Oleh
Deden Wahyudin, M.Pd
Tanpa harus menguraikan apa itu pengertian korupsi, penulis menggaris bawahi bahwasannya
praktek korupsi itu adalah sebuah praktek dimana seseorang atau kelompok
menyalahgunakan wewenang atau bisa kita lebih persempit yaitu penyalagunaan materi
(uang) yang sebenarnya uang itu bukan haknya dan digunakan untuk kepentingan
pribadi dan golongan. Hal ini tidak bisa kita nafikan, korupsi yang semakin
merajalela di negara yang kita cintai ini merupakan sebuah fenomena yang
diibaratkan sebagai sebuah snowball (bola
salju)
yang artinya semakin ke sini semakin menjadi- jadi. Bila kita lihat
dalam
pemberitaan baik itu pemberitaan media
elektronik atau media cetak seperti berita yang sedang hangat-hangatnya
sekarang ini yaitu di mana KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang
berhasil mengungkap praktek korupsi di Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang sebagai tersangka utamanya
adalah menterinya sendiri yaitu Jero Wacik. Selain berhasil mengungkap
kasus tersebut, sebelumnya KPK juga berhasil mengungkap kasus korupsi
yang
terjadi di Kementrian Agama yang menjerat Menteri Agamanya sendiri yaitu
Suryadharma Ali. Melihat kasus kasus tersebut, kita bisa
menyimpulkan sementara bahwa kasus korupsi di Indonesia bukan karena
orang yang
korup itu orang yang nota bene kekurangan dari segi materi, akan tetapi praktek tersebut merupakan sebuah
keserakahan seorang manusia semata. Hal ini terjadi karena ada anggapan bahwa korupsi
sebagai sebuah hal yang biasa dan bisa dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang mempunyai kesempatan untuk melakukannya.
Sebuah Ilustrasi Budaya Korupsi |
Berbanding
terbalik dengan pandangan di atas, sejarawan Belanda. J.S Furnivall
dalam bukunya Hindia Belanda menyatakan bahwa Belanda atau Hindia Belanda
terbebas dari praktik korupsi. Pernyataan tersebut sebenarnya bisa dimaklumi
karena terpengaruhi subjektifitas dalam diri penulis itu sendiri. Dia seorang kebangsaan Belanda yang
berusaha menulis tentang Hindia Belanda, pastinya menggunakan perspektif Nedherlanse Centris¸
artinya sudut
pandang penulis bahwa Belanda berada dipihak yang benar. Terlepas dari
pandangan J.S Furnivall di atas, jelas ada keyakinan bahwa praktik
korupsi yang dilakukan oleh
para pegawai VOC memang benar adanya. Sebuah keserakahan para pegawai
VOC yang
terjadi ketika itu dengan melakukan korupsi secara besar-besaran
mengakibatkan
kongsi dagang tersebut mengalami kebangkrut. Secara diakronik
jelas terlihat bahwa praktik
korupsi yang terjadi dewasa ini, berakar dari sebuah praktik korupsi di
zaman
dulu yang dilakukan para pegawai VOC , Perlu diketahui juga bahwa tidak
semua pegawai VOC ketika itu orang Belanda semua, akan tetapi banyak
juga orang pribumi (inlander) yang diangkat
sebagai pegawai VOC. Sebuah enkulturisasi
yang bersifat negatif ini, ternyata masih direkam oleh masyarakat
Indonesia sampai sekarang ini,
yang akhirnya praktik korupsi itu sendiri yang dianggap sebuah kebiasaan
yang lumrah yang melakat dalam diri masyarakat, menyebabkan susah untuk
dihentikan. Mental dan karakter masyarakat kita yang terlanjur
biasa dengan praktik-praktik tersebut menyebabkan sebuah ganjalan besar
untuk merekontruksi ulang mental karakter manusia untuk lebih bersih
terlepas dari bayang-bayang
keserakahan yang sudah masif itu. Dengan begitu, hal ini bisa dikatakan bukan sebuah perilaku yang muncul
dengan sendirinya pada masa dewasa ini, akan tetapi sudah terjadi sejak lama
sebagai prototype-nya adalah praktik
korupsi yang dicontohkan oleh pegawai VOC. Prototypeini menjadi akar yang kuat yang sangat sulit sekali untuk diangkat dan
dibersihkan sampai ke ujung-ujungnya.
Berangkat
dari pernyataan di atas, bahwa pekerjaan rumah bagi kita dalam rangka menghilangkan
budaya korupsi di negara ini adalah dengan cara mengubah pola karakter, mentalitas,
budaya bangsa. Namun, secara teoritis hal ini mudah untuk diucapkan, akan tetapi untuk
tataran implementasinya, jelas butuh waktu yang panjang untuk mengubahnya. Menyadari hal ini, pemerintah
merespon cepat menanggapi budaya korupsi yang terlanjur melekat dan menjadi sebuah budaya yang dianggap laten. Tanggapan
pemerintah ini terlihat ketika pemerintah menggadang-gadang sebuah pola pendidikan karakter, yang artinya pola
pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang harus menekankan pola pembentukan
karakter-karakter yang baik. Pencanangan pendidikan karakter ini merupakan
sebuah revolusi besar dalam dunia pendidikan itu sendiri. Kurikulum yang menekankan pada
penggalian ranah kognitif (pengetahuan) semata ternyata tidak lagi
relevan untuk masa sekarang karena kehidupan sekarang tidak hanya memerlukan
bekal sebuah pengetahuan saja yang tercermin dalam pola intelektual manusia, akan
tetapi lebih penting lagi manusia itu mempunyai rasa religious
atau tataran rasa (hati) yang peka terhadap kondisi
sekeliling. Tanggapan ini dipertajam lagi oleh pemerintah khususnya di
dalam
dunia pendidikan dengan digulirkannya konsep kurikulum yang tersusun di
dalam
kurikulum 2013 untuk dipersekolahan. Berdasarkan konsep pola pendidikan
di dalam Kurikulum 2013, jelas
bahwa setiap siswa atau peserta didik harus mempunyai kompetensi
kelulusan yang menjadi standar yang sudah ditetapkan pemerintah.
Tuntutan pemerintah yang penulis
anggap tidak terlalu muluk-muluk ini
bisa dilakukan oleh peserta didik dengan tidak terlalu merasa
dibebani. Adapun kompetensi kelulusan yang tersurat di dalam kurikulum
2013 disebut kompetensi inti. Kompetensi inti pertama yang ditentukan
pemerintah tersebut adalah kompetensi religious atau tataran rasa (hati),
kompetensi inti kedua adalah kompetensi sosial, kompetensi ketiga adalah
pengetahuan (Kognitif), dan terakhir
kompetensi inti keterampilan (Psikomotor).
Jelas dengan melihat posisi kompetensi yang ditetapkan pemerintah yang menempatkan
aspek religious
sebagai kompetensi
inti yang diposisikan dipoisisi pertama merupakan sebuah harapan, bahwa
kompetensi inti ini bisa
membantu membangun mentalitas dan karakter peserta didik yang diharapkan
bisa memutus mata rantai khususnya budaya
korup pada generasi berikutnya. Itulah salah satu upaya pemerintah yang
untuk menghilang budaya korup yang dianggap sebagai budaya yang masif . Dengan mengambil pembelajaran dari cerita keruntuhan VOC, sebetulnya kita bisa bercermin
dari pengalaman korupsi di masa lalu yang
dilakukan oleh para pegawai VOC yang ketika itu mereka
berlomba-lomba melakukan praktik
korupsi yang akhirnya hal itu menjadi penyebab sebuah kehancuran
terhadap lembaga VOC itu
sendiri. Bila praktik- praktik korupsi di negara kita dibiarkan juga
seperti itu, jelas akan ada istilah "sejarah berulang" walaupun dalam
konteks yang berbeda, artinya tidak menutup kemungkinan juga negara kita
bisa hancur akibat keserakahan -keserakah yang dilakukan oleh para
koruptor. Dengan begitu, selalu belajarlah dari pengalaman-pengamalan
masa
lalu artinya dengan bercermin ke kehidupan di masa lalu itu, kita akan
senantiasa bersikap lebih bijaksana dan arif dalam melangkah di masa
sekarang terlebih di masa yang akan datang . Sesuai dengan filosofi
yang di pegang oleh orang Yunani “Historia Vitae Magistra”,
Pengalaman
merupakan guru yang terbaik bagi manusia. Sejalan dengan filosofi
diatas, Soekarno juga pernah mengungkapkan suatu konsepsi yang di sebut "
JASMERAH" Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Alangkah bijaknya hidup
kita bila selalu
berpedoman pada pengalaman-pengalaman di masa lalu, guna dijadikan
pijakan hidup
kita di masa sekarang terlebih di masa yang akan datang.