Sabtu, 04 Desember 2010

RESESNSI Buku “ SENJATANYA ORANG-ORANG YANG KALAH” (Bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari kaum tani) JAMES C. SCOTT

Setelah saya membaca buku ini, saya merasa tertarik dengan pembahasan mengenai bagaimana kaum lemah yang selalu menjadi bahan eksploitatif kaum ekonomi yang kuat. Berkaitan dengan hal itu, maka didalam buku ini, James C. Scoot banyak bercerita bagaimana bentuk protes yang dilakukan kaum lemah itu untuk melawan bentuk eksploitasi dari kaum ekonomi atau politik yang kuat. Kaum lemah atau tegasnya para petani miskin membuat strategi perlawanan yang efektif tanpa mengundang konflik yang besar atau kita bisa katakan perlawanan yang tidak menonjolkan perlawanan berarti .Konteks yang dibahas dalam buku ini ialah perlawanan petani miskin di daerah pedesaan Sendaka di negeri Jiran Malaysia.
Ketidakadilan yang diterima kaum lemah atau kaum terekploitasi ini terjadi di pedesaan negeri Jiran Malaysia sekitar tahun 20-30 tahun yang lalu. Ketidakadilan ini terjadi akibat dari ulah segolongan manusia baik dar pihaki intern masyarakat atau ekstern masyarakat itu sendiri. Terlebih lagi dari pihak pemerintah sendiri tidak ada perhatian khusus terhadap ketidakadilan ini sehingga timbulah konflik vertikal antara golongan petani miskin dengan kelompok-kelompok mapan. Adapun konflik yang ada adalah konflik secara terbuka artinya petani gurem sering mengadakan aliansi dengan kekuatan sosial-politik dari luar wilayah mereka yang juga merasa diperlakukan secara tidak adil. Cara seperti ini memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Kalau kita lihat dampak positifnya ialah bahwa gerakan petani dalam melakukan protes menjadi terorganisir, sistematis dan lebih-lebih secara idiologis dapat digunakan sebagai sarana untuk menggerakan dukungan dari masyarakat yang ada. Konfrontasi ini diperkuat dengan adanya dukungan dari tokoh-tokoh agama yang kharismatik sehingga gerakan ini semakin kuat.
Dengan menggunakan cara ini gerakan petani gurem berhasil merubah pada tataran sistem ekonomi dan politik. Sehingga memaksa pemerintah untuk menciptakan kebijaksanaan baru yang dapat mengeliminir faktor-faktor yang menjadi pemicu dari timbulnya pemberontakan petani itu. Gerakan protes petani selain menimbulkan dampak positif juga mempunyaidampak negatifnya. Konflik terbuka baik yang didukung oleh tokoh agama yang kharismatik atau oleh sebuah partai politik radikal akan membuat bereaksi pemerintah terhadap masalah yang sedang dihadapi. Akibat beraliansi dengan suatu partai yang radikal tadi maka yang menjadi korban ialah petani gurem itu sendiri. Sebenarnya dukungan mereka terhadap partai politik itu belum tentu dibalas dengan kebaikan apabila partai itu nantinya berkuasa. Para petani gurem berharap apabila partai komunis yang beraliansi dengan mereka itu bisa berbuat adil terhadap mereka. Berbeda dengan protes petani di Indonesia, gerakannya bisa dikatakan sangat radikal. Konfliknya sangat terbuka sekali sehingga bentrokan secara fisik tidak bisa dielakkan kaitannya dengan penguasa. Gerakan semacam ini merupakan wadah dari para petani miskin melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan semena-mena baik dari pihak kapitalis perkebunan, aparat pemerintah kolonial atau tindakan kolutif antara keduanya. Salah satu strategi petani Indonesia yang digunakan dalam rangka perlawanan terhadap penguasa yang tidak adil adalah dengan cara membakar lading tebu milik pabrik gula, Inilah cara yang efektif bagi para petani gula dalam rangka memprotes ketidakadilan yang ada.
Dalam memahami gerakan petani ini kita terlebih dahulu harus memahami bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari yang dipakai petani. Bentuk perlawanan ini tentunya antara petani dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa dan bunga dari mereka. Kebanyakan bentuk perlawanan ini hampir saja menimbulkan tantangan kolektif langsung. Perlawanan ini berbebtuk perlawanan jangka panjang yang prosaic. Hal inilah senjata-senjata biasa milik kelas yang relative tak berdaya dan selalu kalah seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, pura-pura tidak tahu, menjatuhkan nama baik orang, pembakaran, penyabotan dan lain-lain. Mereka hampir tidak membutuhkan koordinasi atau perencanaan ; menggunakan pemahaman implicit serta jaringan informal ; sering mengambil bentuk mengurus diri sendiri dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis yang langsung dengan kekuasaan. Sebenarnya justru cara-cara perlawanan demikian ini sering merupakan yang paling berarti dan yang paling efektif dalam jangka yang panjang.
Di Negara dunia ketiga para petani jarang mau mengambil konfrontasi langsung dengan pihak berwenang tentang pajak, pola-pola tanam, kebijakan pembangunan atau undang-undang baru yang memberatkan mereka malah lebih besar kemungkinan menggerogoti kebijakan-kebijakan demikian dengan cara tidak mau menerima permintaan, memperlambat kesepakatan pekerjaan dan penipuan. Sebagai pengganti invasi tanah, mereka lebih suka membuka tanah sekedarnya daripada mengadakan pemberontakan terbuka, mereka lebih suka melarikan diri daripada menyerang dan menjarah gudang-gudang penyimpanan padi milik pemerintah ataupun swasta, mereka memilih jalan mencuri yang sedikit-sedikit.
Tehnik-tehnik low-profile dengan demikian sangat cocok untuk struktur sosial kelas petani – suatu kelas yang bertaburan di wilayah pedesaan, tanpa organisasi formal dan paling siap untuk melakukan kampanye defensive menghabiskan tenaga lawan dengan gaya gerilya. Tindakan perorangan berupa melambatkan pekerjaandan mengelak, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan itu diperbanyak ribuan kali, pada akhirnya mungkin menjadikan kebijakan-kebijakan yang diimpi-impikan oleh calon atasan mereka jadi kacau balau. Sebagian besar dalam cara inilah kelas petani menyatakan kehadiran politisnya. Karena alasan-alasan ini penting sekali bagi kita memahami tumpukan kegiatan petani yang tenang dan anonim.
Untuk tujuan diatas penulis diatas untuk penelitian di sebuah kampung di Malaysia dan kampong itu dia namakan kampong sedaka. Dikampung itu ada sebuah komunitas petani padi dengan 70 kepala keluarga, yang memulai dengan panen dua kali setahun tahun 1972. Di komunitas itu terjadi revolusi hijau, kelas yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin atau makin miskin ditambah lagi banyak dioperasikannya mesin-mesin kombinasi pemanen secara besar-besaran pada tahun 1976 mungkin merupakan coup de grace, karena menghilangkan dua pertiga kesempatan mata pencaharian bagi para petani kecil dan gurem. Perhatian penulis tertuju pada pertarungan ideology di kampong itu yang menjadi dasar perlawanan dan juga kepada praktek perlawanan itu sendiri. Perlawanan itu sendiri banyak didominasi oleh pertarungan antar kelas dan dominasi ideologis yang memberi arti praktis dan teoritisnya. Pertarungan antar kelas kaya dan miskin di Sedaka bukanlah sekedar pertarungan mengenai soal pekerjaan, hak milik, padi dan uang. Ia juga merupakan pertarungan mengenai pemaknaan symbol-simbol tentangbagaimana masa lampau dan masa sekarang dipahami dan diberi nama; pertarungan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dan menilai kesalahan-kesalahan yang kesemuanya adalah upaya untuk memberi makna partisan kepada sejarah setempat. Sebenarnya petarungan seperti ini tidak terlalu indah karena didalamnya da fitnah, pergunjungan dan gossip yang bertujuan merusak nama baik orang, julukan-julukan kasar, gerakan tubuh atau sikap berdiam diri tapi maksudnya merendahkan orang lain. Yang menarik dari pertarungan antar kemlas ini adalah tingkat kesamaan pandangan hidup yang dibutuhkannya. Baik pergunjungan maupun perusakan nama baik orang misalnya, tak ada artinya kecuali terdapat standar bersama, mengenai apa yang diinamakan penyimpangan, tidak patut atau tidak senonoh.
Terlepas dari sangsi kekuasaan pendapat umum yang dimobilisir dan yang disetujui, sebagaian pertarungan iini juga dapat diartikan sebagai upaya kaum miskin untuk melawan marjinalisasi ekonomi dan ritual yang sekarang mereka alami dan mendesak agar diberi kaedahan budaya minimal sebagai warga terhormat dalam komunitas kecil itu
Penulis disini memberikan sentuhan cerita yang berhubungan dengan ketidakadil;an diatas. Penulis menyusun dengan sistematis hasil penelitiannya selama 2 tahun ini. Penulis menceritakan kisasah seorang Rajak yang seorang petani miskin yang harus rela kehilangan anaknya karena meninggal akibat telat diberi pertolongan. Keterlambatan diberi pertolongan ini akibat ketidak mampuan seorang Rajak untuk membiayai pengobatan anaknya ke rumah sakit. Selain itu dia becerita tentang Haji Broom yang bagaimana kayaknya Haji itu sehingga kekayaannya itu membawa dia kedalam kesombongan kekayaan. Kesombongan Haji Broom tidak banyak disukai oleh para penduduk disana. Penulis juga banyak bercerta selain dua cerita diatas. Cerita lain tidak akan saya masukan ke dalam paloran baca saya karena saya anggap cerita diatas bisa mewakili cerita yang lainnya.

1 komentar:

  1. Terimakasih :)
    Analisis yang luar biasa, saya merasa sangat terbantu..

    BalasHapus