Almond dan Powell); bertambahnya persamaan individu, bertambanhnya kapasitas lingkungan; bertambahnya deferesisiasi lembaga dan struktur dalam system politik (Pye) rasionalisi, integrasi nasional, demokrasi dan partisipasi (Hutington), atau didapatkan lagi berupa hubungan pastisifasi politik intstitusional politik ingga pandangan yang lebih terpusat dalam:
1. Budaya, yaitu nilai, sikap, orientasi
2. Struktur, berupa organisasi formal yang menyampaikan masyarakat pada keputusan otoritatif.
3. Golongan, berupa organisasi social dan ekonomi,baik formal ataupun in formal
4. Kepemimpinin, berupa individu-individu pada lembaga-lembaga dan golongan politik yang member pengaruh lebih banyak dibandingkan dengan yang lain dalam mengalokasikan nilai.
5. Kebijaksanaan, berupa pola kegiatan pemerintah yang sengaja direncanakan untuk mempengaruhi pembagian (distribusi) ganjaran dan “ hukuman dalam masyarakat.
Kajian dengan penulusuran pada kelima segi perkembangan ini akan lebih mempermudah kita dalam memahami perubuhan yang terjadi.

Masalah Nilai dan Pengelompokan Masyarakat
Dalam segi politik hubungan horizontal antar daerah, dan antara daerah dan pusat itu bersangkutan dengan masalah otonomi. Pada masa menjelang permulaan kemerdekaan, termasuk persiangan konstituante,pendapat yang umum terdengar adalah bahwa faham negara kesatuan hendaknya memberi kemungkinan berlakunya otonomi daerah. Perimbangan kekuasaan seperti ini di harapkan dapat menggairahkan daerah untuk lebih banyak berinisiatif dalam penyelesaian maslah daerah tanpa terlalu menunggu ketentuan pusat. Lagi pula, segi psikologis bahwa orang daerah merasa lebih mengatur dirinya, walau dalam rangka kesatuan nasional, perlu mendapat saluran yang tercermin dalam otonomi.
Dalam hubungan dengan masa datang, perekembngan yang mungkin terjadi bergantung pada sejauh mana akomodasi keinginan daerah (dan etnis) tertampung oleh kebijaksanaan dan ketentuan masyarakat.
Hubungan vertical. Tetapi, dalam rangka nilai solidaritas ini, masih perlu kita tinjau hubungan golongan secara vertical, yaitu masalah pelapisan atau stratifikasi social. Masalah ini sebenarnya mamsih perlu di jelajahi di Indonesia secara lebih dalam, oleh karena criteria di negeri orang (seperti pendapatan, ras/warna kulit, dan agama) belun tentu sepenuhnya cocok dengan kita.
Nilai kekuasaanjuga lebih tinggi dari nilai ekonomi. Secara tradisi hal ini memang juga dapat diamati.

Solidaritas Politik
Solidaritas dan politik sesuatu hal yang mempengaruhi. Oleh sebab itu perlu sekali dikembangkan usaha-usaha di masa datang yang saling memperkuat kedua segi hidup. Dalam rangka pembangunan politik, lingkungan yang lebih bersifat mambantu sangat diperlukan. Termasuk dalam hal ini pandangan mengenai kedudukan lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga politik di tengah masyarakat, serta lembaga apa pun yang member pengeruh bagi perkembangan politik itu----hal-hal yang tidak dibicarakan disini. Catatan negative manusia Indonesia yang pernah dikemukakan Mochtar Lubis sepuluh tahun yang lalu, yang sebaiknya dihapus. Tipe manusia Indonesia yang:
1. Hipokrit alias munafik
2. Segan dan enggan bertanggung jawab
3. Berjiwa feodal
4. Percaya takhayul
5. Boros
6. Lebih suka tidak bekerja keras,kecuali terpaksa
7. Ingin cepat kaya, berpangkat,” jago ini jago itu”
8. Cepat cemburu dan dengki
9. Sok
10. Tukang tiru.

Solidaritas menghendaki sikap terbuka pada semua pihak agar nasib masa depan merupakan tanggung jawab bersama dan bukan ditenntukan satu pihak. Sikap ini menghendaki pandangan yang menepatkan persamaan kedudukan antara berbagai unsure utama dalam pelayanan bagi masyarakat dan bukan sebaliknya. Ketiga, bahwa sikap terbuka ini menghendaki kesediaan untuk mendengar, menyimak, dan bukan semata-mata mengatur apalagi menggurui. Keempat, diperlukan sikap yang memungkinkan mengakui orang lain benar, sekurang-kurangnya bisa lebih baik dari apa yang dipunyai sendiri. Bahwa, oleh ebab itu hal ini mengenai pendapat, ide, pikiran atau juga orang seorang. Kelima, bahwa diperlukan faham, pendirian dan keyakinan bahwa masa depan harus lebih baik dari masa kini. Keenam, bahwa dalam jangka panjang pembangunan yang sesungguhnya bergantung banyak pada pendidikan suatu bidang meminta suatu perhatian yang benar-benar sungguh.










BAB III
Masa Depan Pembangunan Politik Indonesia: Beberapa Masalah Organisasi Politik (Maswadi Rauf)

Penyerderhanaan Politik: Latar Belakang
Orde Baru yang lahir setelah perebutan kekuasaan politik yang gagal dilakukan oleh gerakan 30 September dianggap mempunyai cirri-ciri yang berbeda dengan rezim yang mendahuluinya (Orde Lama). Pandangan yang berkembang pada masa tersebut adalah orde baru adalah lain dari orde lama dalam banyak hal.
Walaupun perbedaan antara orde Lama dan Orde Baru adalah sesuatu yang amat jelas, namun persamaan antara keduanya dalam beberapa hal juga cukup jelas. Hal ini sering diabaikan karena adanya pemikiran bahwa orde baru adalah alternative yang jauh lebih baik dari orde lama. Persamaam yang sering kurang disadari antara orde lama dan orde baru adalah pandangan tentang perlunya penyederhanaan system kepartaian. Presiden Soekarno adalah penganjur bagi adanya penyederhanaan kepartaian pada masa orde lama. Pada 22 Agustus 1945, Republik Indonesia yang baru merdeka telah membentuk monolithic national party yang kemudian tidak bertahan lama. Ide ini kemudian diganti dengan system multipartai yang lebih banyak dapat dukungan. Peranan Soekarno dalam memutuskan perlunya partai tunggal adalah cukup besar mengingat peranan yang besar dari Soekarno pada masa tersebut.
Sikap Soekarno terhadap partai politik pada tahun 1950-an adalah tidak favorable. Pada masa itu Soekarno terkenal dengan sikapnya yang anti partai politik. Salah satu ucapannya yang menghebohkan adalah perlunya penguburan partai politik. Soekarno melihat kunci kestabilan politik terletak pada penyederhanaan kepartaian dengan cara mengurangi jumlah partai yang ada. Dari sini terlihat bahwa jumlah partai adalah factor penting dalam penyedehanaan kepartaian pada masa orde lama. Pemimpin politik Orde Baru sampai pada kesimpulan bahwa jumlah partai politik (lebih sering disebut orpol atau organisasi politik yang mengacu pada PPP, Golkar, dan PDI) bukanlah satu-satunya factor penting dalam proses penyederhanaan kehidupan politik.
Penyederhanaan partai politik 1960 dan fusi partai politik tahun 1973 dapat dikatakan merupakan penyederhanaan kepartaian secara institusional karena menjadi sasaran adalah jumlah partai politik.
Tesis Geertz yang terkenal itu mengatakan bahwa konflik politik di Indonesia pada hakikatnya adalah konflik antar kelompok primordial mengenai isu-isu primordial yang berkisar pada sosal-soal kesukuan, kedaerahan, dan agama. Menurut Geertz, konflik politik di Indonesia menjadi sangat hebat dan sulit diselesaikan karena yang dipersengketaan bukan masalah politik, tetapi masalah promordialnya. Idiologi dapat disamakan dengan kesetiaan primordial yang dibahas oleh geertz dalam hal bahwa keduanya adalah dogma yang menuntut kesetiaan yang tidak dapat ditawar.



Pembaharuan Politik di Masa Orde Baru
Salah satu usaha terpenting dalam pembaharuan politik pada masa orde baru adalah penetapan pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Argumentasi terpenting yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang tidak sependapat adalah bahwa asas tunggal dapat menjurus ke arah partai tunggal (yang tidak kehendaki oleh pohak mana pun juga di Indonesia) dan akan menghalangi kebebasan warga negara Indonesia dalam melakukan kegiatan-kegiatan social politik mereka.
Argumen itu memang beralasan. Oleh karena itu diperlukan waktu oleh pemerintah untuk menjelaskan hal ini kepada masyarakat agar segala hal yang dikhawatirkan itu tidak terwujud. Sikap yang berkembang dalam masyarakat Indonesia menunjukan dukungan yang semakin besar bagi asas tunggal. Hal ini memberikan suasana yang kondusif bagi pengundangan asas tunggal.
Pengaturan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas dicantumkan dalam Bab II tentang asas, Tujuan, dan Program dari UU No. 3 Tahun 1985. Pasal 2 dari bab tersebut berbunyi:
(1) Partai politik dan golongan Karya berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas
(2) Asas sebagaimana dimaksud dalamayat (1) adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Aturan pemerintah no. 19 tahun 1986 menulis bahwa:
Partai Politik dan Golongan karya hanyalah berdasarkan Pancasila yang wajib dicantumkan dalam anggaran dasar organisasi masing-masing, dan tidak diperbolehkan mencatumkan isitlah atau pengertian lain yang dapat mengurangi atau mengaburkan makasud ditetapkannya pancasila sebagai satu-satunya asas bagi partai politik dan golongan karya dalam kehidupan bermasyarakat , rakyat, berbangsa dan bernegara.
Dari gambaran di atas terlihat bahwa pencasila diharuskan jadi satu-satunya asas, landasan, ataupun yang sejenisnya bagi organisasi politik. Ciri-ciri khusus dari masing-masing organisasi, dan tidak boleh dicantumkan.
Arti yang terkandung dalam asas tunggal adalah konflik politik di antara orpol-orpol tidak lagi didasarkan atas perbedaan idiologi mereka telah sama yaitu Pancasila. Konflik Politik adalah sesuatu yang selalu ada. Ia tidak dapat dihilangkan dalam masyarakat manusia. Asas tunggal bermaksud mengalihkan isu yang di konflikan itu dari isu idiologi menjadi isu pelaksanaan idiologi tersebut.Asas tunggal menginginkan terciptanya consensus nasional mengenai idiologi nasional yang memang merupakan persyarakatan bagi perkembangan suatu bangsa. Dilihat dari ini, asas tunggal adalah ide pembaharuan. Pengalaman masa lalu menujukan bahwa bangsa Indonesia sudah terbiasa dengan berbagai idioliogi yang berbeda-beda. Semenjak awal pergerakan nasional. Bangsa Indonesia telah terbiasa melihat berkembangnya dan musnahnya berbagai idiologi. Asas tunggal menuntut setiap orpol untuk menyusun program masing-masing.Hal ini berarti bahwa di masa depan penilaian masyarakat terhadap orpol antara lain akan di dasarkan atas kualitas program kerja yang mereka buat.
Keterbukaan orpol sangat penting bagi pencegahan munculnya orpol yang berdasarkan diri atas kesetiaan primordial. Bila sebuah orpol hanya tebuka bagi suatu suatu suku atau agama tertentu, maka kepentingan politik orpol tersebut akan sangat diwarnai oleh kepentingan politik bisa dipisahkan dari kepentingan primordial.

Prinsip keterbukaan juga di anut oleh ormas. Penjelasan UU No.8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan antara lain menulis:
Salah satu cirri penting dalam organisasi kemasyarakatan adalah kesukarelaam dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia bebas untuk membentuk, memilih, dan bergabung dalam organisasi Kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, dan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Hal ini berarti bahwa pada dasarnya warga negara RI bebas memilih ormas yang akan dimasukinnya. Pembatasan satu-satunya adalah sifat ormas itu sendiri yang ditentukan oleh kegiatan: kegiatan, profesi, fungsi, dan agama. Orpol, sebagaimana telah disinggung di atas, dituntut untuk tidak menutup diri atas dasar apa pun juga termasuk perbedaan agama. Hal ini dapat dimengerti karena bidang kegiatan orpol bukanlah agama, tetapi bidang politik; orang yang berbeda agama tertentu yang bergerak di bidang agamma tertentu berdasarkan kegiatannya atas ajaran agama tersebut yang tidak relevan bagi orang yang beragama lain..
Keterbukaan orpol dan ,kesukarelaan dalam keanggotaan ormas mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan politik Indonesia setelah 1985. Dengan adanya ketentuan itu, keanggotaan orpol tidak ditentukan oleh keanggotaan ormas, dan sebalilknya, keanggotaan ormas tidak dipengaruhi oleh keanggotaan orpol.
Pembaruan dalam bentuk keterbukaan orpol ini membawa akibat bahwa pengalam politik di masa lalu harus ditinggalkan. Bangsa Indonesia semenjak lama telah terbiasa dengan orpol yang tidak terbuka bagi semua orang Indonesia.Faktor utama yang menyebabkan sebuah orpol tidak terbuka bagi semua adalah agama. Ketiga aspek pembaharuan politik Indonesia di bidang kehidupan kepartaian yang dilakukan tahun 1985 merupakan dasar penting bagi kebaikan kehidupan politik Indonesia di masa depan.
Pembaharuan di bidang politik pada masa pasca 1985 menguruskan bangsa Indonesia untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik yang wajar. Suasana baru itu berpandangan bahwa politik adalah wajar: pertentangan dan perbedaan pendapat di bidang politik bukanlah permusuhan yang harus pula terwujud di setiap aspek kehidupan masyarkat
Musyawarah untuk mencapai mufakat adalah suatu hal yang penting dalam system politik Indonesia. Hal ini merupakan salah satu cirri dari Demokrasi Pancasila. Semakin mampu bangsa Indonesia mewujudkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan politik semakin jelas dari demokrasi Pancasila.
Tidak heran bilas masih banyak terlihat tingkah laku politik yang tidak sesuai dengan jiwa pembaharuan plitik tersebut.Yang patut dijadikan model adalah sikap Muhammadiyah sebagai sebuah ormas ini telah membebaskan diri dari orpol, dalam artian ormas tersebut tidak lagi merupakan onderbouw dari salah satu orpol yang ada. Kasus Muhammadiyah ini masih belum merupakan gejala umum dalam kehidupan politik di Indonesia. Sebagian politik Indonesia masih berada dalam situasi pra-1985, saat istilah onderbouw masih dikenal.

Dampak Pembaharuan Politik Bagi Orpol
Tantangan yang dihadapi oleh orpol adalah keharusan mereka untuk menyesuaikan diri dengan pola yang baru. Masalah yang dihadapi oleh setiap usaha pembaharuan adalah timbulnya hambatan-hambatan yang diakibatkan oleh penentangan terhadap sesuatu yang baru.
Bila ketiga orpol (PPP, Golkar,dan PDI) dibandingkan, terlihat bahwa golkar menghadapi masalah yang lebih besar dalam penyesuaiannya diri dengan ketentuan-ketentuan baru tersebut. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sebagian besar (kalau tidak semua) ormas yang tadinya menjadi onderbouw dari bekas partai politik yang bergabung dalam PPP dan PDI telah semnjak melepaskan dari kedua orpol baru tersebut (yaitu setelah fusi 1973).
Meskipun secara structural tidak lagi terlihat adanya ikatan antara orpol dengan ormas, namun secara psikologis masih terlihat adanya keterikatan itu terwujud dalam bentuk kesetiaan yang laten terhadap orpol tertentu dan hubungan yang intik dengan orpol teresbut, jadi, kalaupun secara structural hubungan orpol dan ormas telah terputus, namun secara psikologis hubungan itu masih tetap terasa dan masih ingin dipertahankan.

A. Dilema PPP
Penerimaan PPP terhadap pancasila sebagai satu-satunya telah tuntas dengan dicantumkannya hal tersebut dalam anggaran orpol berasangkutan. Pencantuma menuntut adanya sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan jiwa pancaila sebagai satu-satunya asas. Secara structural memang tiak terdapat adanya ormas, organisasi PPP. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berkeanggotaan PPP adalah sifat perseorangan dengan system yang disinggung di atas.
Ketentuan-ketentuan di AD/ART menggambarkan bahwa PPP adalahh penyalur aspirasi politik umat islam. Akibat yang ditimbulkan oleh ini adalah bahwa orang yang tidak beragama islam tidak tergerak atau tertarik untuk menjadi anggota PPP. Dilmena yang besar ini ditimbulkan oleh adanya kalangan masyarakat dan pimpinan PPP bahwa PPP adalah partai ummat islam

B. Dilema Golkar
Masalah yang dihadapi oleh Golkar adalah hubungan antar orpol tersebut dengan ormas. Orpol ini tidak dihadapi masalah di bidang pancasila sebagai satu-satunya asas dan orpol terbuka. Golkar adalah pelopor dari penggunaan Pancasila sebagai satu-satunya asas karena pemerintah yang pertama kali menganggap perlu hal tersebut.
Sebagaimana disebutkan pada bagian terdahulu. Golar tidak mengalami proses pemisahan oramas dari orpol seperti yang dialamu kedua orpol lainnya dengan adanya Fusi 1973. Akibatnya adalah bahwa tradisi lama mengenai ormas ormas sebagai ondebouw masih tetap kuat dalam diri golkar. Keharusan Golkar untuk menerina kenyataan bahwa ormas-ormas yang tadinya menjadi ondebouw Golkar juga terbuka bagi anggota-anggota dari orpol-orpol yang lain yang berminat menjadi anggota bersangkutan. Konsekuensi yang timbul adalah bahwa keanggotaan ormas bekas onderbouw Golkar tersebut tidak lagi terdiri dari para pendukung Golkar, tetapi terdiri dari para pendukung ketiga orpol.

C. Dilema PDI
Masalah yang dihadapi oleh PDI adalah mirip dengan kasus Golkar karena PDI tidak menghadapi masalah dalam hal Pancasila. Sebagai satu-satunya asas dari orpol terbuka. Dengan diterimnya Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi PDI, ormas ini tidak lagi berhak menggunakan asas atau idiologi lain.
Sebelum fusi, dua dari unsure PDI ( yaitu Partai katolik dan Parkindo) memang membatasi keanggotaan orpol mereka berdasarkan agama, yaitu katolik untuk yang pertama dan protestan yang kedua. Sedangkan tiga bekas partai politik lainnya yang berfusi ke dalam PDI (PNI, IPKI, dan Murba) memang sudah merupakan partai yang terbuka semenjak semula.

Kesimpulan
Pembangunan Politik pada hakikatnya adalah serangkaian usaha-usaha pembaharuan politik. Pembaharuan politik ini diperlukan agar kehidupan politik. Pembaharuan politik ini diperlukan agar kehidupan politik semakin labih baik. Berdasarkan pengalaman-pengalaman dari persepsi tentang kehidupan politik yang ideal. Usaha-usaha pembaharuan politik dilakukan. Arah dan langkah-langkah yang diambil mencerminkan interaksi pemikiran dalam masyarakat banghsa bersangkutan.
Indonesia adalah salah satu negara yang senantiasa terlibat dalam usaha-usaha pembaharuan . Hal ini disebabkan karena Indonesia masih tetap mencari “ format politik’ yang dianggap paling cocok dan berguna bagi pembangunan nasional Indonesia. Pembaharuan itu pada dasarnya bertujuan untuk memberikan makna yang lain bagi pengertian politik. Politik adalah sesuatu yang logis. Kesetiaan politik bukanlah kesetiaan buta, tetapi kesetiaan yang didasarkan atas pertimbangan akal sehat.


BAB IV
Pola dan Masa Depan Perimbangan Kekukatan Politik di DPR
(Djohermasyah Djohan)

Kehidupan politik sebagaimana dimaklumi pada umumnya memiliki tujuan untuk merebut kekuasaan politik dengan cara konstitusional, seperti melalui pemilu. Gejala demikian bisa dipahami karena kekuasaan politik yang dilambangkan dalam bentuk kursi itu. Tidak saja diperlukan tetapi dibutuhkan oleh sesuatu kekuatasn politik untuk menjalankan kebijaksanaannya. Pemrintah orde baru dalam dasa warsa kedua lebih masa pemerintahannya, secara periodic telah memfasilitasi empat kali pemilu dan memberi kesempatan kepada berbagai kekuatan politik untuk berjuang dalam ajang pemilu.

Pemilu 1971: Golkar Mayoritas, Parpol Gurem

Pada tanggal 3 Juli 1971, berlngsunglah pemilu pertama dalam masa orde Baru. Ketika itu tercatat jumlah penduduk Indonesia 114.890.347, jumlah pemilih yang terdaftar sebagai pemilih 58.558.776. Dari pengumpulan suara.Golkar berhasil mendapatkan suara (62, 80%), tidak terimbangi oleh kekuasaan politik lainnya basic sendiri-sendiri maupun andaikata bersama-sama. Itu berarti jumlah suara yang diberikan rakyat pemilih untuk partai-partai politik sangat kecil dibanding dengan suara mereka kepada Golkar. Pada hal parpol telah lama dikenal rakyat, sementara Golkar merupakan kekuatan politik baru dan sama sekali belum berpengalaman dalam pemilu. Dalam penguasaan kursi DPR, Golkar dalam pemilu memperoleh 51,30 %. Bila ditambah dengan 25 kursi Golkar Non ABRI dan 75 kursi Golkar ABRI yang diangkat, maka total Golkar menguasai 336 kursi 73,04 %, sementara itu jika kursi sembilan parpol dihimpun menjadi satu, hasilnya hanya 124 kursi
Dengan begitu, Golkar berhasil menguasai mayoritas suara atau majority bent di DPR, Suatu hal yang belum pernah terjadi selama Indonesia berpalemen.Sebaliknya parpol dengan berat hari terpaksa menerima predikat partai gurem atau minor parties.



Pemilu 1977. Golkar tetap mayoritas, Parpol Tetap Gurem
Rakyat yang memberikan suara kepada parpol masih tetap masih rendah ketimbang untuk Golkar. Ini Agaknya menandakan keperdcayaan rakyat rendah Parpol belum lagi pulih, sementaraa Golkar tampak semakin memikat. Sehingga akibatnya Parpol tetap lemah dan Golkar still going strong di DPR. Dari penguasaan kursi, kursi Golkar yang diraih lewat pemilu berjumlah 232 (50%). Bila dijumlah dengan pengangkatan 100 Golkar ABRI dan non-ABRI, maka total kursi Golkar menjadi 332 (72%) dan yang 128 itu diraing oleh parpol di luar Golkar.


Naik Turun Perimbangan
Berdasarkan pemaparan perbandingan kekuatan politik pada setiap pemilu tadi, dapatlah diketahui naik-turunnya perimbangan kekuatan mereka di DPR hingga kini. Sejak Golkar bersama Golkar non- ABRI dan Golkar ABRI menguasai mayoritas tahun 1971, tampaknya tingkat penguasaan mayoritas tersebut lebih cendrung menanjak. Demikian, cukup jelas terlihat bahwa perimbangan kekuatan Golkar baik sendiri apalagi plus Golkar Non ABRI dan Golkar ABRI vis a vis Parpol PPP dan PDI, Sejak pemilu 1971 hingga pemilu 1987 di DPR, lebih cenderung tidak seimbang .

Pola dan Masa Depan Perimbangan
Bila diperhatikan dengan jeli data di muka, maka memang tampaknya ada suatu perimbangan antara kekuatan-kekuatan politik yang telah terwujud menjadi kenyataan dalam empat kali pemilu di DPR.
Kira-kira bentuk pola itu adalah. Pertama, Golkar an sich menguasai mayoritas suara terus menerus sehingga kini di DPR dengan persentase penguasaan kursi sekitar 50-an persen. Kedua, Golkar bersama Golkar ABRI, dan Golkar ABRI, dan GOLKAR non- ABRI (mulai pemilu 1987 ditiadakan) menguasai mayoritas suara terus menerus hingga kini di DPR dengan persentase penguasaan kursi sekitar 40-an persen. Ketiga, Parpol (PPP dan PDI) menguasai minoritas suara terus menerus hingga kini di DPR dengan persentase penguasaan kursi sekitar 20-an persen


INDONESIA DAN BEBERAPA MASALAH INTERNASIONAL

Bagian V
Proyeksi Politik Luar Negeri Indonesia
( Mochtar Kusumaatmadja)


Secara garis besar dapat dikatakan bahwa pada dasarnya politik luar negeri Indonesia menjelang akhir tahun 1987 ini sudah cukup mantap dan sesuai dengan amanat mukadimah UUD 1945 dan asas-asan politik luar negeri yang telah diletakan pendahuku kita pada permulaan sejarah kemerdekaan, seperti asas anti kolonalisme dan imperialism, asas anti rasialisme, asas mendukung perjuangan kemerdekaan segala bangsa, serta asas membantu menegakan perdamaian dunia.
Kesemua asas politik luar negeri Indonesia ini telah dan secara konsekuen tetap akan kita laksanakan di segala medan perjuangan politik luar negeri, baik itu di timur tengah ( kita mendukung secara konsisten perjuangan kemerdekaan Nambia dan perjuangan melawan apartheid) dll.
Politik luar begeri kita terhadap negara-negara Amerika latin memang tidak setinggi intensitasnya dibandingkan dengan negara-negara bagian dunia lainnya. Akan tetapi hubungan kita dengan negara-negara penting di Amerika latin seperti, Meksiko, Venezuela cukup baik. Apabila kita tinjau kegiatan politik luar negeri di forum-forum multilateral, dapat dikatakan bahwa Indonesia cukup di kenal berbagai forum multilateral. Misalnya perjuangan Indonesia dengan membentuk Dana bersama untuk komoditi atau Cmmon Fund, diakui oleh semua pihak dan sangat mengangkat nama baik Indonesia.
Bidang lain yang membuat perjuangan Indonesia cukup dikenal adalah di forum-forum ekonomi multilareral seperti UNCTAD, group -77 dan lainnya sebagainya. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa dari pelaksanaan politik luar negeri sejak rezim orde baru bahwa selain meneruskan tradisi politik bebas aktif dalam bidang politik sebagaimana diuraikan di atas, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia jelas-jelas bertujuan menunjang pembangunan nasional di segala bidang. Hal ini sesuai dengan kepentingan kita, mengingat kita sedang giat-giatnya melakukan pembangunan nasional.
Dengan demikian kerja sama ekonomi, perdaganganm dan penanaman modal dilandasi oleh suatu landasan oleh suatu landasan politik yang setidak-setidaknya tidak ada maksud untuk saling mengancam atau saling mendominasi di bidang politik atau militer. Itu yang menjadi cirri khas ketiga kelompok di Asia Pasifik ini yang mungkin akan mempermudah kerja sama di bidang ekonomi dan perdagangn. Hal ini tidak berarti bahwa kita tertutup bagi kerja sama ekonomi dan perdangan dengan negara-negara yang jelas-jelas mempunyai system politik yang berlainan.













Bagian VI
Pandangan Indonesia Terhadap Maslah Kamboja Dalam Konteks ASEAN
(Hilman Adil)


Terbentuknya ASEAN Sebagai Organisasi Regional
Terbentuknya ASEAN 8 Agustus 1967, sebgai wadah kerja sama regional, diharapkan dasar-dasar hubungan damai antarnegaran di Asia Tenggara serta menggalakan pembangunan negara-negara tersebut. Hal ini tertuang dalam deklarasi yang menyebut sasaran utama ASEAN adalah antara lain, meningkatkan pertumbuhan ekonomi,kehidupan social, perkembangan cultural, serta mengusahakan perdamaian dan stabilitas regional.
Sepanjang sejarah Asia Tenggara sejak berakhirnya Perang Dunia II, ASEAN bukanlah merupakan organisasi regional yang pertama. Sebelum telah ada ASA (Associations of Southeast Asian States) dan Maphilindo ( Malaysia, Philippines, Indonesia), namun ternyata tidak mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya.
Dibandingkan dengan kuduanya organisasi regional sebelumnya, ASEAN lebih banyak member harapan akan berhasil. Hal ini disebabkan oleh dua factor : (a) Situasi di Asia Tenggara pada waktu ASEAN terbentuknyya sangat berbeda, begitu pula struktur organisasninya dan mekanisme oprasionalnya;(b) dalam melaksanakan kebijaksanaan kea rah realisasi sasarannya, ASEAN lebih mengandalkan cara-cara dan strategi yang non konvensional.
Dalam proses pembentukan ASEAN, pemikiran klasik tersebut, yang melandasinya terbentuknya OAS (Organization of American States), OAU ( Organization of African Unity), dan Liga Arab dengan menghasilkan suatu treaty yang lebih komprehensif, tidak mungkin dapat diterapkan pada waktu itu karena adanya hubungan peka antara anggotanya.
Deklarari Bangkok 1967, secara ekplisit menyebut bahwa negara-negara Asia Tenggara sangat erat hubungannya melalui sejarah dan buday. Pernyataan demikian lazim diungkapkan oleh organisasi regional lainnya.Sebenarnya yang mendasari motivasi politik kelima negara tersebut untuk mendirikan ASEAN adalah perkembangan di benua Asia, yaitu eskalasi perang Vietnam dan gejolak di RRC sebagai akibat dari revolusi kebudayaan yang diinterpretasikan sebagai ancaman terhadp keamanaan dan eksistensi negara negara tersebut.

Kesimpulan
Dalam periode antara invasi Kamboja hingga dewasa ini, keadaan pada dasarnya tideak mengalami banyak perubahan, Vietnam berhasil menciptakan “ spheres of influence” di Laos dan Kamboja melalui kedudukan tentaranya. Sebagai reaksinya terhadap tindakan Vietnam tersebut.
Pendekatan legalistic yang acapkali kurang memahami dinamika proses politik yang melatarbelakangi masalah internasional. Oleh karena itu, sudah waktunya bagi negara-negara ASEAN untnuk lebih mempertahankan dimensi internal dan dimensi eksternal dari politik luar negeri Vietnam yang menimbulkan perbedaan pendapat antara anggota-anggota ASEAN, terutama antara Indonesia dan Muangthai meningkat pola Low Profil dalam kebijaksanaan politik luas negerinya tanpa mengurangi pentingnya kerja sama antara negara negara-negara ASEAN.
Inti dari permasalahan Kamboja dalam negosiasi selanjutnya terpusat pada sifat dari pemerintahan rekonsiliasi nasional Kamboja yang direncanakan setelah konflik Kamboja berakhir. Persyaratan agar Pemerintahan tersebut dapat bertahan adalah adanya consensus antar pihak yang bersngketa bahwa yang berkuasa kelak tidak merupakan ancaman terhadap mereka.. Dengan kata lain , perlu diusahakan Kamboja yang netral. Mengenai apakah versi Austria atau Finlandia dijadikan negara model gambaran apa yang diinginkan oleh kedua pihak.


Bagian VII
Indonesia: Suatu Model Dalam Gerakan Non- Blok di Masa Mendatang?
(Siswono Soenarko)

Jika kita melihat latar belakang sejarah gerakan Non- Blok yang berdiri resmi sejak 1961, tujuan utama semua anggotanya untuk bergabung adalah untuk melawan kolonialisme dan imperialism Barat, disamping juga ingin menciptakan perdamaian dalam rangka adanya 2(dua) blok bertentangan. Oleh karena itu dapat dimengerti jika semangat anti Barat selalu mewarnai gerakan non Blok di dalam berbagai forum internasional, sebab memang besat anggotanya adalah bekas jajahan negara-negara Eropa Barat.
Dilihat dari segi kondisi ekoni, social budaya, kita saksikan bahwa negara-negara anggota gerakan Non-Blok sebagian besar termasuk dalam satu kategori yang sama yakni sebagai negara yang sedang berkembang, walaupun tingkat perkembangannya masing-masing negara secara individual berbeda-beda.
Sejalan dengan semangat baru gerakan Non-Blok yang berdimensikan kepentingan pembangnunan ekonomi, maka Indonesia sebagai anggota ini pun telah menciptakan di dalam garis-garis besar haluan negara (GBHN), antara lain dapat kit abaca mengenai Hubungan Luar negeri sebagai berikut:
“Pelaksanaan politik Luar Negeri yang bebas dan aktif dilaksanakan secara konsekwen
dan diabadikan untuk kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan di segala bidang”

Dengan demikian jelas bahwa pembangunan di segala bidang (termasuk ekonomi), adalah merupakan kepentingan nasional Indonesia yang haeus dicapai dan terpilihnya dalam pelaksanaan hubungannya dengan negara-negara lain di dunia
Didalam forum PBB, gerakan Non- Blok sebagai salah satu kelompok anggotanya telah memperlihatkan persamaan pendapat dan langkah-langkah menghadapi permasalahan-permasalahan internasional; sehingga mejelis Umum PBB bisa membentuk kelompok tersendiri yang disebut voting Block.
Lima wujud program utama Gerakan Non-Blok, yaitu meliputi usaha-usaha untuk
a. Merdakan ketegangan internasional
b. Perlucutan, pembatasan/pengurangan persenjataan
c. Terlaksananya persamaan hak hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan internasional.
d. Memerdekakan rakyat / bangsa yang masih terjajah, dan
e. Pembangunan ekonomi negara-negara berkembang
Ini menunjukan bahwa prinsip dasar gerakan non-Blok tidak berbeda semenjak berdirinya. Kemungkinan perpecahan atau perbedaan tentang prinsip-prinsip dasar gerakan Non Blok di antara sesama anggotanya memang ada.
Gerakan Non Blok sebagai gerakan internasional yang mempersatukan dan melibatkan banyak negara/bangsa dari berbagai wilayah dunia, ternyata tidak luput dari kemungkinan perpecahan diantara anggota sesamanya. Sebagai akibat beberapa faktor penting dalam situasi politik internasional. Paling sedikit ada dua factor yang mempengaruhi terjadinya perpecahan dikalangan non blok, yaitu:
1. Idiologi, merupakan pendorong untuk menentnukan pandangan dan tindakan-tindakan politik negara anggota non blok, baik secala langsung atau tidak langsung
2. Konflik yang terjadi di antara sesama anggota Non-Blok disebabkan kepentingan.

Beberapa Masalah di Dalam Gerakan Non-Blok

a. Peranan Kepemimpinan

Gaya kepemimipinan negara-negara anggota gerakan Non-Blok yang sudah mengalami penggantiantermasuk juga negara-negara anggota baru gerakan Non-Blok, ternyata berbeda. Beda yang tampak jelas adalah negara-negara yang terbut terakhir, karena pengaruh lingkungan dan sejarah kemerdekaannya masih hangat, selalu berusaha keras agar gerakan non-blok dipusatkan kepada masalah dekolonisasi, khususnya di Afrika yang dinilai sudah sangat mendesak tanpa disadari bahwa pangkal tolak kelamahan mereka adalah factor ekonomi yang terlebih dahuku harus diatasi dengan tindakan-tindakan nyata.
Tantangan yang dihadapi gerakan Non-Blok sekarang yang dapat dijadikan ‘ musuh bersama” seperti yang dialami kepemimpinan masa lalu, dari segi penampilannya tidak sejelas dan kongrit impirialis dan kolonialis, sehingga kadang-kadang timbul perbedaan persepsi diantara sesama anggota gerakan non-blok tentang siapa musuh bersama ini pada gilirannya jika didiamkan berlarut larut akan melemahkan gerakan ini sendiri di forum internasional.
Pada tahun-tahun pertama berdirinya gerakan Non-Blok, Indonesia berperan sangat aktif, sebab sebagai salah satu pemakrasa konfrensi di Beograd 1961, bahkan termasuk kelompok negara yang berpandangan garis keras atau “ radikal-militan” yang selalu berbeda pendapat dengan negara-negara moderat (antara lain: India, Yugoslavia dan Mesir).


Kemungkinan Indonesia Menjadi Tuan Rumah KTT Non-Blok IX tahun 1989

Indonesia mengajukan permintaan sebagai penyelenggaraan KTT Non-Blok sudah semenjaknya Konfrensi Tingkat Menteri Luar negeri negara-negara Non-Blok di Luande, setahun sebelum KTT VII diputuskan akan diselenggarakan di Harare, Zimbabwe. Alasannya mengapa Harare dapat disetujui sebagai tuan rumah KTT non-Blok VIII tahun 1986 ialah ; Fokus perjuangan yang sedang hangat diprioritaskan tak lain anti-kolonialisme, imperialism dan rasialisme yang sudah berlangsung cukup lama di Afrika bagian selatan, jelasnya di Afrika Selatan dan Nambia.

Delegasi Indonesia datang Harare antara lain dengan harapan dapat kesempatan untuk menjadi tuan rumah KTT non-Blok IX tahun 1989; ternyata Nikaragua dari Amerika latin yang mencalonkan diri. Keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah barang kali banyak keuntungannya, apalagi jika dikaitkan dengan kemungkinannya sebagai salah satu negara berkembang yang dapat menampilkan diri sebagai suatu contoh keberhasilan menciptakan stabilitas politik domistik yang mantap; dalam bidang ekonomi dengan kondisi resesi serta krisis moneter/keuangan dan tata niaga internasional yang serba tak menentu, masih dapat bertahan dengan kegiatan pembangunan.

Kesimpulan

Berdasarkan berapa permasalahan di dalam gerakan Non-Blok yang telah diuraikan tersebut di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan batasan lain sebagai berikut:
1. Walaupun kepemimpinan bukan merupakan factor yang menentukan di dalam gerakan Non-Blok, yang memang bukan Organisasi Formasi Dunia, tetapi adanya keteladanan dan pengarahan yang tegas untuk menyatukan langkah dalam mencapai tujuan perjuangan masih terasa, kalau tidak dapat dikatakan sedang krisis.
2. Kecendrungan politik kearas focus perjuangan dari titik berat kepentingan politk kearah pembangunan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat/bangsa-bangsa yang tergabung dalam gerakan non –blok.
3. Surutnya partisifasi Indonesia di dalam gerakan Non-Blok semenjak kegiatan pembangunan nasional dalam negeri diselenggarakan selama +- 20 tahun
4. Stabilitas lingkunga kawasan yang telah mendapat prioritas ejajar dengan pembangunan nasional di Indonesia
5. Dengan modal: Keberhasilan dalam peningkatan taraf hidup dan pembangunan pada umumnya dan terciptanya stabilitas dan keamanan lingkungan dapatkan Indonesia menjadi model di dalam gerakan non-blok bagi sesama anggota lainnya.


Bagian VIII
Kekuatan Laut dan Politik Negeri AS
(Sjamsumar Dam)

Pendahuluan
Kekuatan laut (sea power) merupakan salah satu bagian dari kekuatan militer merupakan komponen dari kekuatan nasional suatu negara. Akan tetapi bagi negara maritime besar seperti AS, kekuatan laut sangat menentukan sekali, baik untuk mempertahankan wilayah maritimnya dari ancaman luar, maupun mempertahankan kepentingan nasionalnya.
Bagi AS, pentingnya kekuatan laut sudah diperbindangkan sejak awal negara itu memperoleh kemerdekaannya. Kesepakan yang dicapai antara Thomas Jefferson yang mengandalkan diplomasi dan Alexander Hamilton yang lebih memerlukan kekuatan laut adalah dijadikannya kekuatan laut sebagai pendukung utama politik luar negeri AS.
Meskipun demikian perkembangan kekuatan laut AS dalam abad pertama kemerdekaannya belumlah demikian besar, saat itu AS hanya menduduki paringkat keenam dalam kekuatan laut dunia.

Latar Belakang Kekuatan Laut AS
Pentingnya arti kekuatan laut bagi AS sudah dirasakan selama perang kemerdekaan melawan Inggris yang pada masa itu memiliki kekuatan laut yang amat tangguh. Hanya dengan bantutan armada Perancis yang di pimpin oleh Comte de Rochmembau, kekuatan laut Ingggris yang dipimpin oleh Lord Cornwallis dapat dibendung oleh George Washington seingga Inggris mengakui kemerdekaan AS pada 1783. Setelah perang, kekuatan laut berfungsi untuk eksistensi wilayah AS dari ancaman asing, terutama sepanjang pantai luar dilakukannya. Kalau selama ini kapal-kapal dagang AS dalam pelayarannya pelayarannya di lindungi oleh armada Inggris.
Pecahnya Revolusi Perancis pada 1789 telah membawa perubahan baru dalam perimbangan kekuatan politik di Eropa, yang ditandai oleh persaingan antara Inggris dan Perancis, dimana posisi AS berada di ujung tanduk. Karena di satu pihak AS dituntut untuk membalas “ budi” Perancis yang telah banyak membantu AS selama perang kemerdekaan.

Pokok-pokok pikiran Mahan
Menurut Mahan, komunikasi laut merupakan elemenpenting dalam penyusunan strategi national. Kemampuan untuk menjamin kelancran komunikasi dan kemampuan untuk memutus jalur musuh, mernupakan akar dan kekuatan nasional dan terutama bagi kekuatan laut. Dalam perang di laut sebagaimana juga di darat, stategi yang dibutuhkan adalah pengawasan “ interior lines”, yang akan mampu menghadapi musuh diberbagai front serta untnuk memusatkan kekuatan supaya lebih cepat daripada yang dapat dilakukakan musuh.
Strategi yang dimaksud untuk memperoleh pengawasan laut melalui pembentukan, dukungan peningkatan kekuatan laut suatu negara baik pada masa damai maupun pada masa perang. Pengawasan pada masa perang adalah berupa penghancuran armada musuh. Setelah kemenangan diperoleh, hasil dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang lebih jauh yang diingninkan oleh bangsa dan ekonomi. Peranan AL dalam hal ini adalah kemampuan untuk melakukan penjagaan terhaap sumber-sumber alam dan kemampuan untuk mempersempit ruang gerak musuh untuk memperoleh akses yang serupa.
Dalam melihat kemungkinan AS sebgai kekuatan laut utama, Mahan beranggapan bahwa AS memiliki dua rintangan utama untuk mencapao tujuan itu. Pertama, AS tidak memiliki titik-titik strategis dijalur-jalur utama dunia, seperti terusan suez yang dimiliki Inggris.


Pembatan dan Perlombaan Kekuatan Laut di Pasifik
Sebagaimana sudah disinggung di atas, bahwa konfrensi Washington diadakan untuk membatasi persenjataan persenjataan laut dan politik dominasi Jepang di wilayah Pasifik. Oleh karena itu perdebatan selama Konfrensi berkisar antara kepentingan Jepang dan AS di wilayah itu. Oleh karena itu sebelum maslah pembatasan kekuatan laut dibicarakan mslah pemilikan AS, Inggris, Jepang, dan Perancis di wilayah Asia Pasifik diselesaikan terlebih dahulu. Oleh karenanya pada 13 Desember 1921 keempat negara telah menandatangani kesepakatan bersama untuk saling menghargaai hak-haknya di wilayah Asia Pasfik dalam bentuk “ Four Power Treaty”. Dengan demikian masing-masing pihak sudah memperoleh jaminan terhadap miliknya masing-masing di wilayah Asia Pasifik, termasuk ketiga kepulauan bekas milik Jerman yang dipersengketakan AS dan Jepang di atas.
Perjanjian pembatan persenjataan laut baru dapat ditandatangani oleh 5 lima negara yang berkepentingan, yaitu AS, Iggris, Jepang, Perancis dan Italia, pada 6 Februari 1922. Isi poko dari “ Five Power Treaty” ini adalah, kelima negara sepakat unntuk membatasi jumlah notase kapal-kapal besarnya berdasarkan rasio 5:5:3:1,75:1,75. Juga selama 10 tahun kelima negara sepakat untuk penggantian kapal yang sudah tua..
Bagi AS perjanjian itu memperoleh dua hasil utama, yaitu pertama, diperolehnya pengakuan dari Inggris tentang kestarafan kekuatan laut AS dengan Inggris, yang selama ini tidak menerimanya. Kedua, berhasilnya delegasi AS untuk menggiring Jepang dengan pembatasannya berdasarkan rasio 5:3 yang berarti jepang tidak akan melampaui kekuatan namun masih ada kritik yang dilontarkan oleh kaum “Navalis” yang menginginkan keunggulan kekuatan laut AS.
Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, Konferensi Washington hanya membatas rasio kapal (Capital ships) saja. Sedangkan kapal perang jenis lainnya dibatai pembangunannya.



Kekuatan Laut AS setelah Perang Dunia II
Setelah berakhirnya Perang Sunia II kekuatan laut AS menjadi secara drastic, ealaupun masih tetap dapat mempertahankan posisinya sebagai kekuatan laut utama dunia. Misalnya dalam bidang personalia, yang selama perang berjumlah 3,4 juta orang, karena adanya demobilisasi besar-besaran setalh perang menjadi hanya 375.000 orang saja pada 30 Juni 1950. Sementara kapal perang tadinya berjumlah 1200 buah menjadi hanya 237 buah saya yang dipergunakan secara efekif.. Begitu pula pesawat udara yang dikelola AL, yang tadinya berjumlah 40.000 buah menjadi hanya 4.300 buah saja pada tahun 1950. Tentu saja penurunan kekuatan laut itu tidak dapat mendukung perubahaan politik luar negeri AS telah menetapkan US sebagai lawan barunya sebagaimana yang telah dicanangkan dalam Doktrin Trauman yang dikenal sebagai politik pembendungan.
Kebijakan pertahanan NSC-68 mencanangkan pembangunan kembali kekuatan militer AS dengan biaya tahunan minimal 20 % dari GMT atau sekurang-kurangnya US$ 50 miliar setahun. Jelasnya Trauman menghendaki ditingkatkannya kekuatan militer AS terutama dalam bidang persenjataan nuklir untuk menghadi kekuatan nuklisr US yang semakin berkembang
Dalam pengembangan kekuatan laut setelah perang Dunia II, kelihatnnya AS kurang demikian antusias jika dibandingkan dengan sebelum perang. Mungkin hal ini disebabkan oleh karena musuh yang dihadapi mukanlah negara yang memiliki kekuatan laut yang besar seperti Jerman dan Jepang semasa perang. Dan lagi strategi petahanan yang dikembangkan AS setelah perang adalah deng an mengutamakan peningkatan kemampuan kekuatan nuklir sebagai senjata strategis yang dapat menghancurkan musuh secara masal (massive retaliation), yang pada gikirannya akan lebih murah bila dilakukan secara konvensional.
Sementara itu US merasa tertinggal dalam kekuatan kekuatan laut, ejak tahun 1955 mulai melakukan pembangunan kekuatan laut, besaran dibawah ini pimpinan Laksamana sergei Gorshkov. Sehingga pada tahun 1960, secara kuatntitatif, jumlah kapal perang yang dimiliki oleh US sudah melewat jumlah yang dimiliki AS, walaupun secara tonase AS masih unggul dibandingkan dengan US.
Dalam bidang perlomban senjata nuklir yang sudah berlangsung sejak tahun 1949 itu, kedua negara sudah berusaha membatasinya dengan ditandangani SLT I pada tahun 1972, SALT II 1979 dan pada tahun 1987 ini akan ditandatangani pula peimimpin kedua negara penghapusan senjata nuklir jarak menengah di Washington bulan Dember yang akan datang.

Kesimpulan
Sebagai negara maritime yang memiliki pantai yang cukup panjang di Samudra Atlantik dan Pasifik, AS sudah merasakan arti pentingnya kekuatan laut sejak negara itu melakukan perang kemerdekaan melawan Inggris. Setelah merdeka, arti kekuatan itu tidak saja melingdungi pantainya yang amat panjang itu, akan tetapi juga melindungi perdagangannya di luar negeri terutama Eropa.
Pesatnyya perkembangan industry dan perdagangan sejak revolusi industry, menyebabkan meningkat pula kepentingan AS di luar negeri yang sekaligus harus bersaing dengan negara-negara industry di Eropa dan Jepang. Apalagi dengan diperolehnya kepulauan Filifina, Hawaii dab Samoa di Samudra Fasifik kepentingan itu semakin bertambah untuk melindungi kepentingan dan persaingan yang dihadapi itulah diperlukannya suatu kekuatan laut yang tangguh.
Dominasi kekuatan lau AS itu kemudian disaingi oleh US dengan pengembangan kekuatan laut secara besar-besaran sejat tahun 1955, sehingga secara kuantitas US sudah melampaui jumlah kapal perang yang dimiliki oleh AS, Walaupun secara tonase AS lebih unggul. Perkembangan kekuatan ini ditopang pula oleh persenjataan nuklir yang dimiliki oleh kapal-kapal perang tersebut, sehingga perlombaan lebih diwarnai oleh persenjataan nuklir antara kedua negara adi daya.
Kehadiran kekuatan laut AS di Pasifik sudah dimulai semenjak diterimanya usul Benjamin Stoddert untuk menggelarkan kekuatan laut AS di fasifik Barat. Yang ternyata kemudian sangat membantu memelihara kepentingan AS di Timur dan dalam memperoleh Filifina dari Spanyol, termasuk usaha-usaha untuk mengimbangi ekspansi Jepang di Asia Fasifik pada masa perang Dunia II.
Dari uraian di atas, ternyata bahwa perkembangan kekuatan laut AS sejalan dengan politik luar negeri yang dijalankannya, dmana kekuatan laut telah memberikan dukungan secara nyata terhadap setiap politik luar negeri yang dilaksanakan AS






Masalah dan Prospek Birokrasi di Indonesia

Istilah birokrasi yang lazim dalam pembahasan ilmu politik sesungguhnya bukanlah istilah yang sering kita gunakan di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan politik pada khususnya.
Pembahasan birokrasi yang terkenal berkat tulisan Max Weber, hamper selalu terpusat pada aspek-aspek yang negative, dan agak jarang yang menampilkan segi-segi yang positif sebagai organisasi besar yang disusun secara rasional. Dalam hubungannya inilah misalnya kita membahas kebijakan debirokratisasi dan deregulasi, yaitu bagaimana mengurangi hambatan yang diakibatkan oleh birokrasi serta regulasi yang berkaitan dengannya.
Secara politiik, birokrasi pemerintahan berada pada tatatan suprastruktur politik, yang mempunyai wewenang yuridis dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang dilayani. Birokrasi pemerintahan meliputi gaik organisasi para birokratnya yang berada dibawah kendali pemerintahan, dalam hal ini dibaah para menteri.

Negara Kekeluargaan dan Konsep “ Birokrasi”

Birokrasi, jika kita dapat membahasnya dalam hubungan dengan siding-sidang BPUPKI, di pandang sebagai alat negara kekeluargaan yang hendak didirikan itu. Ia sekedar merupakan alat teknis belaka. yang menjadi pusat perhatian adalah penyusunan system pemerintahan negara meliputi
(1) Negara berdasar atas hukum
(2) Sisterm konstitusional
(3) Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR
(4) Presiden ialah penyelenggara negara tertinggi di bawah MPR
(5) Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR
(6) Menteri ialah pembantu presiden ‘
(7) Kekuasaan Kepala Negara tidak terbatas.

Dalam rapat BPUPKI, Prof. Mr. Soepomo menerangkan bahwa pemerintahan berdasar UUD 1945 justru sejak awal dirancang agar sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai dasar cultural tentang suatu pemerintahan. Dlam rapat besar tanggal 15 Juli 1945 Soepomo berkata “ Kita menghendaki semangat kekeluargaan yang harus meliputi seluruh lapangan hidup manusia, bukan saja ekonomi, social, akan tetapi juga lapangan politik, lapangan pemerintahan, artinya berhubungan antara pemerintahan dengan warga negara, semua itu harus diliputi oleh paham kekeluargaan.
Mereka meng menghendaki system yang member aksen yang terbesar kepada pemerintahan dan terutama kepada kepala negara. Dari sejarah, pilihan demikian ada dasarnya. Kepala negara yang tidak kuat, bukan saja sulit melaksanakan tugas mensejahterakan rakyat, tetapi juga akan sulit dalam melaksanakan tugas mengamankan negara terhadap ancaman luar maupun dari dalam. Secara cultural, kita selalu menginginkan seorang “ ratu adil”, raja yang kuat dan bujaksana.


Pembangunan Politik
Pembangunan politik merupakan bagian dari keseluruhan pembangunan nasional. Ia bukan merupakan pembangunan yang berdiri sendiri. Secara jelas GBHN (1983) mengarahkan :” Pembangunan politik diarahkan untuk lebih memantapkan perwujudan demokrasi Pancasila”. Seperti kita ketahui bersama, demokrasi pancasila tidaklah hanya meliputi bidang politik. Ia juga meliputi bidang ekonomi dan social budaya. Topik-Topik yang akan dicakup oleh bidang-bidang politik dalam GBHN (1983) adalah: Stabilitas politik; mekanisme demokrasi Pancasila; kehidupan konstitusional, demokrasi dan tegaknya hukum; mekanisme kepemimpinan nasional; pemasyrakatan P4; pendidikan politik; pemilihan umum; organisasi kekuatan social politik; pancasila sebagai satu-satunya asas; komunikasi social timbale balik antara masyarkat, serta antara masyarakat dengan lembaga perwakilam rakyat maupun dengan pemerintaha: Organisasi kemasyarakatan; serta wadah-wadah penyalur pendapat masyarakat pedesaan.

Peranan Birokrasi Dalam Pembangunan Politik
1. Ikut melaksanakan pendidikan politik
2. Menegakan stabilitas politik yang mantap dan dinamis
3. Menyusun ,perkiraan dan telaahan strategis
4. Menyelengaraan penataran P4
5. Ikut membantu pembinaan organisasi kekuatan social politik dan organisasi kemasyarakatan.
Demikianlah beberapa pengamatan saya mengenai peranan birokrasi dalam keseluruha pembangunan politik kita. Ternyata peranannya cukup besar, khususnya dalam mengoprasionalkan negara kekuargaan kita berpaham intergralistik.


Bagian IX
Relevansi Teoritik Ilmu Administrasi Negara Bagi Pembangunan Nasional
(Moeljarto Tjokrowinoto)


Dikotomi Politik- Administrasi dan Genesis Ilmu Administrasi Negara
Selama tepat satu abad pemikiran dalam ilmu administrasi negara telah didominasi oleh suatu mitos bahwa ilmu administrasi negara adalah invasi Amerika. Kelahiran ilmu administrasi negara di pandang ditandai oleh karya Founding Father ilmu administrasi negara , Woodrow Wilson, yang berjudul “ The Study of public Administration.
Namun ada persamaan isu yang menjadi focus utama ilmu administrasi negara dalam tahapan perkembangan tadi, antara Perancis dan Amerika. Dikotomi politik-administrsi telah menjadi tema sentral pembahasan Wilson, Goodnow, White dan Willoughby yang nota bene adalah berpendidikan ilmu ekonomi. Keinginan untuk mewujudkan ilmu administrasi sebagi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, dan lebih dari itu, tantangan untun menegakan efesiensi administrasi di dalam system demokrasi, telah membawa Wilson, Goodnow, White dan Willoughby menjadikan dikotomi politik administrasi tadi isu sentral.

Dari Dikotomi Politik- Administrasi Menuju Pada Efisiensi
Proses industrualisasi telah membawa permasalahan yang berbeda dari masyarakat agraris. Masyarakat menjadi makin kompleks, Profiferasi organisasi-organisasi raksasa mewarnai trasnsisi social tadi, dan aparat administrasi negara yang makin kimpleks dan canggih lahir menyertai proses industrialisasi tadi. Isu dikotomi politik-administrasi tidak lenyap, tetapi mengejewantah di dalam teori-teori birokrsi. Teori teori birokrasi tadi ingin menjawab tantangan zamannya yang terfokus pada pengkajianndampak pertumbuhan industry-industri raksasa tadi ingin menjawab tantangan jaman yang terfokus pada pengkajian dampak pertumbuhan industry

Aparat yang formal dan rasional mempunyai cirri sebagai berikut:
1. Adanya hirarki status yang masing-masing mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diataru oleh pengaturan formal yang jelas yang mentukan wewenang dan tanggung jawabnya.
2. Kewenangan, yaitu hak untuk memerintah dan mengawasi, bersumber pada status yang secara formal diakui luas, dan bukan bersumber pribadi seseorang
3. Tindakan-tindakan resmi dilaksanakan di dalam kerangka peraturan yang telah ditentukan sebelmunnya
4. Sistem hubungan kerja sama antara bebagai komponen dalam organisasi menyangkut derajat formalitas tertentu dan menciptkan jarak social yang jelas antara berbagai pejabat
5. Formalitas yang dipertahankan melalui ritus-ritus social dimaksudkan untuk meningkatkan calculability dari prilaku birokrasi, sehingga terciptalah serangkaian harapan timbale balik yang stabil.
6. Semua prilaku birokrasi diatur melalui serangkaian peraturan yang disetujui bersana, ehingga menjamin objektivitas dan membatasi konflik dan friksi.

Isu sentral administasi negara telah bergeser dari dikotomi politik-administrasi semata-masta menuju efesiensi. Dan sejumlah besar penulis, mencoba memecahkan masalah efesiensi sebagai tantangan masyarkat pada era ini.



Kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru dan Prestasi Pembangunan
Orde baru lahir dalam konteks social politik dan ekonomis yang kurang menguntungkan:
(1) Instabilitas politik yang timbul sebagai akibat profilisasi partai dengan domain consensus nilai yang minimal
(2) Konstelasi politik yang banyak menyimpang dari UUD 1945
(3) Politik luar negeri yang kontratif melalui penggalangan solidaritas NEFO yang pada akhirnya mengasingkan Indonesia dari negara-negara Industri Barat dan khususnya negara-negara Asia Tenggara
(4) Orientasi politik yang berlebihan menempatkan orientasi ekonomi pada posisi periphery
(5) Kebijaksanaan alokasi sumber yang impulsive dan in konsisten yang sering kali di dorong oleh wawan mercuswar
(6) Infrastruktur ekonomi yang runjam
(7) Akumulasi hutang luar negeri untuk proyek –proyek yang secara ekonomi tidak dipertanggungjawabkan
(8) Inflasi yang tidak terkendali
(9) Cadangan devisa yang amat menipis
(10) Kecendrungan etatisme di dalam berbagai aspek khidupan dan sebagainya

Pelbagai langkah dibidang politik dan ekonomi diambil untuk menjadi landasan bagi pembangunan lebih lanjut. Rahabilitasi dan konsolidasi dibidang ekonomi dan politik memanng harus dilakukan sebagai kerangka landasan pembangunan nasional. Dibidang politik telah diambil langkah-langkah antara lain:
(1) Restrukturasi dan refungsional lembaga-lembaga politik sesuai dengan UUD 1945
(2) Pembubaran PKI dengan pelbagai organisasi satelitnya
(3) Penyederhanaan kepartaian melalui pengelompokan kekuatan-kekuatan politik yang ada’pemilihan umum yang dilakukan secara berkala sesuai perundang-undangan yang berlaku
(4) Mendudukan ABRI di dalam fungsi sebagai dinamisator dan stabilisator kehidupan bernegara
(5) Menenpatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas kepartaian dan keormasan
(6) Mendudukan kembali konsep politik luar negeri yang bebas aktif
(7) Mencegah dijadiknnya birokrasi sebagai pertentangan politik melalui asas mono-loyalitas
(8) Menerapkan kebijaksanaan “ masa mengembang” di dalam kehidupan politik pada tingkat grassroots.

Administrasi negara yang diterapkan, karenanya adalah system Administrasi negara yang dapat mendukung berfungsinya strategi pertumbuhan tadi
(1) Diterapkannya comprehensive-planing yang menkankan blue-print approach
(2) Mekanisme alokasi dan distribusi sunber sentralisasi dengan mempercayakan pada bonanza minyak
(3) Birokratisasi, dalam arti meluasnya kewenangan birokrasi pada sector-sektor lain
(4) HUbungan pemerintah pusat dan daerah hang lebih menekankan pada dekonsentralisasi dan sentralisasi
(5) Profilisasi regulasi yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan]
(6) Orientasi pada target yang kurang fleksibel
(7) Kecendrungan menerapkan struktur dan prosedur yang stereotips dan uniform
(8) Kecendrungan profiferasi structural untuk mengatasi struktur yang disfungsional dan sebagainya.

Bagian X
Hubungan Pusat- Daerah: Kedudukan dan Peranan Kepala Daerah/ Wilayah
(Ismail Husaein)

Lahirnya dan berkembangnya suasana yang serasi antara pusat dan Daerah dalam masa Orde Baru, agaknya tak dapat dilepaskan dari kedudukan yang diberikan dan peranan yang dimainkan oleh kepada daerah / wilayah, baik tingkat propinsi daerah tingkat I, maupun daerah tingkat kabupaten/kota madya Daerah Tingkat II. Dengan perkataan lain, ada kontribusi tertentu telah disumbangkan oleh kepada Daerah dalam upaya menjelmakan suasana serasi.
Implementasi asas desentralisasi dalam pemerintahan, telah melahirkan sejumlah daerah otonom, Tingkat I dan tingkat II, yang dipimpin oleh seorang kepada daerah. Di samping itu, pelaksanaan asas dekonsentrasi melahirkan sejumlah wilayah administrative: Provinsi, kabupaten/kota masya, kota administrative dan kecamatan yang tersusun hirarkis dan dipimpin oleh seorang kepala wilayah
Keseluruhan wewenang, tugas dan kewajibab itu tergolong sebagai’ urusan pemerintahan umum” (aglemene bestuur), baik intisarinya adalah:
1. Mewakili kekuasaan dan menegakan kewibawaan pemerintah pusat
2. Menjamin keamanan dan ketertiban umum
3. Melaksanakan kebijaksanaan politik pemerintahan pusat
4. Menguasai lingkungan daerah hukumnya dari kekayaan alam milik negara
5. Memegang kendali atas penduduk
6. Memelihara dan memajukan kemakmuran dan kesejahteraan daerah.

BUKU PEMBANDING

Identitas Buku:
Judul Buku : Sistem Politik Indonesia
Penulis : Drs. H. Inu Kencana Syafiie, M.Si
Azhari, S.STP., M.Si
Tahun Terbitan : 2005
Penerbit : Retika ADITAMA

Dalam buku ini membahas tujuh bab pokok bahasan, tetapi yang saya bahas dalam buku ini ialah bab II mengenai Sejarah Politik Indonesia khususnya membahas Sejarah politik Orde Baru. Hal ini disesuaikan dengan pembahasan buku pertama.

Bagian I
Sejarah Politik Indonesia


A. Orde Baru

Meningkatnya suhu politik pada menjelang pada akhir 1945 itu, dikaitkan dengan siapa pengganti Soekarno kalau bersangkutan wafat, karena pemilihan umum sejak tahun1955 tidak pernah lagi diadakan dan wakil presiden secara resmi tidak pernah ada lagi sejak Bung Hatta mengundurkan diri (walau pun ada perdana menteri
Dengan adanya peristiwa G-3/S PKI. Secara konstitusional dikeluarkanlah ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menetapkan ,pencaburan kembali kekuasaan pemerintah negara dari tangan Presiden Soekarno, dengan ketetapan MPRS itu juga pemegang ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 diangkat menjadi pejabat presiden yaitu Jenderal Soeharto.
Selanjutnya dalam beberapa kali pemilihan umum Pak Harto dipertahankan menjadi presiden yaitu dengan ketetapan konstitusional penetapan MPRS. Strateginya adalah dengan menunjuk para anggota MPR khususnya untnuk utusan daerah dan utusan golongan, yaitu para gubernur Kepada Daerah Tingkat I para Panglimma Komando Daerah Militer, para rector perguruan tinggi negeri. Para menteri Kabinet, para istri dan anak menteri cabinet untuk di duduk di lembaga konstitutif ini( yang sudah barang tertu dekat dengan beliau sehingga setiap pemilihan umum beliau diangkat menjadi presiden dengan kebulatan tekad.
Walaupun pembangunan ekonomi berjalan cukup pesat tetapi hanya dinikmati oleh segintir orang-orang dekat beliau ( kroni ) namun digembor-gemborkan sebagi usaha tinggal landas setelah dari pembangunan, politik hanya terkebiri, yang sudah barang tentu tidak satu pun kritik dari masyarkat melalui wakilnya dari legeslatif terhadap pemerintah berkuasa.
Keberadaan Golkar yang merupakan perpanjangan tangan ABRI ( khususnya AD waktu itu diperkuat dengan masuknya tanpa pilihan para Pegawai Negeri Sipil, ibu-ibi Dharma Wanita, Pertiwi dan keluarganya ke dalam Golkar yang berlambangkan pohon beringin.
Dengan dalih menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan Pancasila UUD 45 dari kemungkinan perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI ikut berpolitik, yaitu dengan menjadi anggota legeslatif tersebut. Hal ini dianggap bagian dari pengabdian mereka kepada bangsa dan negara uang kemudian disebut sebagai Dwi Fungsi ABRI
Selain daripada itu pemilihan umum pertama tahun 1971 dirancang unntuk mengikutsertakan ABRI melalui jalur Golongan Karya. Dengan demikian kemungkinan untuk menjadi Gubernur Kepada Daerah Tingkat I dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II di seluruh Indonesia lebih memudahkan ABRI karena baik di daerah DPRD mau pun di pusat mendagri akan mempermudahnya
Pada pucak dominasiny, tidak ada suatu kantorpun yang lepas dari control ABRI, inilah kemudian yang dipertanyakan orang ( Baik kaum intelek maupun kaum awam) apakah dalam demokrasi yang menjunjug tinggi kedaulatan rakyat, peranan ABRI seperti ini masih diperlukan. Apakah aspirasi tergali dengan system komando masih diperlukan
Dalam hal ini bahwa ABRI mempunyai kelebihan kedesiplinan dalam berorganisasi dibandingkan para karyawan, politisi dan pegawai negeri sipil. Hanya kemudian pada decade delapan puluhan dan semibilan puluhan ini aroganisme (kesombongan) menghinggapi mereka, bahkan fakta-fakta empiris diapangan membantah kepercayan bahwa ABRI lebih disiplin tersebut di atas.






















BAB III
PENUTUP


Bila melihat buku yang pertama yang banyak menjelaskan sejarah perpolitikan di Indonesia, lebih-lebih kita melihat bagaimana perpolitikan di masa orde baru, yang masa-masa awalnya mengalami kerumitan setelah adanya peristiwa G.30/SPKI yang menelan tujuh orang jenderal. Pelimpahan tampuk kepemimpinan dari rezim orde lama ke orde baru diawali dengan ketetapan MPRS Nomor XXXIII / MPRS / 1967 yang menetapkan pencabutan kembali kekuasaan pemerintah negara dar tangan Presiden Soekarno, dengan ketetapan MPRS itu juga pemegang ketetapan MPRS Nomor IX / MPRS / 1966 diangkat menjadi presiden yaitu jenderal Soeharto.Dalam perkembangannya, soeharto dalam mempertahankan eksistensinya membuat suatu strategi dengan menunjuk anggota MPRdari kalangan yang dekat (kroni) dengan dirinya. Oleh karena tidak aneh setiap pemilihan umum soeharto diangkat menjadi presiden bahkan menjadi kebulatan tekad.
Adapun yang menjadi daya tarik yang bisa diamati di dalam perpolitikan orde bari ini adalah keberadaan partai Golkar, yang menurut Inu Kencana merupakan perpanjangan dari ABRI yang diperkuat dengan masuknya ranpa pilihan PNS, Ibu-ibi dharma Wanita. Militer dalam hal ini ABRI yang dibentuk untuk alat pertahanan negara, oleh pemerintah panglimanya disederajatkan dengan menteri cabinet. Disini ada dwi fungsi ABRI yang memberikan militer ikut dalam urusan politik praktis dengan menjadi kan anggota ABRI sebagai anggota legislative. Selanjutnya yang menjadi tragis lagi bahwa anggota ABRI digiring untuk menjadi anggota GOLKAR. Kedudukan GOLKAR di masa orde baru dibedakan dengan partai politik. GOLKAR seakan alat pemerintah orde baru dalam melaksanakan program-program pemerintah yang seakan mempunyai jalan tersendiri. Pemisahan GOLKAR dari partai politik terlihat dari peraturan tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas dicantumkan dalam Bab II tentang Asas, Tujuan, dan program dari UU No.3 tahun 1985. Pasal 2 dari bab tersebut berbunyi:
1. Partai politik dan Golongan karya berdasarkan Pencasila sebagai satu-satunya asas.
2. Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas kehidupan
Masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Idiologi Pancasila ini harus tertuang dalam anggaran dasar orpol manapun. Hal ini dimaksudkan untuk terciptanya consensus nasional mengenai idiologi yang memang merupakan prasyarat bagi perkembangan suatu bangsa.
Dilihat dari sudut ini, asas tunggal adalah ide pembaharuan pengalaman masa lalu menunjukan bahwa bahwa Indonesia sudah terbiasa dengan berbagai idiologi yang berbeda-beda. Semenjak awal pergerakan nasional, bangsa Indonesia telah terbiasa melihat berkembangdan musnahnya berbagai idiologi. Asas tunggal ingin mengubah itu semua. Kenyataannya ini menunjukan bahwa penentangan terhadap asa tunggal dapat dimengerti.