Sabtu, 04 Desember 2010

Analisis Buku: Konflik Elit Birokrasi ( Biografi Politik Bupati R.A.A Martanegara ) Karya Nina Lubis

Bupati bupati di pulau Jawa mengalami pasang surut dalam kedudukan dan peranannya,kedudukan bupati pada jaman VOC sangatlah berpengaruh sebagai penguasa tradisional, berbeda pada masa kekuasaan Hindia Belanda kedudukan bupati mengalami kemorosotan karena adanya pembatasan-pembatasan. Pada waktu diberlakukannya Preangerstelsel yang memangfaatkan ikatan tradisional – feodal antara bupati dan rakyatnya untuk kepentingan perdagangan VOC.disini kita bisa melihat bagaimana elit birokrasi pribumi itu dijadikan suatu alat oleh VOC untuk mengkordinir dan mobilisasi rakyat dalam rangka menjalankan politik monopolinya.tidak terlepas juga Bandung sebagai basis dari VOC sebagai wilayah dimana diberlakukannya preangerstelsel. Suasana yang berbeda jauh ketika dihapuskanya preangerstelsel pada tanggal 1 januari 1871 wilayah Priangan dibagi menjadi sembilan afdeling yang masing masing di perintah oleh seorang Asisten- Residen. Setelah dibentuknya sembilan afdeling tadi maka, kekuasaan para bupati di Priangan mulai merosot.bupati dipojokan ke dalam status figure seremonial belaka dalam situasi yang demikian. Raden Adipati Arya Martanegara diangkat sebagai bupati bandung pada tahun 1893 pada waktu terjadi percobaan pembunuhan atas dirinya sehari menjelang pelantikannya. Ternyata ia selamat dalam peristiwa itu.satu pertanyaan besar buat kita semua, apakah yang menjadi motipasi pencobaan pembunuhan terhadap RAA Martanegara?.kita akan menemukan jawaban mengenai hal itu setelah kita membahas proses atau prosedur dari pengangkatannya itu

Dinasti kekuasaan elit birokrasi
Birokrasi yang merupakan alat penguasa pusat untuk menjalankan aturan-aturan dan pemerintahan di daerah sudah dijalankan dikabupaten bandung sejak awal berdirinya para pejabat elit birokrasi pribumi yang diangkat itu melalui beberapa tahap seleksi dan kereteria yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat. Para pejabat elit birokrasi yang sering kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari yaitu yang disebut priyai status bupati sebagai pemimpin membawa Fungsi atau peranan untuk menguasai, mengatur dan mengawasi nilai-nilai sosial-kultural masyarakatnya. Seperti telah dikemukakan dalam pendahuluan di atas ketika diberlakukannya sistem preangerstelsel para bupati mempunyai otoritas penuh dan memerintah daerahnya secara otokratis dengan dibantu oleh pengikut-pengikutnya yang mempunyai otoritas yang tinggi terhadap bupati. Pada jaman Daendels dan rafles menurunkan posisi para bupati menjadi pegawai negeri yang di gaji dan mendapatkan berbagai pasilitas dalam hal ini terlihat pergeseran bupati sebagai elit pribumi menjadi hanya sekedar perantara politik pemerintah colonial dengan penduduk pribumi

Dinasti Elit Birokrasi Keluarga RAA Martanegara
Pada tanggal 7 april 1893, Bupati Bandung ke sembilan, Raden Adipati Kusumadilaga meninggal dunia. Dia hanya meninggalkan seorang anak laki-laki yang baru berusia 5 tahun,yang bernama Raden Muharam. Adapun sebagai penggati bupati yang meninggal maka di angkatlah R.A.A Martanegara yang sebelumnya menjabat sebagai Patih Afdeling Sukapura Kolot. Dipilihnya mertanegara sebagai pengganti bupati yang meninggal karena Raden Muharam sebagai pewaris tahta masih berusia 5 tahun. Ternyata pengangkatan RAA Martanegara itu menimbulkan konflik dengan sekelompok bangsawan Bandung yang tidak setuju dipilihnya Martanegara sebaga bupati. Alhasil para bangsawan bandung berusaha melakukan percobaan pembunuhan atas dirinya
Apabila dilihat dari keturunannya, R.A.A Martanegara merupakan keturunan dari Pangeran Kornel Bupati Sumedang ke XII. R.A.A Martanegara lahir pada tanggal 9 Februari 1845 ia lahir sebagai putra bungsu dari lima bersaudara,tetapi semua saudaranya yang seibu-seayah meninggal dunia dalam usia enam atau tujuh bulan ayahnya adalah Raden Kusumayuda yang tak lain adalah cucu pangeran kornel. Ibunya bernama Nyai Raden Tejamirah, Putri Daleng Tumenggung Suryadilaga, pejabat bupati Sumedang yang dikenal dengan sebutan Daleng Sindangraja. Buyut Nyai Raden Tejamirah adalah paman Pangeran Kornel. Jadi, ayah buyut raden kusuma yuda adalah ayah buyut Nyai Raden Tejamirah. Bila kita amati hubungan perkawinan di antara elit birokrasi pribumi cenderung melakukan perkawinan dikalangan keluarga atau kerabat sendiri. Demikian juga halnya yang terjadi pada diri orang tua R.A.A Martanegara. Kedua-duanya adalah cucu bupati terdahulu, jadi statusnya sederajat.
Dalam otobiografi yang ditulis oleh R.A.A Martanegara disebutkan bahwa ayahnya hanya sempat wedana. Banyak ramalan mengenai R.A.A Martanegara sebelum ia lahir mengatakan bahwa dia akan mendapatkan jabatan lebih tinggi dari ayahnya , dan itu benar-benar terbukti bahwa R.A.A Martanegara bisa menjadi seorang bupati sewaktu kecil ia di asuh oleh pamannya, Arya Suryanegara yang waktu itu menjadi Patih Sumedang. Ketika diasuh oleh pamannya ia tumbuh besar dengan sehat. RAA Martanegara amat disenangi oleh kakak tiri ayahnya, yaitu Pangeran Sugih yang waktu itu menjadi bupati sumedang. Bahkan pangeran sugi menganggap keponakannya itu sebagai anaknya sendiri dan mempertunangkanya dengan Armunah, putrinya sendiri saat pertunangan ia berusia lima tahun sedangkan Armunah tiga tahun
Ketika R.A.A Martanegara berusia tujuh tahun, ayahnya yang waktu itu menjabat wedana distrik Cibeureum, Sumedang, diasingkan di Probolinggo karena berselisih paham dengan kakak tirinya, yaitu pangeran sugih bupati Sumedang. Tentunya pengasingan ayahnya ini berpengaruh terhadap sikap R.A.A Martanegara kelak. Waktu kecil R.A.A Martanegara banyak menimba ilmu dirumah Raden Saleh, dikampung Gunungsari baik raden Saleh maupun istrinya membuka usaha di bidang pembuatan kain batik, minyak wangi dan beragam perhiasa perak. Bakat seni RAA Martanegara yang tetanam itu dibuktikan dengan keterampilan merancang dan menjahit pakaian yang diajarkan istri Raden Saleh yang tak lain adalah wanita Eropa. Oleh karena sering berkomunikasi dengan raden Saleh yang tak lain adalah orang Belanda, maka kelak ia disebut sebagai pribumi yang mengenal bahasa Belanda dengan baik.
Atas saran raden Saleh, RAA Martanegara melanjutka pendidikan ke semarang di sekolah Ambachtschool. Setelah dua tahun di semarang, priyai Sumedang tersebut kembali ke batavia yang selanjutnya ia kembali lagi ke Sumedang.
Kal;au kita lihat bagaimana sislsilah keturunan Bupati Bandung dapat ditemukan contoh- contoh kongrit mengenanai hal ini. Misalnya, Raden Ayu Rajapamerat, putri Bandung Wiranatakusumah III (1829-1846) menikah dengan Pangeran Suriakusuma Adinata. Putra Bupati Sumedang, Dalem Kusumayuda (1828-1836) yang kelak menggantikan ayahandanya sebagai bupati. Kemudian, salah seorang putrid Raden Ayu Rajapamerat, yaitu Raden Ayu Sangkaningrat menikah dengan R.A.A Martanegara, keturunan bupati Sumedang yang kelak menjadi bupati Bandung. Putrinya yang lain lagi, Raden Ayu Raja Permas, menikah dengan Demang Haji Adiwijaya, Patih Garut, Kmudian Raden Ayu Rajaningrat menikah dengan Patih Tasikmalaya.

Membangun Ekonomi keluarga
a. Perkawinan
telah kita ketahiu bahwa R.A.A Martanegara ditunangkan ketika masih berumur lima tahun dengan putra Pangeran Sugih yang bernama Armunah.ketika menjadi camat Cikadu, R.A.A Martanegara menikah dengan tunangannya dan setahun kemudian istrinya melahirkan putra pertamanya yang diberi nama Aom Pahrussuhada anak ini hanya sempat hidup selama dua tahun. Tiga tahun kemudian ibunya menyusul ke alam baka karena sakit kolera, saat istrinya meninggal R.A.A Martanegara sedang menjadi wedana di Tegalkalong.
Karena merasa kesepian RAA Martanegara menikah lagi dengan putri Pangeran Sugih yang ke tujuh, yaitu raden Ajeng Sangkanningrat. Ibu dari istri yang keduanya itu adalah putri Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranata Kusuma III pernikahan yang keduanya itu berlangsung meriah dan banyak dihadiri oleh pejabat Eropa.ketika dia menjabat sebagai Camat Distrik Cikadu, Sumedang,ia mendapat gaji sekaligus mendapat persenan kopi sebesar tiga setengah duit perpikul, dan mendapat bagian cukai padi sebesar lima belas persen dari pajak padi yang masuk, ditambah lagi bagian dari pajak pemotongan ternak pada tanggal 26 juni 1869 Martanegara diangkat menjadi wedana Distrik Sumedang dengan memperoleh persenan kopi enam belas duit perpikul dan tiga puluh persen dari cukai padi yang desetorkan selain mendapat bagian dari pajak pemotongan ternak. Ketika Preangerstelsel dihapuskan, para pegawai negeri hanya memperoleh gaji tetap dan tidak lagi mendapat cukai padi,karena pada waktu itu rakyat tidak diwajibkan lagi membayar pajak padi dari keteranga di atas dapat kita simpulkan bahwa bupati sebagai elit birokrasi pribumi banyak mendapat penghasilan dari beberapa sektor, jadi dalam membangun ekonomi keluarganya bupati tidak mempunyai kesulitan untuk meningkatkan tarap ekonomi keluarganya. Saya rasa kehidupan keluarga bupati sangatlah berkecukupan dan jauh dari kekurangan. Namun setelah dihapuskanya preangerstelsel penghasilan bupati berkurang seiring dihapuskannya pajak padi. Dengan berkurangnya penghasilan itu bupati RAA Martanegara masih bisa menghidupi dan menyekolahkan ketujuh orang anaknya karena RAA Martanegara sangatlah memperhatikan pendidikan putra-putranya baik di dalam rumah maupun diluar rumah. Dalam menegakan disiplin ia sering kali bersikap keras, bahkan ia dikenal sebagai orang yang ringan tangan. Beberapa anaknya disekolahkan di Bandung, misalnya, Aom Alybasyah, ia tercatat sebagai murid De Openbare Lagre School, sedangkan Raden Ace menjadi murid sebuah sekolah suasta yang sama. Sementara itu, putranya yang lain Raden Ogog sudah menjadi juru tulis di Distrik Cidamar.


Hubungan dengan Elite Kolonial

Sebagai elite birokrasi Pribumi, Hubungan R.A.A Martananegara dengan elite birokrasi colonial terikat hubungan kedinasan yang formal. Ketika R.A.A Martanegara baru diangkat menjadi bupati, hal yang pertama yang dilakukannya ialah mengunjungi semua orang Belanda yang ada dikota Bandung. Mereka terdiri atas para pejabat birokrasi dan elite non-birokrasi. Martananegara sangat mudah bergaul sehingga membina hubungan akrab dengan beberapa diantara orang Belanda. Kalau kita lihat seberapa jauh kedekatan ia dengan Elite Kolonial dapat terlihat ketika R.A.A Martanegara sedang menjalani pendidikan formal, ia menitipkan putra-putranya di rumah Belanda. Adapun hal itu dilakukannya tidak serta merta tidak ada tujuan. Ia mengharapkan anaknya bisa terbiasa berinteraksi dengan elite kolonial agar bisa menguasai keterampilan sosial kedinasan yang diperlukan bagi kemajuan, misalnya pengetahuan tentang pergaulan Eropa dan bahasa Belanda. Pendidikan Barat yang diberikan kepada anak-anaknya merupakan salah satu konsekuensi logis dari adanya hubungan yang akrab antara R.A.A Martanegara dan elite colonial. Sekaligus bukti bahwa ia adalah bupati yang berpandangan maju. Juga, dapat dikatakan bahwa pendnidikan Barat yang diberikan kepada anak-anaknya merupakan cara R.A.A Martanegara untuk mengantisipasi perubahan sosial yang sedang terjadi, khususnya yang menyangkut dunia kepangrehprajaan
Pada tahun 1911 merupakan langkah besar dalam rangka rasionalisasi pemerintahan yang dikeluarkannya peraturan pengakatan bupati yang menyatakan bahwa asas pewarisan jabatan bukan lagi menjadi dasar utama pengangkatan seorang bupati. Dengan demikian, jelaslah bahwa R.A.A Martanegara berusaha menyesuaikan pendidikan putra-putranya agar dapat mengikuti perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.. Ternyata kemudian, beberapa putranya berhasil mencapai pangkat tertinggi dalam pangreh Praja. Hubungan yang dijalin oleh R.A.A Martanegara itu merupakan langkah antisipasi perubahan-perubahan sosial yang akan terjadi kedepan kelak.

Hubungan Sosialnnya khususnya dengan Elite Agama

Dalam bukunya Nina. H. Lubis bahwasannya elite agama dapat di bagi dua kategori pada waktu itu. Pertama. Elite agama yang tergabung ke dalam birokrasi colonial dalam jajaran pribumi. Kedua, elite agama yang tidak termasuk dalam birokrasi yang biasanya mempunyai kewibawaan sosial yang sangat tinggi dikalangan rakyat. Banyak pejabat pribumi bersikap acuh tak acuh terhadap agama islam. Mereka menjauhkan diri dari elite agama dilingkungan mereka sendiri, tetapi R.A.A Martanegara tidak termasuk kelompok pejabat pribumi seperti itu. Selama memerintah, hubungan dengan elite agama cukup etat, baik dengan yang berada dalam birokrasi colonial maupun dengan yang non- birokrasi. Ini berkaitan dengan gaya hidup R.A.A Martanegara yang sering menunjukan sikap agamis. Hubungan dengan elite agama non-birakrasi dipeliharanya dengan sangat baik. Ini ditunjukan oleh kunjungan-kunjungan ke berbagai pesantren yang ada di Kabupaten Bandung, misalnya ke Pesantren Cigondewah (Ajengan Marjuki), Pesantren Sadang, dan Pesantren Sindanglaya. Sikap yang saleh dibuktkannya dengan memberikan wakaf sawah seluas tiga setengah bau.. Hubungan dengan elite agama yang ada dalam birokrasi yang dipimpinnya dibina dengan sangat baik pula, ini terbukti setiap hari jumat ia sering mengadakan musyawarah dengan mereka.

Hubungan dengan Bawahannya
Ketika ada percobaan pembunuhan atas diri R.A.A Martanegara dan itu merupakan bahan pembicaraan umum yang hangat di Bandung pada waktu itu. R.A.A Martanegara yang seorang pendatang, tentu saja hal itu menimbulkan ketidaktentraman bagi R.A.A Martanegara. Ada beberapa cara yang dilakukannya unntuk mengatasi hal itu. Pertama, ia menempatkan pasukan Sumedang di Soreang. Pangeran Sumedang sendiri bahkan setiap minggu datang ke Kabupaten Bandung untuk ikut membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Kedua, membuka dan memperbaiki hubungan dengan elite birokrasi asli Bandung dengan cara-cara yang kompromistis, meskipun memakan waktu yang tidak sebentar. Cara kedua ini dimulai dengan membuka “ Parukunan”, semacam Soceit pribumi yang berlokasi di bagian depan bangunan Kabupaten Bandung. Tempat ini kemudian disebut “Bale Kebudayaan Priangan”. Para bangsawan Bandung sering diundang ke tempat ini untuk menikmati hiburan, misalnya menonton pertunjukan seni tari, sandiwara, dan ikut ngibing dengan diiringi gamelan. Dengan cara demikian R.A.A Martanegara dapat membinia hubungan baik dengan bawahannya yang asli Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar