Sabtu, 04 Desember 2010

Menganalis konsep yang digunakan dalam buku yang dikarang Suhartono yang berjudul “ Apanage dan Bekel” Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-192

Banyak sekali konsep yang ditawarkan oleh Burke tentang konsep-konsep yang dapat dipakai dalam penelitian sejarah yang dapat dijadikan peralatan konseptual. Sebagian dari konsep itu adalah “feodalisme” arau “kapitalisme” yang sudah dikenal dalam praktik sejarah. Ada beberapa konep yang dikenalkan oleh Burke seperti : Konsep peranan sosial, Sex dan gender, keluarga dan kekerabatan, kelas, status., mobilitas sosial, konsumsi Berlebihan dan Modal Simbolis, Resiprositas, Patronase dan korupsi, Kekuasaan, Pusat dan pinggiran, Hegemoni dan risitensi, Gerakan sosial, Mentalitas dan ideologi, Komunikasi dan Penerimaan (Resepsi) Oralisitas dan tekstualitas, Mitos.
Dalam bukunya Suhartono yang berjudul Apanage dan Bekel terdapat beberapa konsep yang digunakan seperti “konsep peranan sosial”.Peranan sosial adalah satu konsep sosiologi yang didefinisikan dalam pengertian pola-pola atau norma-norma prilaku yang diharapkan dari orang menduduki posisi tertentu dalam struktur sosial Adapun buku dari Suhartono ini saya kira tidak terlepas dari konsep peranan sosial karena menurut saya apa yang dinamakan “Bekel” itu merupakan suatu peranan penting dalam dalam kehidupan sosial di pedesaan di Surakarta pada waktu itu. Dalam artian sempit tugas seorang bekel adalah pengumpul pajak dari petani di desa-desa, dan dalam artian luas ia harus mengawasi keamanan desa, termasuk menyediakan tanah dan tenaga kerja. Peranan bekel tidak bisa terlepas dari apa yang dinamakan “ Tanah Apanage” oleh karena itu dikenalah sIstem apenage yang kemudian menentukan dan mengatur pola hubungan sosial politik masyarakat agraris. Seperti kita tahu bahwa fungsi tanah dalam masyarakat agraris merupakan sumber kehidupan sehingga mekanisme kehidupan pedesaan berdasarkan atas dinamika fungsi tanah. Satu hal yang lebih khusus sifatnya adalah sIstem apanage menjadi penggerak berlangsungnya kehidupan ekonomi desa dan diatas suasana desa. Peranan sosial disini dibentuk oleh ikatan-ikatan desa dan ikatan feodal yang kuat, jadi semua kebutuhan desa dipenuhi ikatan horizontal, yaitu ikatan persaudaraan dan gotong royong, dan ikatan vertical, dan ikatan vertical, yaitu rasa tunduk dan loyal kepada penguasa-penguasa termasuk kepala desa. Jadi ikatan-ikatan yang ada di dalam desa merupakan ikatan komunal mekanis yang tidak dapat dipisah-pisah . Adanya hubungan secara vertical tadi seperti adanya loyalitas terhadap kepala desa menyebabkan disini terlihat jelas bagaimana seseorang memerankan peranan dalam kerangkan kehidupan sosial. Seperti telah disinggung tadi bahwa system apanage yang mengatur system sosial politik di tataran masyarakat agraris tak lain adanya pengangkatan Bekel sebagai wakil patuh untuk mengatur tanah sehingga menghasilkan sesuatu. Dalam hal ini terciptalah peranan bekel sebagai penebas pajak dan secara tidak langsung meunculah kekuaaannya sebagai kepala desa untuk mengawasi keamanaan desa sehingga dampaknya meluas kepedesaan. Disini terlihat bagaimana perubahan peranan bekel yang semula hanya sebagai wakil patuh untuk mengatur tanah apanage menjadi seorang kepala desa yang mempunyai kekuasaan baru dan ini sangat berdampak yang sangat luas.
Sebenarnya peranan bekel akan semakin kuat apabila runtuhnya system apanage dan diganti oleh system agra-industri, oleh karena itu perlu dicari bagaimana korelasinya antara penetrasi ekonomi agro-industri dengan kepemimpinan bekel. Peranan Bekel banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga banyak sekali menyebabkan pergesaran pada peranannya. yang semula sebagai pelindung masyarakat menjadi penyandang peranan baru seperti kepala desa..






Adapun sistem dari apanage itu sendiri adalah sebagai berikut:

Raja
(Pemilik tanah seluruh kerajaan)




Birokrat (Sentana dan Narapraja)
Pembantu dari Raja berasal dari keluarga raja
Diberi tanah Apanage sebagai gaji yang merupakan imbalan jasanya





Patuh
(Diberi tanah apanage sifatnya sementara)




Bekel
( Penebas pajak dari petani penggrap tanah apanage)





Petani penggarap tanah apanage

Dengan digambarkan seperti dapat terlihat bagaimana peranannya masing-masing. Suatu konsep yang diuraikan secara teratur dalam bukunya Suhartono dan saya melihat konsep peranan inilah yang sangat menonjol.

Konsep yang kedua yang saya analisis adalah konsep kelas karena istilah ini sangat erat dengan para sejarawan. Istilah kelas atau stratifikasi sosial adalah adalah suatu istilah dimana para sejarawan banyak tergoda untuk banyak membahasannya. Dalam kaitannya dengan Sistem apanage kita akan melihat struktur sosial yang jelas. Disini sudah jelas siapa yang menempati kelas yang tertinggi yaitu Raja sebagai pemilik tanah seluruh kerajaan. Disini Raja dan patuh menyerahkan penggarapan tanah itu kepada bekel. Untuk desa-desa besar bekel-bekel ada di bawah pengawasan demang. Adapun petani yang mengerjakan tanah apanage dan narawita mendapat sebagian hasil dari tanah itu. Sebaliknya petanai sebagai penggarap tanah itu harus membayar pajak berupa hasil tanah dikerjakan dan dan tenaga kerja mereka. Kalau dilihat dari strukturnya tanah apanage dapat dibedakan menjadi tanah narawita (kroodomein) disatu pihak dan tanah apanage untuk sentana dan narapradja dipihak lain. Dilihat dari strukturnya saya melihat pola hubungan kebawah yang tetap. Dengan situasi yang seperti kita dapat struksur sosial yang lebih luas lagi yaitu ada dua golongan sosial yang besar antara golongan priyayi disatu pihak dan golongan wong cilik





BEKEL




BEKEL












Jadi dlihat secara lebih luas akan terlihat bagaimana strukturnya dan dapat kita kategorikan kedalam golongan priyayi yaitu Raja, Sentana, Narapraja, dan Patuh.Adapun yang termasuk ke dalam golongan wong cilik adalah petani penggarap. Pola hubungan ini adalah pola hubungan yang tetap

Konsep ketiga yang akan saya coba analisis ialah konsep status sosial. Didalam buku Apanage dan Bekel ini juga mambahas status sosial di dalam masyarakat Surakarta. Di dalam masyarakat Surakarta pada waktu ada dua golongan yang besar yaiyu golongan atas yang terdiri dari para bangsawan yang terdiri dari para bangsawan dan Priyayi, dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, perajin dll. Didalam hal ini bangsawan adalah golongan sosial atas yang mempunyai hubungan genealogi dengan raja. Mereka merupakan sentana atau keluarga raja. Priyayi juga termasuk golongan sosial tas dan mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau narapraja . Dalam struktur apanage Priyayi dan wong cilik menempati wadah budaya yang berbeda. Sudah saya katakan ini merupakan pola yang tetap. Didalam wadah budaya saja mereka tidak dapat disatukan.
Status sosial memiliki hirarki yang etrdiri dari golongan-golongan sosial sebagai berikut: Golongan penguasa, bangsawan, dan priyayi menempati status sosial di atas. Para elit birokrat yang mendapat tanah apanage membentuk golongan penguasa. Itulah konsep dari status sosial yang tergambar dalam system apanage.
Sebenarnya dalam buku Suhartono ini banyak sekali konsep yang digunakan tidak hanya ini tiga konsep ini saja. Kalau kita lihat dan pahami bukunya Suhartono ini dapat terlihat konsep-konsep yang lain seperti adanya mobilitas sosial, patronase, gerakan sosial, Resiprositas. Semua konsep ini merupakan konsep dari ilmu-ilmu sosial yang digunakan untuk merekontruksi peranan bekel di tanah apanage ini. Dengan menganalisis lebih dalan dapat kita simpulkan bagaimana Suhartono merekontruksi sebuah sejarah tentang Perubahan sosial di pedesaan Surakarta 1830-1920 ternyata dia mengunakan konsep-konsep yang diambil dari sosiologi sebagai alat bantunya. Dengan adanya konsep tersebut dia bisa menjelaskan bagaimana kedudukan Bekel dalam sistem Apanage. Tidak hanya bekel saja yang dia jelaskan kedudukannya tetapi kedudukakan yang lain yang ditempati oleh kalangan priyayi/ bangsawan dan wong cilik dan dia menjelaskan ini dengan konsep Struktur sosial dan Kelas sosial.
Saya akan berusaha membandingkan konsep yang digunakan dalam bukunya Suhartono yang berjudul “Apanage dan Bekel” Perubahan sosial di pedesaan Surakarta (1830-1920) dengan bukunya Aiko Kurasawa yang berjudul “Mobilisasi dan Kontrol” Studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa..
Didalam bukunya Aiko Kurosawa dapat kita lihat beberapa konsep yang menonjol seperti kekuasaan, gerakan sosial, mentalitas dan idiologi, mobilisasi sosial, status, kelas sosial. Secara tidak langsung dapat kita lihat ada persamaan dengan konsep yang digunakan Suhartono didalam bukunya.
Masa Jepang bagaimana manusia di mobilisasi untuk kerja paksa untuk menyelesaikan proyek-proyek infrastruktur untuk kepentingan Jepang. Mereka dikirim keluar daerah yang kebanyakan pekerja Romusha ini dari pulau Jawa. Mereka dipekerjakan di perkebunan milik Jepang . Pekerja Romusha dipaksa bekerja tidak hanya di daerah yang berdekatan, tetapi diangkut ke mana pun kalau terdapat tuntutan akan tenaga kerja oleh pihak Jepang. Tenaga Romusha itu dimanfaatkan untuk :
1. menyelenggarakan pekerjaan yang berhubungan dengan kepentingan bala tentara dan pembelaan tanah air,
2. memperbaiki dan menambah produksi bahan-bahan keperluan bala tentara, persenjataan, dll
3. Menambah penghasilan bahan-bahan makanan yang penting
4. Menyelenggarakan pengangkutan dan perhubungan
5. Pekerjaan penting lainnya pada masa perang
Dalam bahasan Romusha ini sudah dapat tergambar bagaimana peranan sosial, status, struktur sosial dari sistem Romusha ini.

Dilain pihak dari pendudukan jepang ini memancing petani untuk melakukan gerakan sosial berupa pemberontakan. Seperti pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya. K. Zainal yang tak lain adalah pemimpin dari Pesantren Sukamanah ini merupakan orang yang anti-Jepang. Sebenarnya motif dari terjadinya pemberontakan ini adalah kesalahpahaman antara K. Zaenal Mustofa dan Kenpetai. Sudah jelas disini ada gerakan sosial anti jepang yang di komandoi oleh K.Zaainal Mustofa. Dalam rangka menjelaskan ini Aiko menggunakan konsep Gerakan Sosial dari disiplin ilmu sosial.

Dari perbandingan tersebut menurut saya adanya keterkaitan ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial. Karena banyak sekali sejarawan menggunakan konsep/pendekatan ilmu sosial dalam merkontruksi ceritanya. Saling keterkaitan ini menjadikan kedua ilmu ini saling tergantung satu sama lain. Saya melihat ini dari kedua buku ini yang saya analisis yang kental dengan konsep-konsep ilmu sosial seperti gerakan sosial, status, stratifikasi sosial, peranan sosian, dan mobilitas sosial..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar