Minggu, 14 Februari 2016

BUDAYA KORUPSI (KAJIAN HISTORIS)

Oleh
Deden Wahyudin, M.Pd



Mendengar kata “Korupsi” untuk sebagian  masyarakat tidak aneh lagi bila terjadi negara yang tercinta ini. Hal ini bukan tanpa alasan, karena setiap harinya masyarakat disuguhkan oleh  pemberitaan di media elektronik dan cetak tentang korupsi yang tidak ada henti-hentinya. Pemberitaan yang saling berganti-ganti di media masa yang mengangkat headline kasus korupsi di berbagi instansi negara  untuk sebagian orang tidak perlu merasa aneh atau sekedar merasa syok  ketika mendengar kemenculan kasus-kasus tersebut. Korupsi seakan menjadi sebuah keharusan yang harus diakui keberadaanya di negara kita, pendapat ini berangkat ketika sebuah peraktek korupsi yang dijalankan diberbagai bidang atau sektor muncul dan  seakan tidak ada sebuah kontrol sosial untuk menekan kemunculnya. Di lain pihak kita semua sering tidak menyadari praktik ini, bahkan kita pun sering memberi tanggapan yang manganggap hal ini sebuah kelaziman yang dianggap lumrah. Suatu kebiasan, seperti kebiasaan praktik korupsi, sekalipun sekedar sebuah korupsi kecil-kecilan bila dianggap lumrah atau dianggap hal biasa, bila dibiarkan akan memunculkan suatu persepsi atau pandangan yang mengatakan “itu hal biasa”. Bila sudah muncul persepsi atau pandangan seperti itu, itu menunjukan kemorosotan pola pikir dalam menanggapi kasus korupsi itu sendiri.
Tanpa harus menguraikan apa itu pengertian korupsi, penulis menggaris bawahi bahwasannya praktek korupsi itu adalah sebuah praktek dimana seseorang atau kelompok menyalahgunakan wewenang atau bisa kita lebih persempit yaitu penyalagunaan materi (uang) yang sebenarnya uang itu bukan haknya dan digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hal ini tidak bisa kita nafikan, korupsi yang semakin merajalela di negara yang kita cintai ini merupakan sebuah fenomena yang diibaratkan sebagai sebuah snowball (bola salju) yang artinya semakin ke sini semakin menjadi- jadi. Bila kita lihat dalam pemberitaan baik itu pemberitaan media elektronik atau media cetak seperti berita yang sedang hangat-hangatnya sekarang ini yaitu di mana KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang berhasil mengungkap praktek korupsi di Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sebagai tersangka utamanya adalah menterinya sendiri yaitu Jero Wacik. Selain berhasil mengungkap kasus tersebut, sebelumnya KPK juga berhasil mengungkap kasus korupsi yang terjadi di Kementrian Agama yang menjerat Menteri Agamanya sendiri yaitu Suryadharma Ali. Melihat kasus kasus tersebut, kita bisa menyimpulkan sementara bahwa kasus korupsi di Indonesia bukan karena orang yang korup itu orang yang nota bene kekurangan dari segi materi, akan tetapi praktek tersebut merupakan sebuah keserakahan seorang manusia semata. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa korupsi sebagai sebuah hal yang biasa dan bisa dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Sebuah Ilustrasi Budaya Korupsi
Menelik fenomena kasus korupsi yang sering terjadi dewasa ini, di benak kita muncul sebuah pertanyaan, apakah korupsi ini sebuah budaya yang sudah mengakar dalam diri dan mental karakter masyarakat Indonesia atau memang sebuah hal yang spontanitas dilakukan karena ada ruang dan kesempatan?. Bila kita tarik kebelakang melihat rangkaian sejarah masyarakat Indonesia, mulai dari masuknya pengaruh Kolonialisme dan Imperialisme Barat di Nusantara sampai masa sekarang ini jelas ada kaitan dan ada sebuah benang merah yang berkorelasi dengan kebiasaan-kebiasan yang dilakukan sebagian masyarakat di zaman sekarang ini. Seperti halnya sisa-sisa mental dan karakter yang ditanamkan  masa penjajahan bangsa Eropa, khususnya Bangsa Belanda yang kurang lebih melakukan kolonialisme dan imperialisme selama 3,5 abad, jelas masih bisa kita rasakan pengaruhnya sampai sekarang ini, contohnya seperti budaya feodalisme yang masih terasa kental di kehidupan sosial masyarakat Indonesia sekarang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa masalah korupsi dewasa ini memiliki ketekaitan dengan rangkaian sejarah bangsa Indonesia yang ketika itu memang masih di bawah belenggu Kolonialisme dan Imperialisme Bangsa Eropa khususnya masa penguasaan Kerajaan Belanda. Kolonialisme Belanda di Nusantara diawali dengan mendirikan sebauah Kongsi Dagang yaitu VOC (Verrenigde Oost Indishe Compagnie). Kaitan dengan itu, sebenarnya praktek korupsi sudah lama dilakukan di Indonesia semenjak zaman dulu ketika bangsa Indonesia di bawah penguasaan kongsi dagang VOC. Dengan begitu, jelas terlihat bahwa praktek korupsi yang terjadi dewasa ini merupakan sebuah proses pembudayaan (proses enkulturisasi) yang masif yang dicontohkan oleh para pegawai VOC yang ketika itu melakukan praktik monopoli rempah-rempah di Nusantara. Tugas awal dari VOC itu sendiri adalah melakukan perlindungan terhadap pedagang-pedagang Belanda yang melakukan praktik monopoli rempah-remah dan yang lebih luas tugasnya adalah melakukan perlindungan terhadap para pesaing-pesaing dari bangsa lain yang mempunyai misi yang sama yaitu mendapatkan rempah-rempah seperti bangsa Spanyol dan Portugis. VOC dalam praktiknya sangat berpengaruh ketika itu, karena VOC mempunyai hak istimewa yaitu (Hal Octroi) yang diberikan oleh Kerajaan Belanda, yang akhirnya VOC bergerak lebih jauh di luar batas kewenangannya. Dengan kondisi seperti itu, VOC bak sebuah negara di dalam negara.  Selanjutnya berbagai godaan yang muncul yang menghampiri pegawai-pegawai VOC untuk melakukan korupsi semakin kuat. Hal ini karena memang VOC merupakan kongsi dagang yang banyak menghasilkan keuntungan dan selalu mendapatkan uang kas yang banyak dari hasil monopoli perdagangan rempah-rempah, tetapi di sisi lain gaji para pegawai-VOC  yang ketika itu relatif sangat minim sehingga menimbulkan adanya motivasi untuk melakukan korupsi.
Berbanding terbalik dengan pandangan di atas, sejarawan Belanda. J.S Furnivall dalam bukunya Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda atau Hindia Belanda terbebas dari praktik korupsi. Pernyataan tersebut sebenarnya bisa dimaklumi karena terpengaruhi subjektifitas dalam diri penulis itu sendiri. Dia seorang kebangsaan Belanda yang berusaha menulis tentang Hindia Belanda, pastinya menggunakan perspektif Nedherlanse Centris¸ artinya sudut pandang penulis bahwa Belanda berada dipihak yang benar. Terlepas dari pandangan J.S Furnivall di atas,  jelas ada keyakinan bahwa praktik korupsi yang dilakukan oleh para pegawai VOC memang benar adanya. Sebuah keserakahan para pegawai VOC yang terjadi ketika itu dengan melakukan korupsi secara besar-besaran mengakibatkan kongsi dagang tersebut mengalami kebangkrut. Secara diakronik jelas terlihat bahwa praktik korupsi yang terjadi dewasa ini, berakar dari sebuah praktik korupsi di zaman dulu yang dilakukan para pegawai VOC , Perlu diketahui juga bahwa tidak semua pegawai VOC ketika itu orang Belanda semua, akan tetapi banyak juga orang pribumi (inlander) yang diangkat sebagai pegawai VOC. Sebuah enkulturisasi yang bersifat negatif ini, ternyata masih direkam oleh masyarakat Indonesia sampai sekarang ini, yang akhirnya praktik korupsi itu sendiri yang dianggap sebuah kebiasaan yang lumrah yang melakat dalam diri masyarakat, menyebabkan susah untuk dihentikan. Mental dan karakter masyarakat kita yang terlanjur biasa dengan praktik-praktik tersebut menyebabkan sebuah ganjalan besar untuk merekontruksi ulang mental karakter manusia untuk lebih bersih terlepas dari bayang-bayang keserakahan yang sudah masif itu. Dengan begitu, hal ini bisa dikatakan bukan sebuah perilaku yang muncul dengan sendirinya pada masa dewasa ini, akan tetapi sudah terjadi sejak lama sebagai prototype-nya adalah praktik korupsi yang dicontohkan oleh pegawai VOC. Prototypeini menjadi akar yang kuat yang sangat sulit sekali untuk diangkat dan dibersihkan sampai ke ujung-ujungnya.
Berangkat dari pernyataan di atas, bahwa pekerjaan rumah bagi kita dalam rangka menghilangkan budaya korupsi di negara ini adalah dengan cara mengubah pola karakter, mentalitas, budaya bangsa. Namun, secara teoritis hal ini mudah untuk diucapkan, akan tetapi untuk tataran implementasinya, jelas butuh waktu yang panjang untuk mengubahnya. Menyadari hal ini, pemerintah merespon cepat menanggapi budaya korupsi yang terlanjur melekat dan menjadi sebuah budaya yang dianggap laten. Tanggapan pemerintah ini terlihat ketika pemerintah menggadang-gadang  sebuah pola pendidikan karakter, yang artinya pola pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang harus menekankan pola pembentukan karakter-karakter yang baik. Pencanangan pendidikan karakter ini merupakan sebuah revolusi besar dalam dunia pendidikan itu sendiri. Kurikulum yang menekankan pada penggalian  ranah kognitif  (pengetahuan) semata ternyata tidak lagi relevan untuk masa sekarang karena kehidupan sekarang tidak hanya memerlukan bekal sebuah pengetahuan saja yang tercermin dalam pola intelektual manusia, akan tetapi lebih penting lagi manusia itu mempunyai rasa religious atau tataran rasa (hati) yang peka terhadap kondisi sekeliling. Tanggapan ini dipertajam lagi oleh pemerintah khususnya di dalam dunia pendidikan dengan digulirkannya konsep kurikulum yang tersusun di dalam kurikulum 2013 untuk dipersekolahan. Berdasarkan konsep pola pendidikan di dalam Kurikulum 2013, jelas bahwa setiap siswa atau peserta didik harus mempunyai kompetensi kelulusan yang menjadi standar yang sudah ditetapkan pemerintah. Tuntutan pemerintah yang penulis anggap tidak terlalu muluk-muluk ini  bisa dilakukan oleh peserta didik dengan tidak terlalu merasa dibebani. Adapun kompetensi kelulusan yang tersurat di dalam kurikulum 2013 disebut kompetensi inti. Kompetensi inti pertama yang ditentukan pemerintah tersebut adalah kompetensi religious atau tataran rasa (hati), kompetensi inti kedua adalah kompetensi sosial, kompetensi ketiga adalah pengetahuan (Kognitif), dan terakhir kompetensi inti keterampilan (Psikomotor). Jelas dengan melihat posisi kompetensi yang ditetapkan pemerintah yang menempatkan aspek religious sebagai kompetensi inti yang diposisikan dipoisisi pertama merupakan sebuah harapan, bahwa kompetensi inti ini bisa membantu membangun mentalitas dan karakter peserta didik yang diharapkan bisa memutus mata rantai khususnya budaya korup pada generasi berikutnya. Itulah salah satu upaya pemerintah yang untuk menghilang budaya korup yang dianggap sebagai budaya yang masif . Dengan mengambil pembelajaran dari cerita keruntuhan VOC, sebetulnya kita bisa bercermin dari pengalaman korupsi di masa lalu yang  dilakukan oleh para pegawai VOC yang ketika itu mereka berlomba-lomba melakukan praktik korupsi yang akhirnya hal itu menjadi penyebab sebuah kehancuran terhadap lembaga VOC itu sendiri. Bila praktik- praktik korupsi di negara kita dibiarkan juga seperti itu, jelas akan ada istilah "sejarah berulang" walaupun dalam konteks yang berbeda, artinya tidak menutup kemungkinan juga negara kita bisa hancur akibat keserakahan -keserakah yang dilakukan oleh para koruptor. Dengan begitu, selalu belajarlah dari pengalaman-pengamalan masa lalu artinya dengan bercermin ke kehidupan di masa lalu itu, kita akan senantiasa bersikap lebih bijaksana  dan arif dalam melangkah di masa sekarang terlebih di masa yang akan datang . Sesuai dengan filosofi yang di pegang oleh orang Yunani  “Historia Vitae Magistra”, Pengalaman merupakan guru yang terbaik bagi manusia. Sejalan dengan filosofi diatas, Soekarno juga pernah mengungkapkan suatu konsepsi yang di sebut " JASMERAH" Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Alangkah bijaknya hidup kita bila selalu berpedoman pada pengalaman-pengalaman di masa lalu, guna dijadikan pijakan hidup kita di masa sekarang terlebih di masa yang akan datang.