Kamis, 09 Desember 2010

Budaya Sunda di Tengah modernisasi dan Postmodernisasi Oleh Deden Wahyudin

1. Pengantar

Benih-binih budaya nasional yang terintegrasi kedalam sub-sub budaya lokal merupakan suatu yang menjadi soko guru identitas bangsa. Meleburnya budaya lokal itu menjadi suatu kritalisasi keribadian suatu bangsa yang selalu dianggap satu kesatuan yang bersifat adaftif. Budaya lokal yang tersebar di seluruh penjuru nusantara merupakan manesfestasi besar bagi bangsa Indonesia. Keragaman yang ada tidak dijadikan suatu problematika bagi bangsa yang sadar akan pentingnya rasa persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Hal ini penting disadari karena identitas suatu bangsa dibangun atas dasar kesamaan karakter maupun keberagaman budaya. Setiap budaya lokal itu memiliki peran yang penting bagi terwujudnya budaya nasional. Tidak ada suatu budaya lokal pun yang tidak punya andil dalam membangun budaya nasional tetapi andil dari budaya lokal tersebut diperlihatkan secara tersirat. Adapun yang muncul kepermukaan merupakan puncak-puncak kebudayaan lokal yang menjadi ikon budaya nasional. Dalam hal ini tidak berarti hanya satu kebudayaan lokal yang ditonjolkan, tetapi ketersiratan budaya yang lain menyumbang atas puncak-puncak kebudayaan nasional tersebut.
Bila kita kaji semua budaya lokal yang ada di Indonesia, rasanya tidak akan cukup dalam tulisan ini. Oleh karena itu, kita sepakat untuk mengangkat satu budaya lokal sebagai kajian di tulisan ini yaitu budaya sunda. Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun Kebudayaan sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relative lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis. “ Kegemilangan” kebudayaan di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Taruma Negara dan Kerajaan Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam memetakan apa yang dinamakan kebuadayaan sunda.
Setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi. Kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan "keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap "membumi" dengan masyarakat Sunda.
Oleh karena itu, kita bangun paradigma-paradigma baru untuk membangun kesadaran orang-orang sunda itu sendiri khususnya generasi muda untuk melestarikan budaya sunda yang dalam keeksistensiannya terancam dengan banyaknya budaya luar yang semakin intens masuk ke dalam ranah budaya tatar sunda.

B. Kajian Analisis
Dari tulisan yang ditulis oleh Prof. Dr. Endang Komara, M.Si yang berjudul “ Peran Budaya Sunda Dalam Menghadapi PostModern” Kebudayaan sunda mengisaratkan adanya proses pelemahan secara drastis dalam perannya membangun kepribadian orang sunda itu sendiri apa lagi dalam membangun karakter bangsa secara luas. Kita tidak bisa menafikan sumbangan dari budaya sunda itu sendiri memang sangat besar dalam membangun budaya nasional. Kemunduran ini diniscaya adanya ruang lingkup globalisasi yang semakin merapat ke dalam tataran budaya sunda itu sendiri terlebih lagi ke dalam budaya nasional. Dalam tulisannya Prof Endang menjelaskan bahwa globalisasi membawa pengaruh dan perubahan yang cepat dan mudah sekali dipahami oleh yang menerimanaya. Pengaruh globalisasi ini nota bene mempengaruhi juga orang orang sunda sendiri. Dengan adanya westernisasi (Proses pembaratan) secara otomatis budaya lokal baik itu budaya sunda ataupun budaya lainnya menjadi termaginilisasi (Terpinggirkan). Dikatakan dalam tulisannya ini marginalisasi suatu kebudayaan dikatakan lumrah artinya menjadi suatu yang biasa bahkan suatu kebudayaan mati pun dikatakan lumrah pula. Memang benar yang yang terjadi sekarang terhadap budaya sunda adalah suatu tontonan belaka, artinya budaya sunda itu bukan dijadikan sebagai kepribadian hidup melainkan hanya sekedar tontonan budaya semata. Oleh karena itu memang betul harus ada paradigma baru dalam melawan tantangan –tantangan yang dirasa berat yang syarat akan revolusi itu. Kebudayaan luar yang syarat akan serba rasional memotong secara cepat pemikiran orrang sunda yang serba magic-mitis yang kuat. Oleh karena itu, keterbukaan secara pemikiran membawa masyarakat untuk memilih hal-hal yang rasional daripada hal-hal magic-magis.
Untuk merubah paradigma orang sunda tentang budaya sunda itu sendiri ada berberpa tahapan yang harus di lewati dan tahapan situ akan memberikan pemahaman bagi kita tentang bagimana suatu budaya bisa menjadi kepribadian suatu komunitas budaya. Adapun prose situ menurut tulisan C. A. Van Puersen adalah :
1. Mitis
Dimana mereka ( kelompok budaya) memandang segala sesuatu baik hasil budaya atau entitas budaya sebagai hal yang gaib ( tidak terjamah oleh logika) artinya bersifar iirasional
2. Ontologis
Tahapan ini adalah tahapan dimana komunitas budaya sudah memukan titik kesadaran tentang hal-hal yang dianggap mitis (gaib)
3. Fungsional
Tahapan ini adalah tahapan dmana kelompok budaya sudah menyadari dan mengetahui bagaimana fungsi praktis dari kebudayaan atau hasil kebudayaan yang mereka buat.
Menurut analisis saya, bahwasannya orang sunda masih dalam tataran tahapan mitis, artinya mereka masih memelihara pemikiran yang bersifat irrasional dan mereka belum menyadari akan hal yang mereka pikirkan artinya belum bisa memaknai semuanya.
Dalam pandangan ini saya menyetujui pernyataan Prof. Endang, bahwasanyya orang sunda dalam perkembangan pola berpirkirnya tidak melewati pase yang kedua yaitu ontologis. Memang semestinya komunitas itu melewati fase mitis, ontologis,dan fase fungsional. Dikatakan dalam kasus budaya sunda, fase budaya yang tidak dilewati secara mulus. Fase yang memungkinkan lahirnya tradisi filosofis, yang secara epistimologis menjadi fondasi bagi terjadinya dialog dan partisipasi logos (tradisi rasional-filosofis) dengan mitos. Sebetulnya ada usaha dari orang-orang sunda sendiri untuk mengulang fase ontologism sebagi upaya penyeimbang. Mereka yang peduli sebetulnya mengkonsep atau merumuskan suatu system filosofi dan efisistem yang memungkinkan dijadikan filosofis bagi kebudayaan sunda. Namun usaha perumusan itu sia-sia dan akhirnya karya filsafat tentang fase ontoligis orang sunda itu hanya sebagai pajangan saja.

Hubungan antara budaya sunda dan post modernism
Postmodernism tidak dapat dipisahkan dari domain cultural. Produk postmodern cendrung menggantikan produk modern (Doyker, 1994; Strinati 1995). Pemikiran postmodern cendrung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view). Kebudayaan sunda yang semakin tergerus dengan pengaruh luar yang makin meningkat di jaman modern ini mengakibatkan melemahnya sendi-sendi penguat kebudayaan itu sendiri. Dalam menghadapi postmodern Budaya sunda dirasakan sangat berat menghadapinya karena postmodern itu sendiri karena kecendrungan lebih tinggi modern. Akan tetapi postmodern ini cendrung menggembor-gemborkan salah satunya tradisi, kosmologi, masgis, mitos. Di postmodern ini ada titik balik kembali akan perhatiannya ke dalam dunia tradisi. Maka budaya sunda harus bisa memanfaatkan setelah ini untuk mengembangkan budaya sunda untuk eksis di tataran nasional.
C. Kesimpulan Analisis
Budaya sunda sebagai cikal bakal budaya nasional memang di akuai keberadaanya, tetapi hal ini tidak dibarengi dengan upaya pelestarian secara menyeluruh. Namun demikian budaya sunda menjadi unsur pendukung budaya nasional yang besar pengaruhnya karena dianggap budaya sunda yang lentur dan adaftif. Paradigma orang sunda harus segera di luruskan mengenai konsep kebudayaan sunda sendiri dalam rangka menghadapi postmodern di masa yang akan datang.
Proses pemaknaan mengenani konsepsi budaya sunda sendiri harus segera di isi untuk menumbuhkan pemahanan yang syarat makna filosofi (ontologism). Sehingga bisa ada ketahanan budaya sunda sendiri yang terjaga dari pengaruh budaya luar yang semakin intens. Maka disini ada pelawan arus yang kuat untuk menghadang pengaruh itu, sehingga pengaruh-pengaruh luar bisa di antisipasi peranannya di kehidupan budaya lokal yang ada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar