Sabtu, 04 Desember 2010

MAKALAH SEJARAH ASIA TENGGARA OLEH DEDEN WAHYUDIN, S.S

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Istilah masyarakat majemuk sering digunakan untuk masyarakat multisuku dan multi agama di negara yang sedang berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman banyak ilmuan atau kaum intelektual memberi defenisi tentang istilah masyarakat majemuk salah satunya J.S Furnival menggunakan istilah itu untuk tatanan sosial yang lebih khusus. Menurut pendapatnya, masyarakat majemuk adalah unit politik multisuku yang dihuni berbagai suku yang hidup berdampingan satu sama lain tetapi tidak bercampur. Suku-suku itu terpecah-pecah sangat dalam dari segi budaya dan satu-satunya tempat bertemu bagi kelompok ini adalah pasar. Pengelompokan menurut suku. Maka masyarakat juga sejalan dengan pengelompokan dari sisi ekonomi. Karena masyarakat mejemuk terpecah-pecah sangat dalam dan tidak memiliki” kemauan sosial bersama” diantara kelompok suku, maka masyarakat rawan konflik, Hukum dan ketertiban dapat dijamin hanya dengan bantuan kekuatan luar. Ketika Furnivall mengembangkan konsep ini, ia menggunakan Indonesia zaman kolonial, Burma di jaman kolonial dan Malaya pada jaman kolonial sebagai model. Kehadiran suku Cina dalam jumlah besar di negeri-negeri ini dan peran ekonomi mereka yang khas membawa Furnivall pada-pada kesimpulan diatas. Konsep masyarakat mejemuk menimbulkan silang pendapat hingga saat ini.
Pandangan Furnivall mengenai konflik dari sudut budaya agak menyesatkan. kelemahan utama argumennnya adalah bahwa pengelompokan suku sejalan dengan pengelompokan dari sisi ekonomi.’ Seandainya ini benar, maka tidak ada konflik murni ‘ konfik budaya’; konfik ini harus pula ‘ konflik ekonomi’ pada waktu bersamaan.
Argumen lain yang menentang model ideal Furnivall mengenai masyarakat majemuk adalah bahwa masyarakat semacam itu tidak ditemukan di negara-negara Asia Tenggara jaman sekarang. Beberapa penulis bahkan menyangkal pandangan bahwa masyarakat semacam itu pernah ada, setidak-tidaknya bukan sebelum abad 20 di Jawa. Di negara-negara bagi orang untuk bertemu; sekolah naseional dan lembaga-lembaga lain juga berinteraksi. Sampai batas tertentu, argumen bahwa penggolongan suku sejalan dengan pengelompokan ekonomi masih berlaku, karena suku Cina, sebagai kelompok, pada umumnya masih berstatus kelas menengah dalam masyarakat tempat mereka tinggal. Karena konflik terus terjadi, dan bahkan makin keras dalam tahan-tahun belakang ini, tetap ada pertanyaan: Apakah konflik disebabkan oleh kesukuan atau faktor-faktor lain ?
1.2 Perumusan Masalah
Dalam pemyusunan makalah ini penulis merumuskan masalah mengenai :
1. apa yang mejadi penyebab andanya konflik antar suku ?
2. Apa yang menjadi latar belakang gerakan anti di Asia Tenggara ?
3. Bagaimana sikap orang Cina yang ada di Asia Tenggara dengan adanya gerakan anti Cina tersebut ?
BAB II
PEMBAHASAN


1.1 Gerakan anti Cina selama era pra kemerdekaan
Sebelum kedatangan orang Eropa. Orang Cina aktif dalam perdagangan internasional di Asia Tenggara. Dalam dinasti Ming (Abad 15 dan 16) Perdagangan antara Cina dan Asia Tenggara meningkat, didorong oleh ekspedisi Zheng He. Selain dari kegiatan yang mendukung oleh pemerintahan ini, perdagangan swasta juga berkembang. Kota-kota pantai di Cina menjadi pusat perdagangan. Bahkan sampai abad 18, Perdagangan Asia Tenggara masih di dominasi oleh huashang (Pedagang Cina). Blusse menamakan periode ini ‘ abad Cina’. Ketika orang Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris tiba, mereka mendapati orang Cina dalam jumlah besar di wilayah-wilayah ini, yang giat dalam perdagangan.
Pada abad 16, ketika Spanyol menduduki Manila, Pedagang Cina menolak tunduk pada penakluk baru itu dan menjadi ancaman kekuasaan Spanyol. Namun, masyarakat Cina kemudian menerima penguasa Spanyol itu dan tetap memainkan peran ekonomi mereka, Mereka pedagang yang paling menonjol di wilayah itu dan penduduk setempat bergantung pada mereka. Penguasa Spanyol mengenakan pajak yang berat dan peraturan yang keras pada mereka dan sejumlah orang Cina mulai berontak kembali. Akibatnya terjadi konflik dengan kekerasan antara penguasa Spanyol dengan orang Cina, dan peraturan yang sangat keras diterbitkan yang melarang orang Cina diam di Fhilifina.
Dari tahun 1581-1762 serangkaian kampanye anti Cina dilakukan oleh penguasa Spanyol dengan tujuan mengurangi jumlah penduduk Cina dan mengurangi kekuatan ekonomi mereka. Penguasa Spanyol gagal mengambil alih peran ekonomi orang Cina.. Pembantaian yang paling terkenal kejam adalah Red Chritmas Affir tahun 1765 (Peristiwa Natal Merah 1762). Pembantaian itu berlangsung sampai tahun 1776, menelan korban lebih dari 10.000 orang Cina . Pada tahun 1776, penguasa Spanyol mengeluarkan peraturan melarang migrasi Cina dan mengusir orang Cina yang sudah berdiam di Fhilifina, tetapi peraturan itu dicabut dua tahun kemudian karena akibat-akibat sangat buruk yang kemudian timbul di bidang ekonomi.
Ketika orang Belanda menaklukan Jacatra dan mendirikan Batavia (sekarang Jakarta), mereka mendapati orang Cina sudah ada di Jawa dan aktif dalam perdagangan. Jan Pietterzoon Coen, Gubernur Jendaral VOC (1618-1623), menyadari kekuatan penduduk Cina di wilayah itu dan memutuskan menggunakan mereka sebagai pengecer karena mereka’ melebihi kita (Belanda) dari segi kemampuan. Orang Cina bahkan dibujuk agar mau pindah ke Jakarta untuk membantu mengembangkan kota itu. Orang Belanda dan orang Cina hidup berdampingan dengan damai, dan berbeda dengan orang Cina Manila, orang Cina di Jawa diterima oleh penguasa Belanda. Kecuali di Kalimantan barat. Di situ penambang Cina, yang sudah membentuk kongsi sebelum orang Belanda tiba, menolak tunduk pada penguasa Belanda, yang kemudian menghancurkan mereka
Jumlah orang Cina di Batavia naik dengan cepat dan kekuatan ekonomi mereka juga meningkat pada awal tahun 1700-an, jumlah orang Cina di Batavia mencapai 30.000 orang. Penguasa Belanda cenderung korup dan makin lama makin menerapkan peraturan-peraturan yang keras terhadap orang Cina pada masa-masa krisis ekonomi ini. Desas-desus terus terdengar bahwa orang Cina akan diusir dari Indonesia kolonial, dan bahwa orang Cina diluar benteng sudah menyiapkan diri untuk melancarkan pemberontakan. Keputusan Gubernur Belanda untuk mengusir orang Cina memicu Angke (Red River) 1740, Tragedi Angke (Kali Merah) 1740. Dalam peristiwa itu 10.000 orang Cina dibantai, sebagian besar diantara mereka adalah perempuan dan anak-anak.
Orang Cina melarikan dari Batavia menuju wilayah-wilayah lain di Jawa, bergabung kekuatan dengan orang Jawa yang tengah terlibat pemberontakan melawan Belanda. Sebab-sebab pemberontakan itu kompleks, antara lain perlakuan keras atas orang Cina dan praktik korup penguasa Belanda dan para pejabat Cina yang diangkat Belanda. Peraturan untuk mengendalikan orang Cina diperketat setelah pemberontak itu tetapi kemudian,karena kebutuhan Belanda terpaksa mengundurkan kebijakan itu. Meski jumlah orang Cina di Asia Tenggara pada jaman itu tidak besar, namun jumlah itu tetap masih lebih besar dari pada jumah orang Barat. Untuk mengeruk untung dari wilayah-wilayah belum tergarap di Asia Tenggara, kekuasaan-kekuasaan kolonial tidak berkepentingan untuk mengusir pekerja dan penguasa Cina, karena lebih banyak lagi orang Cina yang dibutuhkan.
Migrasi besar-besaran orang Cina ke Asia Tenggara berlangsung pada pertengahan abad ke 19 setelah dinasti Qing ditaklukan oleh kekuasaan Barat.Kekacauan di Cina terjadi bersamaan dengan ekspansi Barat di Asia Tenggara. Dan peluang-peluang baru yang menyertai ekspansi itu.Faktor-faktor penarik (peluang ekonomi di Asia Tenggara) dan faktor-faktor pendorong (kemiskinan dan kekacauan Cina) merupakan penyebab kehadiran banyak sekali migran Cina di Asia Tenggara. Sumber tradisional migran Cina adalah dua propinsi di selatan: Fujian (Fuchien) dan Guandong (Kwangtung); kemudian, orang Cina dari propinsi-propinsi lain mengikuti peraturan-peraturan yang diskriminatif pada orang Cina dari waktu ke waktu, secara keseluruhan kedua pihak pada akhirnya menemukan titik temu tertentu karena saling membutuhkan.
Pada periode kolonial pra abad 20 kecuali di Thailand, yang tidak pernah dijajah konflik-konflik besar terjadi antara orang Cina dan orang barat. Konflik serius antara orang Cina dengan apa yang disebut penduduk asli jarang terjadi. Kebangkitan nasionalisme di Cina daratan pada awal abad 20, yang menjalar ke Asia Tenggara, menimbulkan kekhawatiran di sejumlah Negara tetapi segera dapat dikendalikan.
Namun, nasionalisme Cina menjadi tantangan Thai. Pada tahun 1908, tiga bulan sebelum kematian Raja Chulonkorn, penduduk Cina di Bangkok mogok. Mereka menolak bekerja atau menjual barang, sebagai protes atas kenaikan pajak. Pemogokan itu menimbulkan kesengsaraan bagi penduduk Bangkok yang bergantung pada orang Cina untuk memperoleh makanan dan keperluan sehari-hari.
Raja Wachhirawut, yang menggantikan Chulongkorn, menyuarakan amarah rakyat pada orang Cina, menuduh mereka melakukan; aksi-aksi tidak patriotik.’Kebangkitan nasionalisme Cina sebagai idiologi juga dipandang ancaman bagi sistem kerajaan. Ia menulis dua famlet, berjudul’ Yahudi dari timur’ dan ‘ ganjalan-ganjalan pada roda-roda kita,’ yang berisi kecaman mengenai orang Cina di Thailand. Dari tahun 1913 hingga 1925, Thailand mengeluarkan sejumlah undang-undang untuk membendung nasionalisme Cina dan memaksa orang Cina menjadi warga negara Thailand. Pada tahun 1913, Thailand mengeluarkan undang-undang, yang pertama, mengenai kewarganegaraan, yang menetapkan bahwa semua orang Cina kelahiran setempat adalah warga Negara Thai, dan pada tahun berikut sebuah undang-undang dikeluarkan untuk mengendalikan kegiatan perhimpunan-perhimpunan Cina.
Pada tahun 1927, ketika Raja Prachadhipok menggantikan ayahnya, ia mulai membatasi jumlah migran Cina ke Thailand. Setelah revolusi tahun 1932, militer semakin kuat dan Phibulsongkhram, perdana mentri sejak tahun 1938, mengambil langkah-langkah anti-Cina: ia menutup surat kabar berbahasa Cina dan sekolah Cina, melarang perhimpunan-perhimpunan rahasia Cina, dan mengendalikan aliran uang orang Cina ke Cina. Ia juga menerbitkan undang-undang yang menetapkan bidang pekerjaan tertentu semata-mata hanya untuk orang Thai asli..
Meski ada peraturan-peraturan ini, deskriminasi Thai terhadap orang Cina boleh dikatakan lunak. Tidak ada catatan mengenai konflik besar dengan kekerasan antara orang Thai dan orang Cina pada abad ke 19 atau abad 20. Ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor. Berbeda dengan banyak Asia Tenggara lain, Thailand tidak pernah dijajah dan orang Thai sudah merancang mekanisme untuk orang Cina yang ingin menjadi warga Negara Thailand, dan banyak orang Cina yang berasimilasi sepenuhnya setelah generasi ke dua. Ini berbeda sekali dengan situasi di berbagai Negara Asia Tenggara: di situ orang Cina masih tetap dapat diidentifikasi secara sosial. Juga penting adalah pertautan kepentingan ekonomi antar orang Thai dan orang Cina.
Jelas,hubungan antar orang Cina setempat dengan pemerintahan kolonial tidak selalu harmonis. Masalah kekuatan ekonomi orang Cina tidak pernah berhasil dipecahkan dengan memuaskan bagi pemerintah kolonial, yang juga khawatir mengenai kerja sama antara orang Cina dengan penduduk asli dan perjuangan anti- kolonialisme yang mulai muncul. Tidak mengherankan bila pemerintah kolonial mengandalkan diri dari pada kebijakan divide et impera di Asia Tenggara. Hanya Thailand yang dapat menjalankan kebijakan integrasi yang berhasil.

1.2 Aksi anti Cina: Periode pasca kolonial
Diakhir perang Dunia II, menyaksikan kemerdekaan Negara-negara lain Asia Tenggara sikap anti Cina tetap ada dan gerakan anti- Cina muncul di beberapa Negara. Pemerintah telah berubah dan sekarang berada dalam tangan penduduk asli, tetapi faktor ekonomi, akar dari konflik masa lalu, tetap ada. Ketika kaum penjajah meninggalkan wilayah itu, beberapa jabatan kunci dibidang ekonomi dipegang oleh orang Cina. Tidak mengherankan karena itu bahwa posisi ekonomi warga Cina lebih tinggi dari penduduk asli. Meski perusahaan multinasional dan perusahaan milik asing dengan pemilikan non Cina tetap beroprasi di Asia Tenggara merdeka. Kaum nasionalis asli sering menjadikan warga Cina sebagai sasaran , dan biasanya mencoba memperlemah kekuatan ekonomi minoritas Cina.
Sama dengan pada jaman kolonial, setruktur sosial dan prasangka dari masa lalu tetap ada pada jaman kolonial. Masyarakat Asia masih majemuk dan didasarkan pada suku. ‘ Mendahulukan penduduk asli’ biasanya menjadi sendi Negara, dan diskriminasi atas orang Cina didasarkan pada asal usulnya yang konon asing. Negara-negara Asia Tenggara pasca kolonial sedang dalam proses pembangunan bangsa. Karena itu orang Cina harus melalui proses dimasukan ke dalam negara yang berbasis penduduk asli. Pendatang baru dan orang yang masih akan di ‘asimilasi’ menjadi sasaran dari serangan naionalis ini.
Dalam jaman kolonial orang Cina berkedudukan diantara penguasa putih kolonial, penduduk asli dan berwarna. Pada jaman merdeka, orang Cina umumnya lebih sejahtera dari sisi ekonomi dari pada penduduk asli dan sukses mereka menimbulkan iri hati. Karena ideologi mendahulukan orang asli, orang Cina sering dikeluarkan dari bangsa baru itu. Politisi dan pengusaha asli menggunakan nasionalisme berdasar keaslian itu sebagai senjata terhadap minoritas Cina, memicu gerakan anti Cina diberbagai Negara Asia Tenggara. Namun, setelah kerusuhan massa di Kuala Lumpur pada tahun 1969, Malaysia menggunakan kesempatan itu untuk menjalankan sebuah kebijakan menata kembali struktur masyarakat dan perekonomian untuk membasmi akar-akar konflik
1.2.1 Aksi anti Cina : Periode pasca colonial di Malaysia
Malaya, yang kemudiaan menjadi Malaysia, adalah Negara multisuku. Orang Melayu, yang memegang kekuasaan politik, berjumlah sedikit diatas orang Cina yang memegang kekuasaan ekonomi. Orang budaya, sebuah minoritas kecil, agak tidak berdaya. Situasi ini orang melayu terkurung dalam bidang politik sementara orang Cina terus mendominasi sektor ekonomi tidak memuaskan kedua kelompok seku itu. Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum kedua kelompok suku utama ini terlibat dalam konflik.
Sebagai perbandingan, ada lebih sedikit kerusuhan anti Cina yang besar di Malaysia dibandingkan dengan Negara-negara bekas jajahan lain di Asia Tenggara. Tercatat hanya ada konflik tahun 1945-1946 dan kerusuhan bulan Mei 1969. Konflik tahun 1945-1946 terjadi menjelang akhir periode kolonial, dampaknya sedikit sekali. Kerusuhan tahun 1969 jauh lebih besar. Kerusuhan terjadi setelah pemilihan umum tahun 1969 ketika Alliance Party yang didominasi orang Melayu menang tetapi dalam jumlah yang lebih besar, sedangkan partai-partai oposisi yang didominasi suku Cina mendapat suara dan kursi extra. Warga Cina di Kuala Lumpur yang bergembira ria merayakan kemenangan. Ketika kedua kelompok ini bertemu timbul pertarungan fisik, yang mengakibatkan sekitar 200 orang tewas dan sekitar 200 orang lagi luka-luka berat (perkiraan tidak resmi memberikan angka yan lebih tinggi). Militer dikerahkan untuk menghadapi kerusuhan itu. Hubungan antara kedua kelompok menjadi tegang dan banyak warga Cina yang memutuskan keluar dari Malaysia. Untungnya, keadaan dapat segera dikendalikan.
Ada banyak versi mengenai asal-usul kerusuhan bulan Mei 1960. Salah satu mengatakan rasa tidak puas warga Melayu melihat dominasi ekonomi dan kekuatan politik yang meningkat warga Cina sedangkan yang lain lagi mengatakan karena provokasi warga Cina selama dan setelah pemilihan. Meski tidak ada alasan untuk meragukan bahwa ketimpangan ekonomi merupakan latar belakang penyebab, lebih dari itu diperlukan untuk memicu kekerasan itu. Menurut sebuah penelitian, kelompok Melayu yang memulai konflik dan bertarung dengan warga Cina berasal dari tempat tinggal Menteri Besar Selangor. Jika benar, maka ini mendukung argumen bahwa ada perpecahan di dalam elite penguasa Melayu; satu kelompok menggunakan kesempatan itu untuk menjatuhkan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman, karena kebijakannya terhadap warga Cina dianggap terlalu lunak. Dan memang, setelah kerusuhan tahun 1969, parlemen dibubarkan dan pemerintahan sementara dibentuk. Perdana menteri Tunku Abdul Rahman kehilangan jabatan dan digantikan oleh Tun Abdul Razak, seorang nasionalis Melayu yang memperkenalkan New Economic Policy (NEP), Kebijakan ekonomi Baru di Malaysia (1971-1990).
NEP bertujuan menata ulang ‘ masyarakat Malaysia agar pengelompokan ekonomi tidak bertindihan dengan kelompok ras. Sasaran yang ingin dicapai adalah akhir NEP, warga Melayu sudah dapat menikmati 30 % dari ekonomi nasional. Kebijakan perlakuan khusus bagi warga negara Melayu disepakati dan hasilnya adalah munculnya kelas menengah Melayu baru, meski menurut pemerintah, pada akhir tahun 1990-an kuota dinginkan tidak sepenuhnya tercapai dan karena itu disusun dan dilaksanakan National Development Policy (NDP), Kebijakan Pembangunan Nasional (Ho Khai Leong 1992). Tetapi berbeda dengan NEP, NDP tidak menetapkan sasaran dan juga tidak dilaksanakan dengan ketat. Kekuatan ekonomi warga Cina tetap besar tetapi penduduk asli juga mendapat manfaat dari kebijakan pro Bumiputra. NEP tidak sepenuhnya berhasil tetap banyak orang mengatakan bahwa sejak berhasil menciptakan kelas menengah Melayu, kitu berhasil me ngurangi perasaan tida k senang pada warga Cina.

1.2.2 Aksi anti Cina : Periode pasca kolonial di Vietnam
Situasi di Vietman. Vietnam terpecah dua ke dalam Vietnam Utara dan selatan sebelum tahun 1975. Selama kedua Vietnam itu terlibat perang, konflik suku Cina-Vietnam sangat kecil. Vietnam selatan dibawah Ngo Dinh Diem memang berusaha menasionalisasikan peerekonomian Vietnam. Pada tahun 1995, Vietnam selatan mengumumkan bahwa orang Cina kelahiran Vietnam adalah warga Negara Vietnam, dan tahun berikut pemerintah mengeluarkan satu undang-undang lagi yang melarang orang asing menjalankan kegiatan dalam sebelas bidang perdagangan, termasuk perdagangan hasil pertanian. Namun demikian, tidak ada gerakan anti Cina yang berarti sampai penyatuan Vietnam Utara dan Selatan pada tahun 1975.
Beijing berpihak pada Vietnam utara pada waktu perang melawan Vietnam Selatan dengan Amerika Serikat, tetapi menjadi pengecam pimpinan Vietnam yang pro Uni Soviet menjelang akhir perang itu. Elite komunis Vietnam terpecah, akibatnya terjadi pembersihan faksi pro Cina di dalam partai. Suku Cina di Vietnam di Curigai. Untuk memastikan kontrol orang Vietnam atas mereka, semua orang Cina di Vietnam dinyatakan sebagai warga Negara Vietnam. Selain itu, Negara baru Republik Rakyat Vietnam berniat mengubah perekonomian Vietnam menjadi perekonomian sosialis dengan sekejap , yang berdampak pada masyarakat pengusaha Cina di selatan. Zona ekonomi khusus dibangun dan laporan-laporan mengatakan orang Cina dikerahkan ke Zona ini untuk membuka tanah perawan. Karena keadaan disitu tidak tertahankan, banyak yang mulai lari dari negeri itu; beberapa lari melalui jalan darat ke Cina, Kamboja atau Thailand, sedangkan yang lain menjadi manusia perahu di laut Cina Selatan. Selama perang Cina –Vietnam tahuin 1979, yang berlangsung lebih dari satu bulan. Lebih banyak lagi manusia perahu meninggalkan Vietnam.
Akar dari masalah itu tetap ketimpangan ekonomi antara Cina dan orang Vietnam. Namun, ini sendiri saja, tidak memicu konflik. Kebijakan Negara kepada Cina dan kebijakan transformansi sosialis’ memicu eksodus (atau pengusiran) suku Cina dari Vietnam.
1.2.3 Aksi anti Cina; Periode pasca kolonial di Indonesia
Konflik antara penduduk asli dan orang cina sering terjadi Indonensia. Ini tetap terjadi, meskipun ada fakta daftar panjang konflik yang terjadi dalam jaman kolonial menunjukan konflik terjadi terutama penguasa India Timur Belanda dan orang Cina dengan penduduk asli jarang terjadi.
Keadaan berubah setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Belanda ingin mengembalikan kekuasaan kolonial ke Indonesia sementara orang Indonesia bersikeras untuk mewujudkan kemerdekaannya. Krisis kekuasaan berakhir dengan kekacauan, dan banyak orang Cina yang kehilangan harta dan nyawa. Perkosaan perempuan Cina oleh sejumlah pejuang revolusi yang tidak bertanggung jawab juga terjadi. Dibiarkan sendiri untuk membela diri, warga Cina kemudian membentuk Bao An Dui (Pao An Tui), sebuah kelompok keamanan yang konon mendapat persenjataan dari Belanda. Peristiwa ini memperburuk hubungan warga antara warga Cina dan nasionalis Indonesia.
Pertentangan pribumi dengan etnis Cina karena faktor ekonomi bukan hal baru. Misalnya pada tahun 1909 di Betawi (Jakarta) didirikan organisasi dagang dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Pada 1911 di Bogor didirikan SDI yang kedua. Pendirinya adalah Tirtoadisurjo, dengan cita-cita mendirikan persekutuan dagang perkoperasian Indonesia bertujuan utama mematahkan dominasi ekonomi pengusaha Cina dalam bisnis bahan dan industri batik. Untuk mencapai tujuan itu, didirikan SDI yang ketiga di Solo (akhir 1911) oleh H. Samanhudi, seorang pedagang besar batik di Solo, dengan tujuan memajukan kehidupan ekonomi rakyat di bawah bendera Isl
Keinginan untuk membatasi kekuatan ekonomi warga Cina di mulai tahun 1950-an melalui apa yang dinamakan sistem benteng, yang mendahulukan orang Indonesia asli daripada orang Cina dalam pemberian lisensi impor. Ini menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan system Ali Baba, ketika orang Indonesia asli tidak mampu menjalankan usaha karena tidak berpengalaman atau tidak bermodal. Ada upaya lain untuk mencapai tujuan serupa mengurangi kekuatan ekonomi warga Cina melalui peraturan-Peraturan itu diprakarsai oleh menteri perdagangan, Rachmat Muljomiseno, seorang pemimpin Nahdatul Ulama, sebuah organisasi Islam penting. Diterbitkan kemudian sebagai dekrit Presiden No, 10 (atau PP 10) pada tahun 1959. Peraturan itu melarang orang asing melakukan kegiatan dagang eceran di pedesaan. Peraturan ini mulai berlaku 1 Januari 1960, mewajibkan semua pedagang eceran Cina di daerah pedalaman ditutup. Namun dalam pelaksanaannya bukan hanya usahanya yang ditutup, tetapi juga dilaksanakan larangan pemukiman etnis Cina. Seperti yang dilakukan Kolonel Kosasih, Panglima Jawa Barat. Bahkan Kolonel ini menembak mati dua orang perempuan Cina yang mencoba melawan penggusiran itu (baca "Hoakiau di Indonesia, " 1998, Pramoedya Ananta Tour). Larangan itu terbatas pada orang Cina tetapi arena persoalan kewarganegaraan belum dipecahkan, banyak orang Cina yang masih digolongkan sebagai orang asing. Akibatnya, boleh dikatakan hampir seluruh masyarakat Cina di pedesaan terkena dampaknya. Pedagang eceran Cina dipaksa menutup toko dan kegiatan mereka atau mengalihkan kepada koperasi. Ketika sejumlah warga Cina di Jawa barat menolak mematuhi larangan itu. Militer campur tangan untuk melaksanakan peraturan itu dengan akibat timbul konflik yang mengakibatkan sejumlah orang Cina kehilangan nyawa dan terdapat lebih dari 100.000 warga Cina meninggalkan Indonesia, yang sebagian besar pergi ke Cina.
Keluarnya Cina ke Indonesia mempengaruhi kinerja ekonomi Indonesia. Posisi Soekarno juga terancam oleh krisis. Membangkitkan lawan dari kalangan militer yang pro Soviet. Beijing menyadari akibat dari keluarnya orang Cina dari Indonesia dan segera menghentikan proses repatriasi. Gerakan anti Cina mereda. PP 10 tidak lagi diperbelakukan.
Melalui PP 10, kekuatan ekonomi warga Cina untuk sementara ditekan tetapi koperasi tidak mampu menggantikan warga Cina dalam waktu singkat. Sekali lagi, ini karena terjadi kerusuhan bulan Mei 1998 sebelum presiden Suharto jatuh. Kerusuhan tiodak saja terjadi di Jakarta tetapi juga di kota-kota lain. Tetapi kerusuhan di ibu kota mendapat perhatian yang paling besar. Selama kerusuhan di Jakarta, antara 13-14 Mei, sejumlah perusahaan dan kekayaan warga Cina dijarah dan dibakar, dan perempuan Cina dalam sejumlah yang tidak diketahui diperkosa dan dibunuh. Seperti dalam kaitan dengan konflik-konflik lain yang tejadi belakangan ini di Indonesia, kecaman ditujukan kepada kekuatan keamanan, polisi, dan militer, yang tidak melakukan interversi dengan segera dan secara efektif untuk menghentikan kekerasan. Bahkan, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta tanggal 23 Oktober 1998 . Mengatakan bahwa serangan-serangan menunjukan pola salah satu segmen militer Indonesia. Laporan itu menyiratkan bahwa tujuan kerusuhan adalah menciptakan kekacauan yang dapat menguntungkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan sebenarnya adalah meneror warga Cina agar mereka memilih meninggalkan Indonesia agar kedudukan ekonomi yang mereka tinggalkan dapat di isi oleh penduduk asli.












BAB III
KESIMPULAN



1.1 Kesimpulan

Menurut Furnivall, konflik antar suku disebabkan oleh kehadiran dua atau lebih kelompok suku yang tidak cocok satu sama lain dalam satu masyarakat. Namun, dia juga mengatakan bahwa dalam masyarakat multisuku, pengelompokan suku sering tumpang tindih dengan pengelompokan ekonomi. Kesulitan kita dengan argumen ini menyangkut kedua factor itu: budaya dan ekonomi. Sulit untuk mengatakan bahwa factor budaya saja (atau factor ekonomi saja) yang menyebabkan konflik. Konflik baru terjadi bila perbedaan itu dnijadiakan alat politik.
Negaralah yang memainkan peran paling besar sebagai pemicu konflik serius antarsuku yang terjadi. Utama kerusuhan anti Cina di Asia Tenggara. Negara kolonial dan bangsa Negara sering menjalankan kebijakan anti Cina karena takut pada kekuatan ekonomi warga Cina, pengaruh politik mereka, jaringan mereka, atau kombinasi dari semua factor ini. Tantangan nasionalisme Cina bagi namsionalisme lokal mungkin juga terjadi salah satu factor. Setelah merdeka, kerusuhan anti Cina terjadi karena kelemahan pemerintah pusat dan intensitas pertarungan interelit. Sebagai minoritas asing, warga Cina menjadi bulan-bulanan dan korban dari pertarungan-pertarungan memperebutkan kekuasaan ini
Selama peiode kolonial, penguasa takut pada kekuatan ekonomi orang Cina, meski kekuatan ekonomi dan militer nyata dalam tangan penguasa colonial. Orang Cina dibawah pemerintahan Belanda di Indonesia adalah contoh dari ketakutan pada kekuatan ekonomi indenpenden yang dapat menentang pemerintahan colonial atau menjalin kekuatan denganm penduduk asli.
Pada periode merdeka, Negara memainkan peran yang juga penting dalam gerakan anti Cina. Penguasa asli tampaknya juga memiliki kekuatan yang sama seperti penguasa Eropa kolonial majikan mereka sebelumnya pada warga Cina. Mereka juga berusaha memangkas kekuatan ekonomi warga Cina beberapa menggunakan warga Cina sebagai kambing hitam bagi kegagalan –kegagalan dalam pemerintahan; beberpa lagi menggunakan masalah warga Cina untuk mencapai tujuan politik atau ekonomi tertentu. Ideologi mendahulukan orang asli juga merupakan sumber dari sikap dan kebijakan anti warga Cina
1.2. Jalan keluar
Status ekonomi yang kuat orang Cina selalu dikatakan sebagai penyebab utama dari perasaan benci pada orang Cina. Banyak peneliti, termasuk W.F Wetrtheim, berpendapat bahwa konflik antara orang Cina dengan bukan Cina disebabkan oleh ketinggalan di bidang ekonomi yang luas bagi semua anggota masyarakat, konflik antara kelompok dapat dihindari . Pemecahan ekonomi ini perlu dipersoalkan karena hanya menetapkan satu penyebab saja bagi konflik antar suku, padahal, seperti dikemukakan di atas, penyebab banyak. Dan penting diingat bahwa factor-faktor politik dan budaya jangan sampai di abaiakn.
Di Asia Tenggara, ada dua model, yang tampaknya berhasil mengatasi persoalan suku, model Malaysia dan model Thailand. Namun, kedua model ini mungkin tidak dapat di ekspor. Situasi di Malaysia berbeda dengan situasi di berbagai Negara lain karena persentase warga Cina di Malaysia tinggi, dan juga pengelompokan suku antara warga Melayu selalu sangat jelas. Juga perlu dikemukakan bahwa era pemerintahan ketika Kebijakan Ekonomi Baru (NEP) dijalankan, adalah jaman pemerintahan yang agak otoriter. Akan lebih sukar melaksanakan kebijakan semacam itu sekarang dalam era demokratisasi dan globalisasi. Selain tiu , model Malaysia tidak sempurna. Banyak orang yang mengatakan bahwa NEP tidak sepenuhnya berhasil karena hasilnya adalah kesenjangan yang makin besar antara warga Melayu kaya dan warga melayu miskin. Pemerintahan sendiri mengakui bahwa sasaran 30 % yang ditetapkan bagi pemilikan ekonomi warga Melayu tidak tercapai. Meski kerusuhan tidak terjadi, ketegangan antar suku yang tetap tinggi.
Thailand memilih asimilasi. Warga Cina Thailand telah diasimilasi ke dalam masyarakat Thai dan warga keturunan Cina (Sino Thai) dianggap orang Thai. Kekuatan ekonomi mereka tidak lagi menjadi masalah. Namun, sejarah dan budaya Thailand unik mungkin sulit bagi negara-negara lain untuk menggunakan model ini serupa itu.
Di Indonesia, warga Cina sendiri di masa lalu sudah mengusulkan sejumlah jalan keluar yang mungkin diambil untuk apa yang dinamakan masalah orang Cina, termasuk menciptakan kelas menengah bukan asli yang kuat, asimilasi sepenuhnya ke dalam masyarakat asli, menjadi penganut agama islam, menyusun kembali ekonomi Indonesia, dan bahkan menjalankan apa yang dinamakan ekonomi sosialis. Tetapi tidak satu pun dari usulan tersebut yang berhasil hingga kini.
Sebab-sebab mengapa konflik anti Cina tetap terjadi di berbagai negara Asia Tenggara, kompleks. Dalam hal Indonesia. Keterbelakangan ekonomi jelas merupakan salah satu sebab pokok, namun definisi sempit bangsa Indonesia yang didasarkan pada model penduduk asli juga menghambat diterimanya warga Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Kemungkinan tampaknya makin kesil bahwa pada suatu warga Cina akan menganggap diri sepenuhnya terasimilasi kedalam pendudu asli. Mungkin perlu dikembangakan terlebih dahulu sebuah konsep yang lebih luas mengenai bangsa.
Dengan globalisasi dan demokratisasi warga Cina memiliki lebih banyak pilihan dari pada di masa lalu. Dalam system global dan demokratisasi yang baru ini. Kekuatan ekonomi. Tidak berarti ini akanmengundang aksi anti Cina. Namun, ini akan menjadi tantangan bagi sejumlah negara di Asia Tenggara. Seperti dikatakan di atas, kerusuhan anti Cina di negara-negara terjadi bila ada krisis besar dalam bidang ekonomi atau bidang politik. Kebijakan Negara yang adil dan pemerintahannya yang baik tampaknya merupakan dua komponen penting untuk mengurangi, jika tidak memecahkan, konflik antara orang Cina dan orang bukan Cina di kawasan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar