Bupati bupati di pulau Jawa mengalami pasang surut dalam kedudukan dan peranannya,kedudukan bupati pada jaman VOC sangatlah berpengaruh sebagai penguasa tradisional, berbeda pada masa kekuasaan Hindia Belanda kedudukan bupati mengalami kemorosotan karena adanya pembatasan-pembatasan. Pada waktu diberlakukannya Preangerstelsel yang memangfaatkan ikatan tradisional – feodal antara bupati dan rakyatnya untuk kepentingan perdagangan VOC.disini kita bisa melihat bagaimana elit birokrasi pribumi itu dijadikan suatu alat oleh VOC untuk mengkordinir dan mobilisasi rakyat dalam rangka menjalankan politik monopolinya.tidak terlepas juga Bandung sebagai basis dari VOC sebagai wilayah dimana diberlakukannya preangerstelsel. Suasana yang berbeda jauh ketika dihapuskanya preangerstelsel pada tanggal 1 januari 1871 wilayah Priangan dibagi menjadi sembilan afdeling yang masing masing di perintah oleh seorang Asisten- Residen. Setelah dibentuknya sembilan afdeling tadi maka, kekuasaan para bupati di Priangan mulai merosot.bupati dipojokan ke dalam status figure seremonial belaka dalam situasi yang demikian. Raden Adipati Arya Martanegara diangkat sebagai bupati bandung pada tahun 1893 pada waktu terjadi percobaan pembunuhan atas dirinya sehari menjelang pelantikannya. Ternyata ia selamat dalam peristiwa itu.satu pertanyaan besar buat kita semua, apakah yang menjadi motipasi pencobaan pembunuhan terhadap RAA Martanegara?.kita akan menemukan jawaban mengenai hal itu setelah kita membahas proses atau prosedur dari pengangkatannya itu
Dinasti kekuasaan elit birokrasi
Birokrasi yang merupakan alat penguasa pusat untuk menjalankan aturan-aturan dan pemerintahan di daerah sudah dijalankan dikabupaten bandung sejak awal berdirinya para pejabat elit birokrasi pribumi yang diangkat itu melalui beberapa tahap seleksi dan kereteria yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Para pejabat elit birokrasi yang sering kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari yaitu yang disebut priyai status bupati sebagai pemimpin membawa Fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi nilai-nilai sosial-kultural masyarakatnya. Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan di atas ketika diberlakukannya sistem preangerstelsel para bupati mempunyai otoritas penuh dan memerintah daerahnya secara otokratis dengan dibantu oleh pengikut-pengikutnya yang mempunyai otoritas yang tinggi terhadap bupati. Pada jaman Daendels dan rafles menurunkan posisi para bupati menjadi pegawai negeri yang di gaji dan mendapatkan berbagai pasilitas dalam hal ini terlihat pergeseran bupati sebagai elit pribumi menjadi hanya sekedar perantara politik pemerintah colonial dengan penduduk pribumi
Dinasti Elit Birokrasi Keluarga RAA Martanegara
Pada tanggal 7 april 1893, Bupati Bandung ke sembilan, Raden Adipati Kusumadilaga meninggal dunia. Dia hanya meninggalkan seorang anak laki-laki yang baru berusia 5 tahun,yang bernama Raden Muharam. Adapun sebagai penggati bupati yang meninggal maka di angkatlah R.A.A Martanegara yang sebelumnya menjabat sebagai Patih Afdeling Sukapura Kolot. Dipilihnya mertanegara sebagai pengganti bupati yang meninggal karena Raden Muharam sebagai pewaris tahta masih berusia 5 tahun. Ternyata pengangkatan RAA Martanegara itu menimbulkan konflik dengan sekelompok bangsawan Bandung yang tidak setuju dipilihnya Martanegara sebaga bupati. Alhasil para bangsawan bandung berusaha melakukan percobaan pembunuhan atas dirinya
Apabila dilihat dari keturunannya, R.A.A Martanegara merupakan keturunan dari Pangeran Kornel Bupati Sumedang ke XII. R.A.A Martanegara lahir pada tanggal 9 Februari 1845 ia lahir sebagai putra bungsu dari lima bersaudara,tetapi semua saudaranya yang seibu-seayah meninggal dunia dalam usia enam atau tujuh bulan ayahnya adalah Raden Kusumayuda yang tak lain adalah cucu pangeran kornel. Ibunya bernama Nyai Raden Tejamirah, Putri Daleng Tumenggung Suryadilaga, pejabat bupati Sumedang yang dikenal dengan sebutan Daleng Sindangraja. Buyut Nyai Raden Tejamirah adalah paman Pangeran Kornel. Jadi, ayah buyut raden kusuma yuda adalah ayah buyut Nyai Raden Tejamirah. Bila kita amati hubungan perkawinan di antara elit birokrasi pribumi cenderung melakukan perkawinan dikalangan keluarga atau kerabat sendiri. Demikian juga halnya yang terjadi pada diri orang tua R.A.A Martanegara. Kedua-duanya adalah cucu bupati terdahulu, jadi statusnya sederajat.
Dalam otobiografi yang ditulis oleh R.A.A Martanegara disebutkan bahwa ayahnya hanya sempat wedana. Banyak ramalan mengenai R.A.A Martanegara sebelum ia lahir mengatakan bahwa dia akan mendapatkan jabatan lebih tinggi dari ayahnya , dan itu benar-benar terbukti bahwa R.A.A Martanegara bisa menjadi seorang bupati sewaktu kecil ia di asuh oleh pamannya, Arya Suryanegara yang waktu itu menjadi Patih Sumedang. Ketika diasuh oleh pamannya ia tumbuh besar dengan sehat. RAA Martanegara amat disenangi oleh kakak tiri ayahnya, yaitu Pangeran Sugih yang waktu itu menjadi bupati sumedang. Bahkan pangeran sugi menganggap keponakannya itu sebagai anaknya sendiri dan mempertunangkanya dengan Armunah, putrinya sendiri saat pertunangan ia berusia lima tahun sedangkan Armunah tiga tahun
Ketika R.A.A Martanegara berusia tujuh tahun, ayahnya yang waktu itu menjabat wedana distrik Cibeureum, Sumedang, diasingkan di Probolinggo karena berselisih paham dengan kakak tirinya, yaitu pangeran sugih bupati Sumedang. Tentunya pengasingan ayahnya ini berpengaruh terhadap sikap R.A.A Martanegara kelak. Waktu kecil R.A.A Martanegara banyak menimba ilmu dirumah Raden Saleh, dikampung Gunungsari baik raden Saleh maupun istrinya membuka usaha di bidang pembuatan kain batik, minyak wangi dan beragam perhiasa perak. Bakat seni RAA Martanegara yang tetanam itu dibuktikan dengan keterampilan merancang dan menjahit pakaian yang diajarkan istri Raden Saleh yang tak lain adalah wanita Eropa. Oleh karena sering berkomunikasi dengan raden Saleh yang tak lain adalah orang Belanda, maka kelak ia disebut sebagai pribumi yang mengenal bahasa Belanda dengan baik.
Atas saran raden Saleh, RAA Martanegara melanjutka pendidikan ke semarang di sekolah Ambachtschool. Setelah dua tahun di semarang, priyai Sumedang tersebut kembali ke batavia yang selanjutnya ia kembali lagi ke Sumedang.
Kal;au kita lihat bagaimana sislsilah keturunan Bupati Bandung dapat ditemukan contoh- contoh kongrit mengenanai hal ini. Misalnya, Raden Ayu Rajapamerat, putri Bandung Wiranatakusumah III (1829-1846) menikah dengan Pangeran Suriakusuma Adinata. Putra Bupati Sumedang, Dalem Kusumayuda (1828-1836) yang kelak menggantikan ayahandanya sebagai bupati. Kemudian, salah seorang putrid Raden Ayu Rajapamerat, yaitu Raden Ayu Sangkaningrat menikah dengan R.A.A Martanegara, keturunan bupati Sumedang yang kelak menjadi bupati Bandung. Putrinya yang lain lagi, Raden Ayu Raja Permas, menikah dengan Demang Haji Adiwijaya, Patih Garut, Kmudian Raden Ayu Rajaningrat menikah dengan Patih Tasikmalaya.
Membangun Ekonomi keluarga
a. Perkawinan
telah kita ketahiu bahwa R.A.A Martanegara ditunangkan ketika masih berumur lima tahun dengan putra Pangeran Sugih yang bernama Armunah.ketika menjadi camat Cikadu, R.A.A Martanegara menikah dengan tunangannya dan setahun kemudian istrinya melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Aom Pahrussuhada anak ini hanya sempat hidup selama dua tahun. Tiga tahun kemudian ibunya menyusul ke alam baka karena sakit kolera, saat istrinya meninggal R.A.A Martanegara sedang menjadi wedana di Tegalkalong.
Karena merasa kesepian RAA Martanegara menikah lagi dengan putri Pangeran Sugih yang ke tujuh, yaitu raden Ajeng Sangkanningrat. Ibu dari istri yang keduanya itu adalah putri Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranata Kusuma III pernikahan yang keduanya itu berlangsung meriah dan banyak dihadiri oleh pejabat Eropa.ketika dia menjabat sebagai Camat Distrik Cikadu, Sumedang,ia mendapat gaji sekaligus mendapat persenan kopi sebesar tiga setengah duit perpikul, dan mendapat bagian cukai padi sebesar lima belas persen dari pajak padi yang masuk, ditambah lagi bagian dari pajak pemotongan ternak pada tanggal 26 juni 1869 Martanegara diangkat menjadi wedana Distrik Sumedang dengan memperoleh persenan kopi enam belas duit perpikul dan tiga puluh persen dari cukai padi yang desetorkan selain mendapat bagian dari pajak pemotongan ternak. Ketika Preangerstelsel dihapuskan, para pegawai negeri hanya memperoleh gaji tetap dan tidak lagi mendapat cukai padi,karena pada waktu itu rakyat tidak diwajibkan lagi membayar pajak padi dari keteranga di atas dapat kita simpulkan bahwa bupati sebagai elit birokrasi pribumi banyak mendapat penghasilan dari beberapa sektor, jadi dalam membangun ekonomi keluarganya bupati tidak mempunyai kesulitan untuk meningkatkan tarap ekonomi keluarganya. Saya rasa kehidupan keluarga bupati sangatlah berkecukupan dan jauh dari kekurangan. Namun setelah dihapuskanya preangerstelsel penghasilan bupati berkurang seiring dihapuskannya pajak padi. Dengan berkurangnya penghasilan itu bupati RAA Martanegara masih bisa menghidupi dan menyekolahkan ketujuh orang anaknya karena RAA Martanegara sangatlah memperhatikan pendidikan putra-putranya baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Dalam menegakan disiplin ia sering kali bersikap keras, bahkan ia dikenal sebagai orang yang ringan tangan. Beberapa anaknya disekolahkan di Bandung, misalnya, Aom Alybasyah, ia tercatat sebagai murid De Openbare Lagre School, sedangkan Raden Ace menjadi murid sebuah sekolah suasta yang sama. Sementara itu, putranya yang lain Raden Ogog sudah menjadi juru tulis di Distrik Cidamar.
Hubungan dengan Elite Kolonial
Sebagai elite birokrasi Pribumi, Hubungan R.A.A Martananegara dengan elite birokrasi colonial terikat hubungan kedinasan yang formal. Ketika R.A.A Martanegara baru diangkat menjadi bupati, hal yang pertama yang dilakukannya ialah mengunjungi semua orang Belanda yang ada dikota Bandung. Mereka terdiri atas para pejabat birokrasi dan elite non-birokrasi. Martananegara sangat mudah bergaul sehingga membina hubungan akrab dengan beberapa diantara orang Belanda. Kalau kita lihat seberapa jauh kedekatan ia dengan Elite Kolonial dapat terlihat ketika R.A.A Martanegara sedang menjalani pendidikan formal, ia menitipkan putra-putranya di rumah Belanda. Adapun hal itu dilakukannya tidak serta merta tidak ada tujuan. Ia mengharapkan anaknya bisa terbiasa berinteraksi dengan elite kolonial agar bisa menguasai keterampilan sosial kedinasan yang diperlukan bagi kemajuan, misalnya pengetahuan tentang pergaulan Eropa dan bahasa Belanda. Pendidikan Barat yang diberikan kepada anak-anaknya merupakan salah satu konsekuensi logis dari adanya hubungan yang akrab antara R.A.A Martanegara dan elite colonial. Sekaligus bukti bahwa ia adalah bupati yang berpandangan maju. Juga, dapat dikatakan bahwa pendnidikan Barat yang diberikan kepada anak-anaknya merupakan cara R.A.A Martanegara untuk mengantisipasi perubahan sosial yang sedang terjadi, khususnya yang menyangkut dunia kepangrehprajaan
Pada tahun 1911 merupakan langkah besar dalam rangka rasionalisasi pemerintahan yang dikeluarkannya peraturan pengakatan bupati yang menyatakan bahwa asas pewarisan jabatan bukan lagi menjadi dasar utama pengangkatan seorang bupati. Dengan demikian, jelaslah bahwa R.A.A Martanegara berusaha menyesuaikan pendidikan putra-putranya agar dapat mengikuti perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.. Ternyata kemudian, beberapa putranya berhasil mencapai pangkat tertinggi dalam pangreh Praja. Hubungan yang dijalin oleh R.A.A Martanegara itu merupakan langkah antisipasi perubahan-perubahan sosial yang akan terjadi kedepan kelak.
Hubungan Sosialnnya khususnya dengan Elite Agama
Dalam bukunya Nina. H. Lubis bahwasannya elite agama dapat di bagi dua kategori pada waktu itu. Pertama. Elite agama yang tergabung ke dalam birokrasi colonial dalam jajaran pribumi. Kedua, elite agama yang tidak termasuk dalam birokrasi yang biasanya mempunyai kewibawaan sosial yang sangat tinggi dikalangan rakyat. Banyak pejabat pribumi bersikap acuh tak acuh terhadap agama islam. Mereka menjauhkan diri dari elite agama dilingkungan mereka sendiri, tetapi R.A.A Martanegara tidak termasuk kelompok pejabat pribumi seperti itu. Selama memerintah, hubungan dengan elite agama cukup etat, baik dengan yang berada dalam birokrasi colonial maupun dengan yang non- birokrasi. Ini berkaitan dengan gaya hidup R.A.A Martanegara yang sering menunjukan sikap agamis. Hubungan dengan elite agama non-birakrasi dipeliharanya dengan sangat baik. Ini ditunjukan oleh kunjungan-kunjungan ke berbagai pesantren yang ada di Kabupaten Bandung, misalnya ke Pesantren Cigondewah (Ajengan Marjuki), Pesantren Sadang, dan Pesantren Sindanglaya. Sikap yang saleh dibuktkannya dengan memberikan wakaf sawah seluas tiga setengah bau.. Hubungan dengan elite agama yang ada dalam birokrasi yang dipimpinnya dibina dengan sangat baik pula, ini terbukti setiap hari jumat ia sering mengadakan musyawarah dengan mereka.
Hubungan dengan Bawahannya
Ketika ada percobaan pembunuhan atas diri R.A.A Martanegara dan itu merupakan bahan pembicaraan umum yang hangat di Bandung pada waktu itu. R.A.A Martanegara yang seorang pendatang, tentu saja hal itu menimbulkan ketidaktentraman bagi R.A.A Martanegara. Ada beberapa cara yang dilakukannya unntuk mengatasi hal itu. Pertama, ia menempatkan pasukan Sumedang di Soreang. Pangeran Sumedang sendiri bahkan setiap minggu datang ke Kabupaten Bandung untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Kedua, membuka dan memperbaiki hubungan dengan elite birokrasi asli Bandung dengan cara-cara yang kompromistis, meskipun memakan waktu yang tidak sebentar. Cara kedua ini dimulai dengan membuka “ Parukunan”, semacam Soceit pribumi yang berlokasi di bagian depan bangunan Kabupaten Bandung. Tempat ini kemudian disebut “Bale Kebudayaan Priangan”. Para bangsawan Bandung sering diundang ke tempat ini untuk menikmati hiburan, misalnya menonton pertunjukan seni tari, sandiwara, dan ikut ngibing dengan diiringi gamelan. Dengan cara demikian R.A.A Martanegara dapat membinia hubungan baik dengan bawahannya yang asli Bandung
Blog ini memberikan gambaran -gambaran mengenai culture studies dan sosial Studies. Mudahan -Mudahan Blogs ini bisa memberikan pemahaman yang lebih mengenai masalah-masalah humaniora
Sabtu, 04 Desember 2010
Versi-versi pendapat tentang pengangkatan setelah Nabi Muhamad wafat menurut golongan Syi’ah dan Sunni.
Disini saya akan mengungkapkan bagaimana pendapat Syi’ah tentang bagaimana cara pengangkatan kepimpimpinan islam setelah Nabi Muhamad wafat dan siapa penggantinya ?
Dalam peristiwa Saqifah yang menghasilkan pembai’atnya para sahabat kepada Abu Bakar ra, dan disini tidak ada peluang sedikitpun untuk orang mengingkari Ijma sahabat itu tadi tentang pengangkatan khalifah. Dalam konteks ini Syi’ah mengingkari dan menyimpang darinya. Mereka mengingkari sahnya penyerahan kekhalifahan melalui jalan bai’at. Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa yang menjadi landasan pengangkatan adalah Nash (ketetapan). Mereka beranggapan bahwa kekhalifahan untuk Ali ditetapkan oleh Nabi Muhamad SAW. Mereka membangun pendapatnya dalam mewajibkan adanya nash. Dengan demikian menurut Sy’iah tidak sah penyerahan kekhalifahan dengan Bai’at, sebab masalah itu merupakan kewajiban Allah SWT, bukan kewajiban hamba.
Gagasan yang lebih mencerminkan Syi’ahisme adalah bahwa gagasan imam atau pemimpin yang kharismatik. Syi’ah menganggap bahwa hanya ada satu imam pada waktu itu dan bahwa pada dia menunjuk penggantinya (seperti Muhamad dikatakan menunjuk Ali sebagai penggantinya). Akhirnya golongan Imamiyah (setelah 874) mengakui serangakaian dua belas imam dimulai dari Ali→Al-Hasan→ Al-Husen → diturunkan dari ayahnya kepada anaknya. Namun imam-imam yang lain diakui oleh berbagai kelompok selama priode Umayyah. Beberapa kelompok mengatakan bahwa Al-Husen→Muhamad bin Hanifah (Saudara tirinya)→ Abu Hasyim (Putranya)→Menunjuk golongan Abbasyah dari golongan Bany Hasyim sebagai penggantinya
Syi’ah menyebutkan dalil-dalil atas apa yang mereka katakan bersumber dari Al-Kitab dan as-sunnah. Namun disini kaum muslimin memprotesnya, dan umat bangkit melakukan penolakan terhadap Syi’ah, dan membantah dalil-dalil mereka. Ada yang membatahnya dengan syara, yang lain dengan akal, dan ada pula yang menyangkal dengan menyerang serta menuduh bahwa dalil-dalil yang mereka pakai adalah mudhu dan dusta belaka.
Berbeda dengan versi Sy’iah , versi Sunni (Ahlus sunnah) berpendapat bolehnya menyerahkan kekhalifahan dengan Bai’t para sahabat. Sesungguhnya Abu Bakar ra, memimpin kekhalifahan berdasarkan bai’at para sahabat dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah dan dijadikan kepala negara islam setelah wafatnya Rosulillah. Ali ra tidak pernah menentang kesepakatan tersebut.. Keterlambatan bai’at Ali kepada Abu Bakar karena urusan yang berkaitan dengan perbedaan pendapat yang terjadi antara Abu Bakar dan Fathimah ra. Menjelang wafatnya, Abu Bakar pernah berwasiat kepada sejumlah generasi pertama yang tergolong ahli Syuro. Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan dan membai’at Umar Bin Khatab sebagai penerus khalifah setelah Abu Bakar.
Dengan demikian Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali mewasiatkan khalifah sepeninggalnya kepada orang yang sudah ditunjuk, mengangkat khalifah berdasarkan wasiat. Penerus dari Umar bin Khatab adalah Utsman bin Affan yang dipilih Ahli syuro yang telah ditunjuk oleh Umar tersebut unmtuk mengadakan pertemuan di salah satu rumah guna membahas masalah ini.Dan terakhir Ali ra dibai’at sebagai khalifah pada pertengahan bulan Dzul Hijjah tahun 33 Hijri, di hari terbunuhnya Utsman ra . Ada sejumlah sahabat yang terlambat membai’atnya, di antara mereka ialah Sa’ad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Mughirah bin Syubah, Nu’man bin Basyir dan Hasan bin Tsabit.
Apabila kita simpulkan bagaimana pendapat dari kedua versi antara versi Syi’ah dengan versi Sunni tentang bagaimana proses pengangkatan khalifah dan siapa penggantinya sangatlah saling bertentangan antara keduanya. Pertama Versi Syi’ah yang tetap dengan pendapatnya bahwa pengangkat khalifah harus ada nashnya atau harus ada ketetapannya, dan mereka beranggapan bahwa khekalifan untuk Ali ditetapkan oleh Nabi Muhamad saw. Kedua, Versi Sunni yang sama tetap dengan pendiriannya bahwa pengangkatan khalifah harus dengan jalan pembai’atan. Sunni merujuk kepada peristiwa yang terjadi di Saqifah yang menghasilakan dibai’atnya Abu Bakar ra sebagai Khalifah pengganti Nabi Muhamad
Dalam peristiwa Saqifah yang menghasilkan pembai’atnya para sahabat kepada Abu Bakar ra, dan disini tidak ada peluang sedikitpun untuk orang mengingkari Ijma sahabat itu tadi tentang pengangkatan khalifah. Dalam konteks ini Syi’ah mengingkari dan menyimpang darinya. Mereka mengingkari sahnya penyerahan kekhalifahan melalui jalan bai’at. Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa yang menjadi landasan pengangkatan adalah Nash (ketetapan). Mereka beranggapan bahwa kekhalifahan untuk Ali ditetapkan oleh Nabi Muhamad SAW. Mereka membangun pendapatnya dalam mewajibkan adanya nash. Dengan demikian menurut Sy’iah tidak sah penyerahan kekhalifahan dengan Bai’at, sebab masalah itu merupakan kewajiban Allah SWT, bukan kewajiban hamba.
Gagasan yang lebih mencerminkan Syi’ahisme adalah bahwa gagasan imam atau pemimpin yang kharismatik. Syi’ah menganggap bahwa hanya ada satu imam pada waktu itu dan bahwa pada dia menunjuk penggantinya (seperti Muhamad dikatakan menunjuk Ali sebagai penggantinya). Akhirnya golongan Imamiyah (setelah 874) mengakui serangakaian dua belas imam dimulai dari Ali→Al-Hasan→ Al-Husen → diturunkan dari ayahnya kepada anaknya. Namun imam-imam yang lain diakui oleh berbagai kelompok selama priode Umayyah. Beberapa kelompok mengatakan bahwa Al-Husen→Muhamad bin Hanifah (Saudara tirinya)→ Abu Hasyim (Putranya)→Menunjuk golongan Abbasyah dari golongan Bany Hasyim sebagai penggantinya
Syi’ah menyebutkan dalil-dalil atas apa yang mereka katakan bersumber dari Al-Kitab dan as-sunnah. Namun disini kaum muslimin memprotesnya, dan umat bangkit melakukan penolakan terhadap Syi’ah, dan membantah dalil-dalil mereka. Ada yang membatahnya dengan syara, yang lain dengan akal, dan ada pula yang menyangkal dengan menyerang serta menuduh bahwa dalil-dalil yang mereka pakai adalah mudhu dan dusta belaka.
Berbeda dengan versi Sy’iah , versi Sunni (Ahlus sunnah) berpendapat bolehnya menyerahkan kekhalifahan dengan Bai’t para sahabat. Sesungguhnya Abu Bakar ra, memimpin kekhalifahan berdasarkan bai’at para sahabat dalam pertemuan di Saqifah Bani Saidah dan dijadikan kepala negara islam setelah wafatnya Rosulillah. Ali ra tidak pernah menentang kesepakatan tersebut.. Keterlambatan bai’at Ali kepada Abu Bakar karena urusan yang berkaitan dengan perbedaan pendapat yang terjadi antara Abu Bakar dan Fathimah ra. Menjelang wafatnya, Abu Bakar pernah berwasiat kepada sejumlah generasi pertama yang tergolong ahli Syuro. Mereka seluruhnya sepakat untuk mewasiatkan dan membai’at Umar Bin Khatab sebagai penerus khalifah setelah Abu Bakar.
Dengan demikian Abu Bakar merupakan orang yang pertama kali mewasiatkan khalifah sepeninggalnya kepada orang yang sudah ditunjuk, mengangkat khalifah berdasarkan wasiat. Penerus dari Umar bin Khatab adalah Utsman bin Affan yang dipilih Ahli syuro yang telah ditunjuk oleh Umar tersebut unmtuk mengadakan pertemuan di salah satu rumah guna membahas masalah ini.Dan terakhir Ali ra dibai’at sebagai khalifah pada pertengahan bulan Dzul Hijjah tahun 33 Hijri, di hari terbunuhnya Utsman ra . Ada sejumlah sahabat yang terlambat membai’atnya, di antara mereka ialah Sa’ad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Mughirah bin Syubah, Nu’man bin Basyir dan Hasan bin Tsabit.
Apabila kita simpulkan bagaimana pendapat dari kedua versi antara versi Syi’ah dengan versi Sunni tentang bagaimana proses pengangkatan khalifah dan siapa penggantinya sangatlah saling bertentangan antara keduanya. Pertama Versi Syi’ah yang tetap dengan pendapatnya bahwa pengangkat khalifah harus ada nashnya atau harus ada ketetapannya, dan mereka beranggapan bahwa khekalifan untuk Ali ditetapkan oleh Nabi Muhamad saw. Kedua, Versi Sunni yang sama tetap dengan pendiriannya bahwa pengangkatan khalifah harus dengan jalan pembai’atan. Sunni merujuk kepada peristiwa yang terjadi di Saqifah yang menghasilakan dibai’atnya Abu Bakar ra sebagai Khalifah pengganti Nabi Muhamad
KHALIFAH ABBASIAH Oleh Deden Wahyudin S.S
Secara konsep kekuasaan islam harus di pegang tersepusat oleh seorang khilafah, tetapi dalam implementasinya banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dimana-mana. Dalam fakta sejarah mengatakan, bahwa pasca kekuasaan Bani Abbasyiah banyak sekali pertentangan-pertentangan dari dinasti-dinasti kecil yang nota bene ingin independen dari kekuasaan khalifah Bani Abbasyiah. Khalifah Bani Abbasyah dalam kekuasaannya lebih menitikberatkan kepada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari persoalan politik itu, propinsi-propinsi di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari cara : pertama, seorang pemimpin local memimpin suatu pemberontakan dan berhasil mendapat kemerdekaan penuh seperti Daulat Ummayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua Seorang yang ditunjuk sebagai khalifah, kedudukannya semakin berambah kuat, seperti daulat Aglabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurusan.
Dalam keadaan kekuasaan Khalifah Bani Abbasyiah sedang mengalami kemunduran , banyak lahir dinasnti-dinasti yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, diantaranya adalah yang berbangsa Persia : Thahiriyyah di Khurusan,Shafariyah di Fars,Samaniyah di Transoxania,Sajiyyah di Azerbaizan,Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad. Yang berbangsa Turkii: Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan,Ghaznawiyah di Afganistan, dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya seperti Seljuk Besar, atau sejuk Seljuk Agung, Seljuk Kirman di Kirman,Seljuk Syiria atau Syam di Syiria, Seljuk Irak dan Kurdistan, Seljuk Rum atau Asia kecil Dia Asia Kecil. Yang berbangsa Kurdi : Al- Barzuqani,Abu Ali,Ayubiyah. Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Maroko, Aglabiyaah di Tunisia, Dulafiyah di Kurdistan, Alawiyah di Tabaristan, Hamdaniyah di Aleppo dan Mauhil, Ukailiyyah di di Maushil,Mazyadiyyah di Hillah, Mirdasiyyah di Aleppo. Adapun yang mengaku dirinya sebagai khilafah: Umawiyah di Spanyol, Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu,nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama antara Arab, Persia, Turki. Dosamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada juga yang berlatarbelakang syiah, ada yang Sunni,.Persaingan yang dilatar belakangi Syiah dan Sunni, sebenarnya masih bisa dirasakan sampai sekarang ini, seperti perseturuan antara kelompok Syi’ah dan Sunni di negara-negara timur-tengah seperti di Irak, Iran.
Seperti apa yang telah saya dikatakan di awal, bahwa secara konsep kekuasaan islam berada di satu tangan kekuasaan tunggal yaitu di tangan khilafah yang pada waktu kekuasaan ada di tangan khalifah Bani Abbasiyah, tetapi sejarah mengatakan lain , bahwa dalam kekuasaan Bani Abbasiyah sendiri banyak pertentangan dari dinasti-dinasti kecil yang akhirnya memisahkan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah, ini terjadi akibat semakin menurunnya wibawa khalifah Abbasyiah di mata dinasti-dinasti kecil-kecil tersebut. Pertentangan-pertentangan ini terjadi sampai kekuasaan pemerintahan Turki Usmani. Pada waktu dinasti-dinasti kecil tersebut memisahkan diri, kekuasaan Bani Abbasiah belum runtuh dan masih memerintah, tetapi peraturan yang dibuat oleh Banni Abbasiyah tidak di indahkan oleh dinasti-dinasti kecil tersebut. Bila melihat setuasi tersebut , kita bisa menyimpulkan bahwa pada waktu itu masih ada kekuasaan tunggal yaitu kekuasaan Bani Abbasiah, hanya saja dalam kekuasaan tersebut banyak pertentangan dinasti-dinasti kecil. Dalam hal ini sejarah tidak bisa kita jadikan dalil, tetapi tetap bahwa kekuasaan islam tetap tunggal ditangan khilafah.
Dalam keadaan kekuasaan Khalifah Bani Abbasyiah sedang mengalami kemunduran , banyak lahir dinasnti-dinasti yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, diantaranya adalah yang berbangsa Persia : Thahiriyyah di Khurusan,Shafariyah di Fars,Samaniyah di Transoxania,Sajiyyah di Azerbaizan,Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad. Yang berbangsa Turkii: Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan,Ghaznawiyah di Afganistan, dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya seperti Seljuk Besar, atau sejuk Seljuk Agung, Seljuk Kirman di Kirman,Seljuk Syiria atau Syam di Syiria, Seljuk Irak dan Kurdistan, Seljuk Rum atau Asia kecil Dia Asia Kecil. Yang berbangsa Kurdi : Al- Barzuqani,Abu Ali,Ayubiyah. Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Maroko, Aglabiyaah di Tunisia, Dulafiyah di Kurdistan, Alawiyah di Tabaristan, Hamdaniyah di Aleppo dan Mauhil, Ukailiyyah di di Maushil,Mazyadiyyah di Hillah, Mirdasiyyah di Aleppo. Adapun yang mengaku dirinya sebagai khilafah: Umawiyah di Spanyol, Fathimiyah di Mesir.
Dari latar belakang dinasti-dinasti itu,nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama antara Arab, Persia, Turki. Dosamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada juga yang berlatarbelakang syiah, ada yang Sunni,.Persaingan yang dilatar belakangi Syiah dan Sunni, sebenarnya masih bisa dirasakan sampai sekarang ini, seperti perseturuan antara kelompok Syi’ah dan Sunni di negara-negara timur-tengah seperti di Irak, Iran.
Seperti apa yang telah saya dikatakan di awal, bahwa secara konsep kekuasaan islam berada di satu tangan kekuasaan tunggal yaitu di tangan khilafah yang pada waktu kekuasaan ada di tangan khalifah Bani Abbasiyah, tetapi sejarah mengatakan lain , bahwa dalam kekuasaan Bani Abbasiyah sendiri banyak pertentangan dari dinasti-dinasti kecil yang akhirnya memisahkan diri dari kekuasaan Bani Abbasiyah, ini terjadi akibat semakin menurunnya wibawa khalifah Abbasyiah di mata dinasti-dinasti kecil-kecil tersebut. Pertentangan-pertentangan ini terjadi sampai kekuasaan pemerintahan Turki Usmani. Pada waktu dinasti-dinasti kecil tersebut memisahkan diri, kekuasaan Bani Abbasiah belum runtuh dan masih memerintah, tetapi peraturan yang dibuat oleh Banni Abbasiyah tidak di indahkan oleh dinasti-dinasti kecil tersebut. Bila melihat setuasi tersebut , kita bisa menyimpulkan bahwa pada waktu itu masih ada kekuasaan tunggal yaitu kekuasaan Bani Abbasiah, hanya saja dalam kekuasaan tersebut banyak pertentangan dinasti-dinasti kecil. Dalam hal ini sejarah tidak bisa kita jadikan dalil, tetapi tetap bahwa kekuasaan islam tetap tunggal ditangan khilafah.
LIBERAL DUNIA ARAB
Penggunaan istilah liberalisasi di tanah arab sebenarnya merupakan hal yang tidak sesuai, karena proses yang terjadi di dunia Arab pada waktu itu adalah lebih condong ke proses nasionalisme, kalau penggunaan istilah liberalisme itu lebih menitikberatkan kepada revolusi lembaga-lembaga atau hak-hak individu, tetapi secara lebih luas lagi tentang kekuatan dan persatuan nasional serta kekuasaan pemerintah. Perubahan pemikiran yang semula bersifat tradisional menjadi lebih liberal di dunia Arab menjadikan motif utama penulis (Hourani) membuat buku ini dengan judul pemikiran di dunia Arab.
Proses pemikiran yang mengarah ke Arab modern lebih banyak di pengaruhi pemikiran barat dan juga para orientalis yang senantiasa mewarnai pemikiran dunia Arab itu sendiri. Penulis disini lebih sering menyebut kebangkitan Arab, itu sebagai “Era Liberal”di mana orang-orang Arab secara serempak mulai mengalami kesadaran intelektual dan peradabannya. Liberalisasi di sini, dimaksudkan kepada perubahan struktur lembaga-lembaga, tetapi lebih ke perubahan pemikirian orang-orang khususnya di dunia Arab yang semula berpikir bersifat tradisional menjadi pemikiran modern sebagai akibat adanya resposif positif terhadap kemajuan barat, industrialisasi, berpikir rasional, dan modernisasai pada sisi-sisi kehidupan manusia, bukan sebatas pada hal itu saja, tetapi adanya pembebasan ekpresi juga bagi para pemikir keagamaan, social, budaya untuk berpikir secara mendalam
Pembagian periode yang dibagi oleh penulis menunjukan karakteristik yang berbeda dari proses liberalisme di dunia Arab sehingga dari generasi ke generasi di dunia Arab menunjukan aplikasi pemikiran Arab yang modern yang berbeda juga. Generasi yang terakhir pada dasawarsa 1930 merupakan puncak sekaligus penutup Era liberal.Dalam perkembangan pada dasawarsa ini banyak tantangan bagi semangat pencerahan pemikiran Arab modern, karena adanya kecenderungan baru untuk memusuhi rasionalitas. Permasalahan ini datang seiring dengan waktu pada dasawarsa ini, muncul gerakan fundamentalis islam, gerakan ini semakin memperkecil gerakan pencerahan di dunia Arab.Akhir dari wacana ini adalah berdirinya negara Israel di Palestina, hal ini menjadi semakin mengerasnya gerakan-gerakan islam
Keberadaan Israel menjadi begitu sangat penting bagi perkembangan pemikiran Arab modern, sehingga fase-fase pemikiran Arab juga kerap dikaitkan dengan momen-momen penting berkaitan dengan konflik Arab Israel.
Penutup
Keberadaan buku Hourani baik sekali untuk dijadikan bahan bacaan bagi orang yang tertarik tetang bagaimana perkembangan pemikiran di dunia Arab. Buku ini sebagai pengantar yang baik untuk anda yang ingin menelaah bagaimana pemikiran Arab dari pemikiran tradisional sampai Arab modern. Dalam penulisan buku “ Pemikiran Liberal Dunia Arab” Hourani menjelaskan runtutan peristiwa secara gamblang dengan berbagai kerumitan dalam menyusun kronologis kejadiannya, tidak itu saja .Dalam penulisan buku ini, bahasa yang digunakannya sangat mudah sekali dipahami oleh pembacanya..
Proses pemikiran yang mengarah ke Arab modern lebih banyak di pengaruhi pemikiran barat dan juga para orientalis yang senantiasa mewarnai pemikiran dunia Arab itu sendiri. Penulis disini lebih sering menyebut kebangkitan Arab, itu sebagai “Era Liberal”di mana orang-orang Arab secara serempak mulai mengalami kesadaran intelektual dan peradabannya. Liberalisasi di sini, dimaksudkan kepada perubahan struktur lembaga-lembaga, tetapi lebih ke perubahan pemikirian orang-orang khususnya di dunia Arab yang semula berpikir bersifat tradisional menjadi pemikiran modern sebagai akibat adanya resposif positif terhadap kemajuan barat, industrialisasi, berpikir rasional, dan modernisasai pada sisi-sisi kehidupan manusia, bukan sebatas pada hal itu saja, tetapi adanya pembebasan ekpresi juga bagi para pemikir keagamaan, social, budaya untuk berpikir secara mendalam
Pembagian periode yang dibagi oleh penulis menunjukan karakteristik yang berbeda dari proses liberalisme di dunia Arab sehingga dari generasi ke generasi di dunia Arab menunjukan aplikasi pemikiran Arab yang modern yang berbeda juga. Generasi yang terakhir pada dasawarsa 1930 merupakan puncak sekaligus penutup Era liberal.Dalam perkembangan pada dasawarsa ini banyak tantangan bagi semangat pencerahan pemikiran Arab modern, karena adanya kecenderungan baru untuk memusuhi rasionalitas. Permasalahan ini datang seiring dengan waktu pada dasawarsa ini, muncul gerakan fundamentalis islam, gerakan ini semakin memperkecil gerakan pencerahan di dunia Arab.Akhir dari wacana ini adalah berdirinya negara Israel di Palestina, hal ini menjadi semakin mengerasnya gerakan-gerakan islam
Keberadaan Israel menjadi begitu sangat penting bagi perkembangan pemikiran Arab modern, sehingga fase-fase pemikiran Arab juga kerap dikaitkan dengan momen-momen penting berkaitan dengan konflik Arab Israel.
Penutup
Keberadaan buku Hourani baik sekali untuk dijadikan bahan bacaan bagi orang yang tertarik tetang bagaimana perkembangan pemikiran di dunia Arab. Buku ini sebagai pengantar yang baik untuk anda yang ingin menelaah bagaimana pemikiran Arab dari pemikiran tradisional sampai Arab modern. Dalam penulisan buku “ Pemikiran Liberal Dunia Arab” Hourani menjelaskan runtutan peristiwa secara gamblang dengan berbagai kerumitan dalam menyusun kronologis kejadiannya, tidak itu saja .Dalam penulisan buku ini, bahasa yang digunakannya sangat mudah sekali dipahami oleh pembacanya..
SUNAN GIRI (GRESIK)
SUNAN GIRI (GRESIK)
Bila kita mendengar kata Gresik mungkin kita akan beripikir tentang bahan bangunan yaitu “Semen”. Memang saya akui kalau Gresik kurang diketahui oleh banyak orang tentang bagaimana sejarahnya sebagai tempat penyebaran agama islam di pesisir Jawa Timur. Gresik sudah melihatkan sejak lama eksistensinya dalam bidang perniagaan. Gresik sekitar abad ke-13 dan ke 14. Menurut pengarang Portugis yang bernama Pigafetta, mengatakan bahwa Gresik pada abad 16 Gresik sudah tekenal karena disana terdapat makam Maulana Malik Ibrahim, yang hingga kini ramai di ziarahi orang-orang.. Selain terdapat makam Maulana Malik Ibrahim terdapat pula makam Sunan Giri, salah seorang dari wali Songo yang menyebarkan agama islam di Pulau Jawa pada abad ke 15 dan ke 16.
Kalau berbicara mengenai Sunan Giri, dia adalah salah satu dari wali songo yang mempunyai nama asli Raden Paku. Ia dilahirkan di Balambangan, Jatim. Sebutan yang lain adalah Prabu Satmata dan Sultan Abdul Faqih. Ia pendiri madrasah Gresik di Bukit Giri, yang hingga abad ke-17 dikunjungi banyak pelajar agama dari berbagai pelosok Nusantara. Konom, ayah Sunan Giri, Maulana Ishak berasal dari Arab. Sunan Giri kemudian dinikahkan dengan Putri Balambangan, Dewi Kaisyan. Lalu belajar agama islam pada Sunan Ampel kemudian melanjutkannya ke Pasai bersama Sunan Bonang..
Sunan Giri diusulkan oleh Sunan Kalijaga untuk diangkat menjadi pemimpin agama islam di selatan Jawa. Ia menyebarkan agama islam lewat berbagai cara, antara lain mengirimkan saudagar , pelajar dan nelayan yang telah menyelesaikan pelajaran padanya untuk mengembangkan agama di daerah mereka masing-masing..Akibanya agama islam dapat menyebar ke Ternate, Madura bahkan sampai kepulauan Maluku. Sebagai wali penyebar agama islam. Sunan Giri berusaha harus menyingkirkan segala bentuk serangan terhadap islam sebagai sebagai agama baru ditanah Jawa, untuk ini dia menghukum mati Syekh Siti Jenar yang diajaranya dianggap membahayakan perkembangan agama islam.
Sunan Giri mendirikan suatu garis keturunan penguasa-penguasa keagamaan Sunan Giri yang bertahan sampai tahun 1680, sedangkan para wali lainnya.tidak mempunyai pengganti bagi kekuasaan mereka. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Sunan Giri telah memainkan peranan sangat penting dalam penaklukan terhadap “Majapahit” dan telah memerintah Jawa selama empat puluh hari sesudah runtuhnya. Kerajaan tersebut guna membersihkan Jawa dari sisa pra islam. Sampai tahun 1680, Giri tetap Giri tetap merupakan lawan utama bagi para pendiri kerajaan di wilayah pedalaman dan kekuasaan keagamaan yang ada hubungannya dengan Giri ditakuti dan dibenci oleh penguasa Mataram.Sunan pertama dan para penggantinya dianggap memainkan peranan penting dalam penyiaran agama islam ke Lombok, Makasar, Kutai (Kaltim) dan Pasir Kalteng melaui penaklukan, perkawinan atau pun melalui dakwah para bekas muridnya. Itulah sekilas tentang bagaima penyebarannya Islam di Jawa khususnya di Jawa timur bagian pesisir.
Bila kita mendengar kata Gresik mungkin kita akan beripikir tentang bahan bangunan yaitu “Semen”. Memang saya akui kalau Gresik kurang diketahui oleh banyak orang tentang bagaimana sejarahnya sebagai tempat penyebaran agama islam di pesisir Jawa Timur. Gresik sudah melihatkan sejak lama eksistensinya dalam bidang perniagaan. Gresik sekitar abad ke-13 dan ke 14. Menurut pengarang Portugis yang bernama Pigafetta, mengatakan bahwa Gresik pada abad 16 Gresik sudah tekenal karena disana terdapat makam Maulana Malik Ibrahim, yang hingga kini ramai di ziarahi orang-orang.. Selain terdapat makam Maulana Malik Ibrahim terdapat pula makam Sunan Giri, salah seorang dari wali Songo yang menyebarkan agama islam di Pulau Jawa pada abad ke 15 dan ke 16.
Kalau berbicara mengenai Sunan Giri, dia adalah salah satu dari wali songo yang mempunyai nama asli Raden Paku. Ia dilahirkan di Balambangan, Jatim. Sebutan yang lain adalah Prabu Satmata dan Sultan Abdul Faqih. Ia pendiri madrasah Gresik di Bukit Giri, yang hingga abad ke-17 dikunjungi banyak pelajar agama dari berbagai pelosok Nusantara. Konom, ayah Sunan Giri, Maulana Ishak berasal dari Arab. Sunan Giri kemudian dinikahkan dengan Putri Balambangan, Dewi Kaisyan. Lalu belajar agama islam pada Sunan Ampel kemudian melanjutkannya ke Pasai bersama Sunan Bonang..
Sunan Giri diusulkan oleh Sunan Kalijaga untuk diangkat menjadi pemimpin agama islam di selatan Jawa. Ia menyebarkan agama islam lewat berbagai cara, antara lain mengirimkan saudagar , pelajar dan nelayan yang telah menyelesaikan pelajaran padanya untuk mengembangkan agama di daerah mereka masing-masing..Akibanya agama islam dapat menyebar ke Ternate, Madura bahkan sampai kepulauan Maluku. Sebagai wali penyebar agama islam. Sunan Giri berusaha harus menyingkirkan segala bentuk serangan terhadap islam sebagai sebagai agama baru ditanah Jawa, untuk ini dia menghukum mati Syekh Siti Jenar yang diajaranya dianggap membahayakan perkembangan agama islam.
Sunan Giri mendirikan suatu garis keturunan penguasa-penguasa keagamaan Sunan Giri yang bertahan sampai tahun 1680, sedangkan para wali lainnya.tidak mempunyai pengganti bagi kekuasaan mereka. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Sunan Giri telah memainkan peranan sangat penting dalam penaklukan terhadap “Majapahit” dan telah memerintah Jawa selama empat puluh hari sesudah runtuhnya. Kerajaan tersebut guna membersihkan Jawa dari sisa pra islam. Sampai tahun 1680, Giri tetap Giri tetap merupakan lawan utama bagi para pendiri kerajaan di wilayah pedalaman dan kekuasaan keagamaan yang ada hubungannya dengan Giri ditakuti dan dibenci oleh penguasa Mataram.Sunan pertama dan para penggantinya dianggap memainkan peranan penting dalam penyiaran agama islam ke Lombok, Makasar, Kutai (Kaltim) dan Pasir Kalteng melaui penaklukan, perkawinan atau pun melalui dakwah para bekas muridnya. Itulah sekilas tentang bagaima penyebarannya Islam di Jawa khususnya di Jawa timur bagian pesisir.
Langganan:
Postingan (Atom)